Di Monas Kita Aman Pacaran

Menulis resensi dari buku “Politik Kota dan Hak Warga Kota” (Kompas, 2006) ini lumayan unik. Data dan apa yang ingin saya tulis muncul duluan di kepala. Lalu saya cari buku yang mengiyakan apa yang ada di kepala saya. Jadilah buku ini terpilih. Nggak tahu saya ini gaya meresensi apa. Isi buku yang mengikuti kemauan di kepala saya.

KOMPAS – Minggu, 15 Oct 2006 Halaman: 11 Penulis: Dahlan, Muhidin M Ukuran: 8602 Foto: 1

DI MONAS KITA AMAN PACARAN
Oleh Muhidin M Dahlan

Jakarta adalah ibu dari segala kota yang berserak-serak di 17.000 ranting pulau Indonesia. Akan tetapi, ia bukan ibu (kota) yang terbangun dengan politik kota yang kukuh jika politik kota kita artikan sebagai sistem perencanaan atas kota yang mempertimbangkan segala kepentingan yang bekerja dalam kota.

Setidaknya persoalan itu terlihat ketika menilik asumsi bagaimana Monumen Nasional atau Monas (dulu: Koningsplein) dipersepsi masyarakat, terutama oleh para pemuncak kekuasaan yang memang berdiri bertolak, antara pemerintah kota (gubernur) dan pemerintah pusat (presiden).

Tarik-menarik antara asumsi pusat dan lokal, sekaligus hubungan penguasa dan warganya itu, bisa kita simak dari pandangan Presiden Soekarno dan Gubernur Ali Sadikin. Bung Karno kita tahu adalah presiden yang suka hal-hal besar dan monumental. Sejak awal niat Bung Karno menyuruh membuat Monas tak lain sebagai salah satu cara memberi tahu dunia agar Indonesia jangan dipandang sebelah mata; bahwa Indonesia bisa juga membangun yang besar-besar.

Maka, menyembullah stadion olahraga terbesar di Asia yang sekarang bernama Gelora Bung Karno (dulu Gelora Senayan). Termasuk di dalam ambisi itu adalah pembangunan tiang jangkung Monas. “Di tengah-tengah (lapangan) harus dibangun sebuah monumen kemerdekaan Indonesia, dan ia harus terlihat dari jarak seratus kilometer,” ujar
Bung Karno, sebagaimana ia membangun lapangan di Simpang Lima, Semarang, yang (harus) bisa menampung sejuta warga untuk mendengarkan pidatonya.

Politik kota
Lain Bung Karno, lain pula Gubernur Ali Sadikin. Bang Ali seperti politisi asli Betawi, MH Thamrin, yang tidak bicara muluk-muluk seperti falsafah dan ideologi negara, tetapi bicara hal sehari-hari, termasuk peruntukan Monas. “Saya bangun lapangan Monas, saya bangun Ancol. Saya sengaja melarang orang yang lagi pacaran diganggu. Awas lu, ya, kalau mengganggu. Kalau melacur tidak boleh. Tetapi, kalau pacaran, lho itu anugerah Allah.Sudah pernah pacaran? Kan senang, bahagia. Makanya tidak boleh diganggu. Sebab apa? Di kampung tidak bisa pacaran. Coba, di sini anak saya bisa pacaran, ruang tamu kosong, halaman besar. Tetapi, kalau you masuk kampung, satu kamarberjejal dari kakek, nenek, sampai cucu jadi satu, di mana mau
pacaran? Orang sedang bercinta-cintaan ketahuan. Ini saya hayati. Berikan tempat untuk berhibur. Nah, orang tidak mengerti bagaimana sengsaranya hidup rakyat jelata. Dus, pikiran kita harus sampai ke sana,” kata Bang Ali.

Apa yang diucapkan Bang Ali itu disebut politik kota. Yakni, kota yang dirancang dengan pelbagai perca fungsional untuk aneka ragam kegiatan perkotaan yang berlangsung setiap hari, sebagaimana tercetak di kertas rancangan arsitek Thomas Karsten yang memenangi sayembara pembuatan desain Koningsplein pada tahun 1937.

Dalam sketsa Karsten itu terdapat beberapa lapangan olahraga terbuka, sebuah stadion, gedung dewan kota, beberapa kantor pemerintahan kota, perluasan Stasiun Gambir, dan kompleks museum luas yang meski terdapat jalan-jalan lurus dengan vista anggun di dalamnya, desain keseluruhan lapangan memberikan citra santai yang
humanis, jauh dari simetri yang membebani, apalagi memusat pada suatu yang simbolis.

Namun, rancangan basis lokalitas Karsten atas Koningsplein itu tak pernah mewujud ketika Soekarno membangun sebuah beton penjolok langit “yang bisa dilihat orang dari jarak seratus kilometer”.

Cerita di balik pendirian Monas itu hanya satu mosaik yang dipaparkan buku Politik Kota ini. Monas hanya sebutir wacana ihwal Ibu Kota dibangun tanpa masterplan.

Masih ada sebarisan panjang gerundelan bagaimana hak-hak warga atas kota tercederai dalam buku keroyokan ini (terdaftar hampir 50-an penyumbang tulisan yang terdiri dari arsitek dan warga yang peduli atas lingkungan kota).

