Menuju Sikap Beragama yang Dialogis

Ini adalah artikelku yang pertama dimuat di Harian Kompas di halaman paling angker, yakni halaman 4. Artikel ini kiriman pertama dan dimuat pertama kali ke redaksi Kompas. Anda bisa bayangkan bagaimana girangnya hatiku saat itu. Waktu itu, aku semester 3 Teknik Bangunan. Inilah wujud artikel itu. Tulisan pertama di harian nasional.

KOMPAS – Senin, 18 May 1998 Halaman: 4 Penulis: DAHLAN, MUHIDIN Ukuran: 7944

MENUJU SIKAP BERAGAMA YANG DIALOGIS
Oleh Muhidin Dahlan

SUKIDI dalam tulisannya yang dimuat di Harian Kompas pada tanggal
26 Februari 1998 yang berjudul Jalan Menuju Tuhan menandaskan bahwa
Islam hanyalah jalan atau sarana menuju Tuhan sebagai tujuan akhir
dalam hidup ini. Dilanjutkannya bahwa memang jalan itu plural dan
bukanlah sebagai tujuan. Kemudian dengan mengutip pendapat Paul F
Knitter yang mengatakan bahwa semua agama sebagai ‘jalan’ menuju Tuhan
adalah relatif yakni limited, partial dan incomplete, sekaligus all are
essentially same, yakni sebagai sama-sama sebagai jalan penyelamatan
kehidupan rohani menuju kepangkuan Tuhan.
Tapi benarkah jika agama (baca: Islam) dijadikan jalan menuju
Tuhan hanya bersifat relatif, parsial dan tidak komplit? Jika benar
demikian, bagaimana dengan penegasan Tuhan bahwa Islam telah
disempurnakan-Nya (lihat QS, 5:3) yang menandaskan adanya kepastian.
Mengutip istilah Mas Komar, sapaan akrab Komaruddin Hidayat, dalam
agama selalu menegaskan ‘kata akhir’. Persoalan itulah yang tidak
dijelaskan secara mendasar oleh Sukidi dalam tulisannya dan cenderung
asal sekadar mengutip.
***

TULISAN ini dimaksudkan untuk memberi penekanan terhadap
tulisan Sukidi bahwa dengan banyaknya ‘jalan-jalan’ tersebut merupakan
konstribusi positif bagi munculnya sikap beragama yang dialogis.
Memang pendekatan kepada Tuhan itu sangatlah beragam untuk mendapatkan
keridhaan-Nya.
Konsep yang coba ditawarkan oleh Cak Nur (panggilan akrab
Nurcholish Madjid) tentang banyaknya pintu menuju Tuhan, menurut
interpretasi penulis menggambarkan sebuah keinginan yang sangat besar
akan sebuah kedamaian. Seperti halnya jika kita menyaksikan Cheung Mo
Gei – tokoh utama dalam serial To Liong To – yang dengan gigih
menyatukan partai-partai yang bertikai akibat pertentangan-pertentangan
ideologi rasialisme.
Dalam konteks keindonesiaan, mengamati kehidupan keagamaan
yang beraneka ragam, di satu sisi bisa menjanjikan format yang
berdimensi kedinamisan, ketenteraman, dan kedamaian. Tetapi di sisi
lain sikap mengkhawatirkan terjadinya bentrokan antarkelompok umat
beragama yang sangat pluralistis, bukannya tanpa beralasan. Dalam
bentangan sejarah kehidupan manusia – tak dapat dipungkiri – bahwa
agama telah dijadikan salah satu faktor penyebab munculnya peperangan.
Walaupun hal ini secara paradigmatik bertolak belakang dengan agama
itu sendiri.
Ketika tiap kelompok umat beragama mencoba masing-masing
menghayati ajaran agamanya dan tidak saling mengusik, serta bahu
membahu membangun tatanan kemanusiaan, maka keharmonisan bermasyarakat
dalam sebuah nation state dapat terbangun. Persoalannya, seringkali
konsepsi keagamaan disalahpahami dan dijadikan “arena pertarungan”
berdasarkan kepentingan politik. Lebih-lebih jika pemahaman itu
menurut – Fazlur Rahman – sampai pada sebuah titik pengakuan bahwa
golongannyalah sebagai representasi legal dari teks suci, yang
mengakibatkan terhentinya dialog. Dalam konteks inilah Kuntowijoyo
menawarkan pemahaman baru agama secara profetik yang bersifat
inklusif.
Menghembusnya kembali isu-isu SARA beberapa saat terakhir ini
sangat mengejutkan. Ini dapat dipahami, jika bentrokan antarumat
beragama terjadi maka pembangunan yang selama 30 tahun diupayakan akan
ambruk seketika. Dalam hal ini, agama dan pemeluknya, memegang peranan
strategis mewujudkan bahasa agama yang dialogis dan toleran.
***

