Membumikan “Teologi Teomorfis” Post-Ramadhan

Inilah artikel yang paling mengesankan buat saya. Bukan karena isinya, tapi proses pembuatan dan pemuatannya. Artikel seperti ini masuk kategori artikel sekali setahun karena lebaran hanya dilangsungkan sekali dalam setahun. Seingat saya, artikel ini sudah saya bikin sejak tahun 2000 dan sudah saya kirimkan sebanyak 3 kali (3 kali idul fitri). Tahun pertama gagal, tahun kedua gagal, tahun ketiga baru berhasil dengan membawa konsekuensi yang aduhai: redaktur opini kompas ganti karena sang redaktur meninggal. Pada ketiga kali pengiriman itu, saya berpikir: bagaimana kalau judulnya saya beliti dan persulit supaya tampak keren. Dan, kalian tahu, saya berhasil.

KOMPAS – Kamis, 05 Dec 2002 Halaman: 4 Penulis: Dahlan, Muhidin M Ukuran: 8663

MEMBUMIKAN “TEOLOGI TEOMORFIS” POST-RAMADHAN
Oleh Muhidin M Dahlan

MANUSIA fitri (the sacred self )adalah manusia yang merayakan
kemenangan spiritual dan akal budi dari kungkungan nafsu diri yang
tertempa selama sebulan dalam madrasah saum.

Secara teologis, pada hari Idul Fitri (kembali pada
fithr/kesucian), manusia ada dalam “kondisi suci tanpa dosa”. Saat
itu manusia ada pada titik pijar “teomorfisme” yang bersifat
transendental-ilahiah atau dalam terminologi Tuhan disebut manusia
takwa sebagaimana terkonseptualisasi dalam kitab suci, “Hai orang-
orang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa “agar kamu bertakwa”.
(Qs 2:183)
Jadi, takwalah yang menjadi “hulu” dari pencarian jati diri
manusia setelah sebulan lamanya menimbang harga kemanusiaannya lewat
ritus pembakaran (Ramadhan).
Ya, Ramadhan merupakan alat untuk membakar semua nilai syahwati
dan menaikkannya menjadi nilai takwa yang menjadi pungkas dari segala
aktivitas ramadhan, yakni Idul Fitri.
Adapun aktivitas ibadah Ramadhan yang kita hidupkan selama
sebulan lamanya,sebagaimana pernah dituliskan cendekiawan muda Yudi
Latif (2001), merupakan neraca nilai untuk mengingatkan manusia akan
keluhuran dirinya jauh melampaui nilai kebendaan dan kuasa yang telah
melalaikannya hanya sekadar obyek produksi, budak kuasa, dan alat
percobaan .
Namun, apa yang dimaksud dengan takwa? Takwa adalah paradigma dan
nilai kehidupan yang fitriah. Kalau sebelumnya hidup kita belum
memiliki nilai atau hambar nilai, maka pascaramadhan seyogianya kita
bisa mengukuhkan cahaya nilai hidup kita yang hilang itu.
Nilai tidak saja membedakan tindakan manusia, tetapi juga
membedakan kualitas manusia. Nilailah yang menjadi ukuran untuk
menentukan makna, keutamaan, “harga”, atau keabsahan sesuatu.
Kecuali hanya sekadar ritual tahunan, ramadhan memiliki implikasi
moral bagi manusia untuk keluar dari jebakan nafsu at-takatsur.
Yakni, nilai yang merasuki manusia untuk suka menimbun harta,
memperluas hasrat mendapatkan status sosial, dan menyebarkan
kejahatan baik lewat kekerasan bersenjata maupun agunan pengetahuan.
(Latif, Ibid)