Salah letak
Hampir semua suara mereka sama, seperti suasana Jakarta hari ini: bau, panas, sesak, penat, dan lelah. Tema kritik itu berputar-putar di sekitar transportasi dan lalu lintas, tata kota dan ruang hijau, kriminalitas, banjir, pelayanan publik, kesehatan, dan perumahan.

Jakarta atau dulunya Batavia memang bukan lagi kota yang dibayangkan playboy Betawi 1837, Oey Tambahsia, yang kerap pelesiran keliling kota (rute Glodok-Pancoran sampai Pasar Ikan) menunggangi kuda blasteran Arab-Sandelwood yang berpelana perak untuk memburu cewek-cewek cantik dan janda-janda tukang kelontong. Bukan karena Jakarta sebagai ibu kota yang mahapadat oleh serbuan urban, melainkan peletakannya sejak dahulu keliru.

HCC Clockener Bronsson dalam bukunya, Gedenkschriften van Een Ond Kolonial, misalnya, menengarai Batavia memang bukan kota yang sehat. Batavia terletak di tepi laut dengan tanah berawa-rawa. Tempat bersarang nyamuk malaria yang memangsa ribuan korban jiwa. Tata letak bangunan yang berimpitan antara satu rumah dan rumah lain, jalan-jalan sempit yang kotor, bangunan-bangunan rombeng, dan kanal-kanal penuh lumpur busuk.

Laporan resmi pada tahun 1714 hingga 1776 menyatakan bahwa 87.000 prajurit dan kelasi meninggal di rumah sakit Batavia, sementara dari tanggal 1 Januari 1730 hingga akhir Agustus 1.752 jumlah keseluruhan yang meninggal di Batavia mencapai 1 juta orang lebih. Semua itu karena demam rawa atau malaria yang begitu hebat menyerang Batavia pada tahun 1733 hingga 1738.

Oleh karena itu, mengelap Jakarta menjadi kota mengilap bukan usaha mudah. Pemerintah kota yang berkuasa saat ini sudah membuat Rencana Jakarta 2010 yang sudah disahkan menjadi Peraturan Daerah Tahun 1999. Namun, Gubernur Sutiyoso menegaskan pelaksanaan rencana itu-dan bukan masterplan-nya- masih amburadul. Banyak kritik yang masuk karena perencanaan yang begitu penting bagi keberlangsungan hidup Ibu Kota hanya disusun beberapa gelintir orang dan abai terhadap suara warga.

Maka, jangan heran bila warga yang merebut haknya untuk hidup layak dalam kota dilakukan secara parsial. Kesadaran kolektif masyarakat untuk merebut haknya itu bisa dilihat dari bentangan spanduk-spanduk yang saban hari muncul di perempatan jalan, seperti gerakan antinarkoba, gerakan antimaksiat, bahkan ada yang lebih banal
menghubungkan gerakan maksiat dengan komunis.

Spanduk yang berdesakan dengan bendera parpol, iklan rokok, dan ajakan membayar pajak itu adalah secauk kesadaran betapa pentingnya hak atas kota. Ketika hal itu tak bisa direbut secara persuasi, kekerasan menjadi pilihan sebagaimana kita lihat daribanyak kasus penentangan kebijakan pemerintah kota, seperti pembakaran warung
remang-remang, pembakaran seorang preman yang diketahui mencopet, serta bentrok antara pedagang kaki lima dan aparat penertiban.

Hak warga atas kota, tulis Herlambang, berlaku horizontal sesama warga dan berhubungan vertikal dengan pemerintah kota. Hak warga paling dasar tentunya hak atas keamanan umum dan kesehatan lingkungan. Hak keamanan umum berupa terciptanya rasa aman di ruang publik kota, perlindungan terhadap tindak kejahatan dan bencana
lingkungan, seperti kebakaran dan banjir.

Adapun hak atas kesehatan berupa hak untuk mendapat utilitas kota yang layak, seperti penyediaan air minum, listrik, pengelolaan sampah, dan limbah. Termasuk hak kesehatan itu adalah bebas dari polusi air, udara, suara, panas, getaran, hingga cahaya silau atau glare.

Selain dua hak itu, ada juga hak mendapat fasilitas kota yang baik dan hak partisipasi umum. Hak yang terakhir ini kerap mendapat porsi perbincangan luas, disebabkan seringnya pengembangan kota mengabaikan hak warga. Itulah yang mendorong direkomendasikan dan dideklarasikannya public participation is a right dalam konferensi PBB Habitat II di Istanbul, Turki, Juni sedasawarsa silam.

Pemenuhan hak itu bukanlah ilusi dalam kesumpekan hidup di Ibu Kota. Itu adalah tagihan bahwa Ibu Kota harus juga berwajah manusiawi dan bukan kota beringasan, berwatak preman, dan karena itu menakutkan. Maka, pada suatu hari kelak pacaran di Monas bisa menjadi kegiatan yang mengasyikkan tanpa harus ketar-ketir “ditertibkan”
atau dipalak preman-preman Monas yang saban malam “meronda”.

Muhidin M Dahlan
Aktif di Indonesia Buku (iBuKu) Jakarta

Data Buku:
Judul Buku: Politik Kota dan Hak Warga Kota
Penulis: S Herlambang, dkk
Penerbit: Kompas, Jakarta, 2006
Tebal: xxii+256 halaman