DI mata Samuel P Huntington, intensitas hubungan dialogis akan
semakin berkembang searah dengan semakin terbukanya batas-batas
wilayah administratif suatu negara, lebih-lebih antarberbagai wilayah
kehidupan dalam suatu negara. Hal ini juga merupakan indikator semakin
terbukanya peluang munculnya ‘pertentangan budaya’ yang bersumber pada
keyakinan agama. Kekhawatiran sebagian ahli akan munculnya ‘perang
budaya’ yang lebih besar dengan memanfaatkan teknologi militer, sangat
dimungkinkan untuk muncul.
Dan nampaknya hubungan agama dan kebudayaan merupakan agenda
kemanusiaan yang sangat penting pada abad 21 mendatang. Oleh karena
itu, hubungan dialogis keagamaan dalam pluralitas masyarakat Indonesia
agaknya semakin menarik untuk dikaji.
Pengalaman Indonesia dalam mengembangkan dirinya sebagai
negara bangsa, diperkaya oleh berbagai konflik yang dalam banyak hal
berhubungan dengan kehidupan keagamaan. Negara kita, menurut Munir
Mulkhan, justru awal pertumbuhannya sudah menghadapi berbagai kemelut
politik yang banyak dipicu oleh sentimen agama. Munir Mulkhan – yang
juga dosen IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tersebut – setidaknya
memberikan dua penilaian penyebab munculnya titik rawan hubungan
keberagamaan tersebut.
Pertama, adanya sikap pembenaran secara mutlak pemeluk suatu
agama terhadap doktrin agamanya. Dan dalam banyak kasus, kemudian
keyakinan mutlak itu dimanfaatkan untuk pembangunan dan politik.
Kedua, eksklusifisme beragama yang menutup telinga untuk mendengarkan
suara-suara di seberang peradabannya. Yang menurut istilah Muhammadi
Khattami (Presiden Iran) berusaha menarik diri dari setiap usaha
munculnya itikat baik untuk membangun dialog antarperadaban.
Namun, revisi keyakinan atas kebenaran mutlak doktrin suatu
agama justru dapat menimbulkan karawanan yang lain di samping
merupakan sebuah keniscayaan. Tanpa keyakinan mutlak tersebut, bisa
jadi memberi indikasi lunturnya keyakinan itu sendiri yang bisa
berarti tanggalnya kepemelukan seseorang terhadap sebuah agama.
Di sisi lain, upaya merelatifkan ‘jalan-jalan’ kebenaran
sebuah agama akan menghapus nilai-nilai fundamental kitab suci agama.
Menyinggung hal-hal yang paling sakral ini juga adalah tindakan yang
sangat keliru dan mustahil.
Apakah dengan demikian dialog agama sudah merupakan kehendak
sejarah kontemporer? Kecenderungan ini perlu ada upaya penjernihan
relasi antara agama dan kebudayaan. Dialog yang dimaksud harus
diartikan bukan dialog dalam wilayah teologis an sich atas doktrin
ajaran suatu agama, apalagi kitab sucinya, melainkan dialog budaya
yang secara inspiratif digali dari kitab suci dan keyakinan agama.
Dengan mengedepankan intelektualisme, kebudayaan agama harus
ditangkap sebagai sebuah pelembagaan yang tumbuh dalam proses
interaktif manusia dengan kitab suci agama yang diyakininya. Tentunya,
dominan dipengaruhi latar belakang historis, geografis, dan berbagai
kondisi obyektif kehidupan yang melingkupinya. Sebagai entitas budaya
yang searah dengan kecenderungan global dan perkembangan hubungan
sosial kemanusiaan, dialog agama sangat pantas untuk
ditumbuhkembangkan di setiap lapisan masyarakat.
Hal yang perlu ditekankan, tidak harmonisnya bangunan dialogis
tersebut tergantung dari sikap penganut beragama yang masih
mempertahankan sikap formalisme beragama yang ‘mematikan’. Cak Nur
memberi gambaran yang indah tentang nilai-nilai kesalehan beragama dan
takut kepada Tuhan yakni orang-orang itu harus mentaati aturan-aturan
kebaikan dan kemaslahatan peradaban, tetapi ia tetap memusatkan
pandangannya kepada Tuhan. Kalau ingin menuju dan mencari solusi bagi
harmonisnya keberagamaan tergantung dari keberanian untuk mencoba dan
mengedepankan sikap kecintaan terhadap sesama.
Buya Hamka (almarhum) mengibaratkannya perkembangan hidup kita
seperti naik tangga. Ada satu saat ketika salah satu kaki kita sudah
meninggalkan anak tangga yang bawah. Kaki melayang-layang sejenak di
udara. Boleh jadi terpeleset dan jatuh. Itu risiko. Tetapi jika takut
menghadapi risiko, kita tidak pernah beranjak dari anak tangga
terbawah. *

* Muhidin Dahlan, mahasiswa IKIP Yogyakarta dan anggota Forum
Kajian Filsafat dan Tasauf, JAMPES, Yogyakarta.