Ali Syariati: Menggugat Tiga Musuh Besar Peradaban

Ini adalah resensi kedua saya yang dimuat di Harian Kompas. Tokoh Ali Syariati nyaris mempengaruhi seluruh ekspresi dan gaya beragama saya sejak STM. Meresensi tentang tokoh ini sebetulnya adalah bakti kepada sosok yang merasuki saya luar dalam.

KOMPAS – Minggu, 21 Nov 1999 Halaman: 18 Penulis: MUHIDIN Ukuran: 10386

MENGGUGAT TIGA MUSUH BESAR PERADABAN

Melawan Hegemoni Barat: Ali Syari’ati dalam Sorotan Cendekiawan
Indonesia, Editor: M Deden Ridwan (Lentera Jakarta: Juli l999), xvi
+ 293 halaman.

ORIENTALISME sebagai gaya Barat untuk mendominasi, menata
kembali dan menguasai Timur… Relasi keduanya adalah relasi
kekuatan, dominasi, relasi berbagai derajat hegemoni yang kompleks.
(Edward W Said, Melawan Hegemoni Barat, 1999: 1).
Kutipan di atas merupakan picu pelatuk menggelegaknya
perlawanan radikal kaum intelektual “tercerahkan” di Dunia Ketiga.
Melalui repertoir budaya dan ekspansi energi inferioritas,
imajinasi Barat dikukuhkan: Barat adalah kebudayaan yang maju,
pintar, dan superior, sedangkan Timur terbelakang, bodoh, dan
mungkin menjijikkan.
Begitulah. Proses penggerusan dan penunggalan makna “baik” dan
“buruk”, “benar” dan “salah” disabdakan lewat kerumunan “kekerasan”
wacana, baik pada tingkat kultural (pencerabutan akar-akar budaya)
maupun di level struktural (penjeratan utang). Dalam kondisi ini
lalu lahirlah krisis identitas dan alienasi sosial yang kemudian
memunculkan perlawanan lewat beragam gerakan sosial.
Dalam Islam gerakan ini kerap dibungkus oleh “Islam politik”,
yang lahir sebagai kekuatan ideologis untuk menumbangkan
kelas-kelas menindas yang memang eksis dan dominan di bawah payung
hegemoni Barat.
Salah satu penggerak perlawanan itu bernama Ali Syari’ati
(lahir di Mazinan, Iran, 1933). Nama ini cukup “melegenda” dalam
proses penumbangan rezim diktator Shah Pahlevi setelah Imam
Khomeini. Ia merupakan salah satu dari intelektual yang sadar,
tampil menjadi tokoh lantang, berani, blak-blakan melawan Barat.
Pengembaraan intelektual yang dilakukannya sejak kecil telah
membentuknya menjadi sosok yang makin mantap dengan ideologi
keislamannya.
Buku Melawan Hegemoni Barat: Ali Syari’ati dalam Sorotan
Cendekiawan Indonesia ini coba menelusuri jejak aksi sosial-politik
dan kecenderungan intelektual Syari’ati. Ada delapan pembedah yang
dihadirkan dalam buku ini: Azyumardi Azra, M Riza Sihbudi, Muhammad
Nafis, Nadirsyah, Mun’im A Sirly, Noryamin Aini, Nasaruddin Umar,
dan Ahmad Nurullah.
Buku yang dirancang khas untuk menimbang dan menstimulasikan
pemikiran Syari’ati ini, oleh “pemandu”-nya, M Deden Ridwan,
tampaknya dimaksudkan agar umat Islam (di) Indonesia menangkap
lebih komprehensif aksi-aksi perlawanan Syari’ati atas hegemoni
Barat dengan segala pernik-perniknya. Agar lebih kontekstual, maka
yang diundang dalam buku ini cuma intelektual muda Indonesia saja.
***