Mengubah orientasi hidup, dari “having mode” ke “being mode”
Salah satu cara kita untuk mengevaluasi sejauh mana neraca nilai
kemanusiaan merasuk dalam diri kita, bisa diukur dari bagaimana kita
memosisikan diri di tengah realitas.
Artinya, bagaimana orientasi hidup kita post-ramadhan, apakah
orientasi hidup kita tetap saja berkutat pada modus hidup memiliki
(having )ataukah orientasi hidup kita telah naik menjadi hidup yang
bermodus menjadi (being ).
Menurut Erich Fromm, psikoanalis Jerman terkemuka, ada dua gaya
hidup manusia, yakni hidup bermodus “memiliki” (having mode) dan
hidup yang bermodus “menjadi” (being mode).
Kita memiliki pola hidup “memiliki” bila meletakkan kebahagiaan
pada apa yang kita miliki secara indrawi. Sesuatu dikatakan
menyenangkan bila sesuatu itu milik kita, bukan karena sesuatu itu
fungsional.
Maka manusia pun bergelantung pada apa yang dimilikinya. Jati
diri, kehormatan, kebahagiaan, bahkan seluruh hidupnya ditentukan
oleh apa yang ia punyai. Ketika ia kehilangan miliknya itu, ia pun
akan merasa kehilangan dirinya.
Lawan pola hidup memiliki adalah pola hidup menjadi. Dalam agama,
pola hidup menjadi disebut zuhud (orangnya disebut zahid). Apakah
yang dimaksud dengan zuhud? Imam Ali kw menjelaskan, zuhud tersimpul
dalam dua kalimat pada Al Quran, “Supaya kamu tidak bersedih karena
apa yang lepas dari tanganmu dan tidak bangga dengan apa yang
diberikan kepadamu” (Qs.,57:23). Siapa yang tidak bersedih karena apa
yang luput darinya, dan tidak bersukaria karena apa yang dimilikinya,
ia adalah orang yang zuhud.
Adinda Putri Adinda dalam Hidup Itu Indah (2001) menuliskan,
seorang zahid tidak menggantungkan kebahagiaan hidupnya pada apa yang
dimilikinya. Alangkah rendahnya kehidupan bila kebahagiaan
bergantung pada benda-benda mati. Alangkah rentannya kita dengan
pelbagai persoalan bila hati diletakkan pada benda-benda yang kita
miliki. Seorang zahid tidak membuang semua yang dimilikinya, tetapi
ia menggunakan semuanya untuk mengembangkan dirinya.
Ritus Ramadhan yang telah diwajibkan kepada kita sebenarnya
mengajarkan sifat-sifat zuhud ini. Zuhud bukannya meninggalkan dunia,
tetapi tidak meletakkan hati padanya. Zuhud bukan menghindari
kenikmatan duniawi, tetapi tidak meletakkan nilai tinggi padanya.
Inilah pengertian zuhud menurut Rasulullah SAW, “Bukanlah zuhud
itu mengharamkan yang halal, bukan pula menyia-nyiakan harta, tetapi
zuhud ialah engkau tidak memandang apa yang ada di genggamanmu lebih
diandalkan dari apa yang ada di sisi Allah.”
Apa yang ada di tangan kita? Rumah, kendaraan, handphone; istri,
anak-anak, anak buah, kawan, atau fans; karier, pangkat, kedudukan,
atau status.
Manusia memang cenderung pada hal-hal yang material karena sejak
kecil sudah dibiasakan menikmati apa-apa yang secara konkret ada di
sekitarnya. Kita menjadi zahid apabila kita bersedia menukarkan
semuanya itu untuk apa yang ada di sisi Allah. Jadi, seorang zahid
adalah orang yang membuang dunia untuk ditukar dengan apa yang ada
pada Allah.
Tetapi, apa yang disebut dunia? Maulana Majlisi, seorang ahli
hadis dan ulama besar, mengatakan, hendaknya Anda ketahui,
berdasarkan ayat-ayat Al Quran dan Hadis, menurut pemahaman kami
terhadapnya, “dunia yang terkutuk” itu ialah semua hal yang
menghalangi manusia dari mematuhi Allah dan menjauhkan-Nya dari
kasihnya dan hari akhirat. (Rakhmat, 1994)
Oleh karena itu, “dunia” dan “akhirat” merupakan antitesis. Apa
saja yang menyebabkan manusia memperoleh rida Allah dan
mendekatkannya kepada Dia termasuk “akhirat”, meski hal-hal itu
tampak seperti urusan dunia, seperti perdagangan, pertanian,
industri, kerajinan, yang ditujukan untuk memberi nafkah kepada
keluarga karena mematuhi Allah, untuk sedekah demi kesejahteraan kaum
lapar, dan untuk menghindarkan diri dari ketergantungan kepada
bantuan orang lain.
Pendeknya, orang zuhud adalah orang yang hidup di dunia, tetapi
tidak meletakkan hatinya di dunia. Mereka bekerja di dunia untuk
akhirat.
“Zahid adalah mereka yang berada di dunia tetapi tidak mendunia.
Kanu qawman min ahlid-dunya wa laisu min ahliha,” kata Imam Ali kw.

Membumikan “Teologi Teomorfis” Post-Ramadhan
Pungkasnya,seperti kata Jalaluddin Rakhmat dalam Renungan-
renungan Sufistik: Membuka Tirai Kegaiban (1994), modus hidup yang
sehat yang menjadi paradigma hidup manusia fitriah adalah modus
hidup menjadi (“modus hidup takwa”).
Ramadhan memberi kesadaran bahwa hasrat menimbun, berkuasa, dan
berpengaruh (modus memiliki) tak pernah ada puasnya kecuali dengan
puasa (pengendalian diri) dan berzakat (pembakaran kepemilikan agunan
harta yang berlebihan).
Modus hidup menjadi –atau “Teologi Teomorfis”– yang
terinternalisasi dari madrasah Ramadhan atau saum inilah yang menjadi
akar tunjang dari semua usaha berbagi demi tegaknya keadilan yang
humaniter.
Kebahagiaan diperoleh ketika memberi, bukan ketika mengambil.
Menurut “teologi teomorfis”, untuk bisa menjadi, seorang manusia
harus mengeluarkan semua pemusatan ego, semua sikap “kepunyaanku”,
manusia harus mengosongkan diri dari keterikatan kepada pemilikan
(dengan zakat). Dalam “teologi teomorfis”, biasanya pengosongan ini
sebagai kefakiran.
Menurut Syekh al-Akbar Ibnu ‘Arabi (Rakhmat, 1994), kefakiran
bukan tidak mempunyai apa pun, tetapi tidak dipunyai apa pun.
Kefakiran diukur dari sikap, bukan dari jumlah harta.
Kefakiran ditandai dengan ketenangan ketika tidak ada, dan
pemberian dan pengorbanan ketika ada. Fakir mempunyai pola hidup
menjadi yang ditandai dengan kesediaan memberi, berbagi, dan
berkorban.
Sifat-sifat itu tercermin ketika kita melakukan ibadah saum lalu
dilengkapi dengan berzakat. Sekiranya semua warga mampu berpuasa dan
berzakat, gumpalan lemak yang berlebih di satu kelompok bisa
disalurkan menjadi energi hidup bagi kelompok lain.
Manusia fakir inilah yang sesungguhnya ingin kita raih sebagai
pengejawantahan atau pembumian dari (pola hidup) manusia takwa atau
manusia teomorfis.
Adapun pembuktian bahwa kita telah menjadi manusia takwa post-
ramadhan bisa diukur dari sejauh mana kita mampu membumikan dan
mengarahkan orientasi hidup kita tersebut, dari modus hidup memiliki
naik menuju modus hidup menjadi.

MUHIDIN M DAHLAN Editor buku, tinggal di Yogyakarta