Dunia Penyembuh Luka Kesunyian

::dian hartati, penyair bandung

Kesadaran akan membaca jarang dijumpai pada masa Sekolah Dasar. Apalagi siswa yang berada di lingkungan nelayan. Membaca adalah satu hal yang sangat tak berguna atau mungkin lingkungan ini telah menetapkan bahwa membaca adalah tradisi orang kota. Perkampungan nelayan dengan berbagai rutinitas yang selalu berkutat dengan ikan, air asin, jala, bahkan perkulakan seakan menginggalkan tradisi membaca.

Tapi ada satu alasan yang dapat menjelaskan mengapa hal itu terjadi yaitu buku-buku wajib yang tak pernah sampai ke pesisir-pesisir pantai. Jika buku wajib jarang ditemukan bagaimana mungkin buku tambahan sebagai pelengkap ditemukan. Buku yang dipakai Sekolah Dasar-pun adalah buku yang telah dipergunakan bertahun-tahun tanpa revisi atau perbaikan. Hal yang tidak aneh mengapa tradisi membaca menjadi hal yang tidak pernah di lakukan.

Seorang anak nelayan__kita sebut selanjutnya anak pantai__ begitu saja memiliki keinginan sangat besar terhadap bacaan. Sampai pada waktunya dia harus meninggalkan kampung halaman demi kemajuan dirinya dan segera mengantarkan anak pantai ini pada gigantisme dunia perbukuan. Dari berbagai kesempatan dia selalu berkutat dengan buku. Baginya dunia buku adalah dunia penyembuh luka kesunyian. Dunia buku adalah dunia pelarian yang sangat baik untuk melepaskan energi hitam yang menyelimuti kehidupan anak pantai ini. Yogyakarta adalah tempat yang dipilih oleh anak pantai ini untuk menimba ilmu, di kota ini pun dia menemukan tempat penjualan buku yang yang tak pernah ditemukan sebelumnya. Baginya buku diciptakan selain untuk dibaca juga untuk disimpan dan berguna untuk menaikkan status sosial.

Kecintaan pada bacaan mengantarkan anak pantai ini pada dunia menulis. Semangat adalah dasar menulis baginya. Untuk kegilaannya itu dia bergabung dengan majalah kampus, pada masa kuliahnya dengan tujuan belajar menulis. Tulisan pertamanya dimuat dalam surat kabar nasional dan langsung saja kritikan pedas menghampirinya. Tapi itu tidak membuatnya ciut, terus menulis adalah satu-satunya jalan agar dia diterima dalam dunia tulis-menulis atau dunia perbukuan.

Dari sepotong senja, buah karya Seno Gumira Ajidarma, kubaca pernyataan ini: sebab cinta adalah kata yang paling abstrak karena ia tidak terlihat secara kasat mata. Maka sepasang kekasih tidak usah selalu bertemu, selalu berciuman dan selalu bergumul untuk mempersatukan diri mereka. Cinta membuat sepasang kekasih saling memikirkan dan saling merindukan, menciptakan getaran cinta yang merayapi partikel udara, meluncur dan melaju ke tujuan yang sama dalam denyutan semesta. (halaman 159)

Anak pantai ini meyakini cinta tumbuh dari pembiasaan saling bertemu dan saling membelajarkan diri, cinta yang tidak sempat dia rasakan lama. Hanya saja pernah dia mengirimkan satu buletin kepada seorang gadis yang isinya adalah ungkapan perasaannya kepada gadis tersebut. Namun sayang dia harus mengakhiri dengan memberikan sepotong sajak cinta. Cinta yang tragis, aneh, dan tanpa tanggapan.

Hidup terus bergulir dan mengantarkan anak pantai itu menjadi seorang pemuda yang benar-benar mencintai buku. Menjadi editor adalah awal dari perjalanan hidupnya sebelum menulis buku.

Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta adalah sebuah buku yang menggambarkan bagaimana seseorang yang berproses dalam dunia tulis dan dunia buku. Semangat menjadi dasar dalam pencapaian keberhasilan. Buku yang sarat pengalaman, digarap dengan apik dan dapat menghadirkan keasyikkan bagi pembacanya yang memang benar-benar senang membaca. Buku yang mengantarkan pembacanya pada pergulatan antara psikologi, wawasan, dan gagasan.

Psikologi sangat menentukan bagaimana penulis pemula harus tetap bertahan ketika tulisan-tulisannya dikembalikan atau sama sekali tidak mendapat kabar dari redaksi. Bagaimana penulis harus tetap menulis karena yang harus dipahami, menulis adalah perjuangan. Perjuangan yang tidak mudah. Bagaimana moral dapat bersosialisasi dengan kesombongan redaktur yang tidak memuat hasil tulisan penulis pemula. Mental yang harus sekuat baja menunggu agar tulisan dimuat atau malah di kembalikan.

Wawasan yang luas, tidak hanya didapatkan dari membaca buku. Hasil diskusi juga dapat memperluas wawasan. Wawasan ini harus berkembang dan melahirkan gagasan yang hebat. Buku dengan banyak gagasan pasti dicari-cari pembacanya. Gagasan tentu saja tidak hadir begitu saja, dan tidak semudah melempar kertas yang salah tik pada tempat sampah. Gagasan muncul seiring perenungan-perenungan. Dapat dikatakan kontemplasi adalah sumber penciptaan sebuah gagasan. Dalam buku ini dapat ditemukan gagasan yang dapat menarik pembacanya untuk selalu membaca dan menulis. Keragaman atau variasi bahan bacaan yang tidak itu-itu saja dapat menguntungkan dan ini sangat berhubungan dengan dunia menulis.

Karena menulis adalah kegiatan merekonstruksi hasil bacaan yang telah kita lahap selama ini. Menulis juga sangat penting agar kita tetap dalam lingkungan intelektual. Seperti kata Pramoedya Ananta Toer dalam Rumah Kaca “Menulislah. Selama engkau tidak menulis, engkau akan hilang dalam masyarakat dan dari pusaran sejarah.”

Muhidin M. Dahlan, penulis buku ini adalah seorang yang sangat mencintai dunia tulis menulis, perbukuan, dan juga dunia membaca. Buku ini adalah hasil rekonstruksi bacaan. Muhidin menyebutkan judul-judul buku seperti Manusia Kamar, Sepotong Senja Untuk Pacarku yang ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma. Buku-buku Pramoedya seperti Rumah Kaca, Gadis Pantai. Panduan menulis seperti Mengarang Itu Gampang-nya Arswendo Atmowiloto. Menulis Dengan Emosi yang di terbitkan oleh Kaifa juga buku-buku lainnya.

Walaupun banyak buku yang menjadi referensi secara tidak langsung dalam buku ini, tidak menjadikan hilangnya gagasan utama. Hanya saja hilangnya nama tokoh dalam penceritaan pengalaman ini yang menimbulkan pertanyaan. Siapakah yang dimaksud aku (anak pantai) oleh penulis dalam buku ini? Apakah Muhidin M. Dahlan atau siapa? ini dapat dibuktikan dengan membaca buku Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta. Akhirnya selamat menekuni dunia yang dapat menyembuhkan luka kesunyian.

Nb. Resensi buku ini menjadi pemenang kedua dari sayembara menulis tinjauan buku untuk PT/Umum yang diadakan Ikapi Bandung menyambut hari buku nasional pada paruh akhir 2003.