RIZA Sihbudi mengemukakan, Syari’ati dikenal luas karena
ideologi yang dibawanya adalah ideologi revolusioner, baik di
bidang keagamaan maupun sosiopolitik. Disebut “revolusioner”,
karena ide Syari’ati secara tegas dan lugas merupakan gugatan
terhadap imperialisme, kapitalisme, dan kemapanan. Tema-tema
sentral yang diangkat Syari’ati hampir-hampir tidak terlepas dari
tiga hal, yaitu masalah “pertarungan kelas” antara kaum tertindas
dan penindas; peranan kaum intelektual (atau tepatnya kaum
Rausyanfekr: pemikir bebas dan tercerahkan); serta masalah keadilan.
Syari’ati menilai, mereka yang disebut nabi adalah orang-orang
yang lahir dari tengah massa, lalu memperoleh tingkat kesadaran
yang sanggup mengubah suatu masyarakat yang korup dan beku, menjadi
kekuatan bergejolak dan kreatif yang pada gilirannya melahirkan
peradaban, kebudayaan, dan pahlawan.
Terlihat jelas bahwa corak ideologi keislaman yang diusung
Syari’ati adalah pembebasan. Menurut dia, corak beragama yang
demikianlah yang bisa mengobati dan menghantam gelombang hegemoni
Barat dan kemacetan intelektual di Dunia Ketiga. Yakni, Islam yang
tidak hanya memperhatikan aspek spiritual dan moral atau hubungan
individual dengan penciptanya; tetapi lebih merupakan sebuah
ideologi emansipasi dan pembebasan.
Islam versi Syari’ati merupakan sistem ide, kelengkapan, dan
totalitas yang tidak hanya terbatas kepada pemurnian model individu.
Islam tauhid tidaklah konservatif, keyakinan fatalistik, atau
keimanan yang buta politik; melainkan sebuah ideologi pembebasan
yang menembus semua bidang kehidupan, khususnya politik dan memberi
semangat bagi kaum miskin untuk berjuang melawan semua bentuk
tekanan, penindasan, dan ketidakadilan sosial (hlm 85).
Harus diakui, begitu menurut Azyumardi Azra, bahwa Syari’ati
adalah “ideolog” par excellence. Ia merupakan pribadi yang eklektik
tetapi fasih, sekaligus emosional dan kontroversial. Azra
menjelaskan bahwa filsafat pergerakan Syari’ati tak bisa dipisahkan
dari doktrin Syi’ah revolusioner, Syiah Ali (begitu Syari’ati
menamakannya).
Menurut Azra, dalam benak Syari’ati, fakta-takta sejarah akan
“membisu” jika dibiarkan begitu saja; makanya direkonstruksi secara
revolusioner. Sikap dan pilihan ideologis Syari’ati yang condong ke
“kiri” tak pelak mengundang kecaman pedas. Tidak hanya dari kaum
penguasa tetapi juga lembaga mullah konservatif. Ada asumsi,
seandainya Syari’ati masih hidup, kemungkinan besar ia akan sulit
diterima pemerintah Iran sekarang (hlm 128).
Karena kekhasan, eklektisisme, par excellence-nya inilah banyak
kalangan, khususnya cendekiawan Indonesia, terpukau dan memberinya
“gelar” yang terkadang berlebihan. Misalnya “mujtahid intelektual”
(diberikan oleh Dawam Rahardjo), “ideolog dengan sifat ulil albab”
(oleh Jalaluddin Rakhmat), “ideolog terkemuka abad ini” (Amien
Rais), dan “pemikir humanis-religius” (Hadimulyo).
Hal yang tak kalah briliannya dari Syari’ati dibentangkan
dengan cukup memukau oleh Mun’im A Sirry. Yakni, tafsir
kontekstualnya atas drama kolosal umat Islam yakni haji lewat Hajj:
Reflections or Its Ritual (edisi lndonesia-nya sudah diterbitkan
Mizan yang kabarnya sudah memasuki cetakan Vl). Lewat buku ini,
Mun’im mengintip kepiawaian Syari’ati mengelaborasi signifikansi
simbol-simbol ritualisme haji dengan pesan-pesan kemanusiaan
universal.
Di sini, kata Mun’im, Syari’ati berhasil keluar dari jebakan
tradisi diskursif para ulama yang terkesan kering dan bahkan
terlalu skolastik. Syari’ati menerobos tradisi itu dengan
mendemonstrasikan haji sebagai perayaan pandangan dari monoteistik
(hlm 171).
Dalam meng-“agitasi” massa, Syari’ati tak urung menyenandungkan
puisi yang menggetarkan hati. Ahmad Nurullah meresume dengan baik
sekali filsafat puisi Syari’ati yang memiliki dentuman besar dalam
praktik revolusi.
Puisinya sudah bisa ditebak tak jauh dari nuansa radikal dan
berpihak. “… Sebagai seorang penyair, (Anda) mesti menjelaskan
tugas dan sikap Anda sendiri dalam hubungannya dengan rakyat serta
menandai batas-batas ideologi Anda,” kata Syari’ati seperti dikutip
Ahmad Nurullah (hlm 219).
***

SYARI’ATI dalam banyak hal ingin menggugah kesadaran
cendekiawan muslim yang hanyut dan asyik sendiri di menara
gadingnya, bermesraan dengan abstraksi-abstraksi ilmiah, berkhayal
dengan wirid-wirid penyucian, atau bercengkerama dengan puisi-puisi,
ambiguitas, kontradiksi, dan sindiran, sehingga sedikit orang yang
memahaminya. Atau kebanyakan intelektual yang mempolitisasikan
agama secara sembrono untuk melegitimasi kekuasaan tirani.
Pemikir tercerahkan adalah individu yang dipenuhi kesadaran
yang bertanggung jawab, melangkah langsung ke jantung masyarakat,
memandu mereka mencapai tujuan, kebebasan, dan kesempurnaan
manusiawi, serta menyelamatkan dirinya sendiri dari kebodohan,
kemusyrikan, dan penindasan.
Intelektual yang demikian inilah menjadi watchdog yang tangguh
atas hegemoni Barat. Kepada mereka ini, Syari’ati berseru: “Mari
kita campakkan Eropa; mari kita hentikan peniruan dan “pembebekan”
atas Eropa yang selalu membicarakan kemanusiaan, tetapi merusak
manusia di mana pun adanya” (hlm 113).
Ajakan itu cukup relevan dengan konteks keadaan saat ini,
ketika imperialisme budaya dan kapitalisme global melumatkan semua
lektur dan potensi umat Islam dengan aksara dan aksen konsumtif,
pornografi, dan sebagainya. Syari’ati menganggap kondisi ini tidak
bisa diselamatkan jika tidak ada upaya radix untuk menciptakan
paradigma ilmu sosial yang lebih elaboratif, khas, dan membebaskan,
untuk menata kembali konstruksi sosial-politik-moral Dunia Ketiga
yang tercecer.
Sayang, buku ini hanya memuat pandangan dari kubu “pengagum”
Syari’ati, sementara kubu “kritis” tidak diberi tempat sama sekali,
kecuali dipulung sambil jalan beberapa paragrafnya oleh Deden
Ridwan, seperti kritik Haidar Baqir dan Mochtar Pabottinggi.
Segera setelah membaca pikiran Syari’ati lewat uraian delapan
kontributor dalam buku ini, pembaca diminta bersabar untuk tidak
mengimpor begitu saja “radikalisme” Syari’ati dan mempraksiskan di
Indonesia. Karena, sebuah teologi adalah hasil refleksi dari
setting historis di mana teologi sosial itu diproduksi. Maka belum
tentu apa yang di Iran sama dengan (realitas sosio-politik) kita.
Yang kita butuhkan saat ini teologi rekonsiliatif bukan
pembebasan dan ideologisasi Islam secara fanatis, kasar, dan keras
untuk mengobati luka national character kita yang terancam hancur.
Walau demikian ide relevan yang bisa kita acu dari pemikiran
Syari’ati, yang juga disepakati Amien Rais, adalah penolakannya
secara antagonistik atas imperialisme, kapitalisme, dan status quo.
Ketiga faktor itulah yang melukai peradaban umat Islam (Indonesia)
selama puluhan bahkan ratusan tahun. Karena itu, sesungguhnya
Syari’ati tidak sekadar mengingatkan, tetapi mengajak untuk melawan
tiga kekuatan itu.

(Muhidin, pelaksana komunitas jurnalistik “Goresan” HMI (MPO)
IKIP Yogyakarta)