“Kabar Buruk” dari Jogja

::zen rachmat sugito, sejarawan partikelir

Muhidin M. Dahlan, novelis muda asal Jogjakarta, datang kembali. Setelah membikin murka banyak orang di Jogja lewat novel sensasional Tuhan, Ijinkan Aku Menjadi Pelacur, tahun ini ia (lagi-lagi) menghadirkan “teror” bagi siapapun yang “hobi” mengkafirkan orang lain yang laku ibadatnya dianggap menyimpang dan tak sejalan dengan syari’at. Teror itu datang dari sebuah novel “gemuk” berjudul Kabar Buruk dari Langit.

Di helai-helai halaman Kabar Buruk dari Langit, sejarah penyebaran Islam di Jawa dan Nusantara dimampatkan. Tapi bukan sejarah penyebaran Islam yang lurus dan adem ayem seperti yang biasa kita dengar, melainkan kilasan sejarah yang penuh intrik, pertarungan, dan tentu saja berdarah-darah, antara dua model pemahaman Islam yang bertumpu pada syari’ah dan fiqih dengan sebuah model pemahaman Islam yang lebih bertopang pada laku ibadat yang personal dan penuh mistik: ajaran wahdatul wujud (manunggaling kawulo lan Gusti).

Tokoh utama novel ini adalah seorang yang pernah menjadi wakil Kota Kudus untuk belajar agama di tanah Arab. Sepuluh tahun kemudian dia kembali ke Kota Kudus. Dalam sekejap, karena kefasihan dan luasnya wawasan, dia segera menjadi salah seorang ulama muda yang disegani. Khotbah-khotbahnya selalu dikerumuni banyak jemaat.
Orang-orang yang mengaguminya bahkan menasbihkannya sebagai nabi baru sekaligus membuktikan bahwa bukan hanya orang Arab yang bisa mempunyai nabi. Tapi semenjak peristiwa Nuzulul Ganja, dia mulai berubah. Dia seperti terobsesi untuk mencari dan menemukan Jibril. Dia pun diusir dari Kota Kudus oleh Abu Suja’i, anggota terkuat Dewan Sembilan Kota Kudus, karena nekat masuk ke masjid dengan menuntun seekor anjing yang diklaimnya sebagai jelmaan Jibril yang kalah bertarung dengan Kurawa dan Pandawa dari dunia pewayangan.

Dia pun terus mencari Jibril. Pencariannya berujung hingga Pulau Rempah (Maluku). Setelah berhasil menikahi seorang biarawati lewat syarat (1) masuk ke dalam agama Nasrani, (2) membakar al-Qur’an dan (3) memelihara babi selama setahun, dia kembali ke Jawa. Sesampainya di sana, dia ditangkap Tentara Tuhan atas perintah Dewan Sembilan Kota Kudus. Tanpa perlawanan dia ditangkap dengan tuduhan penyebar bid’ah dan ajaran sesat.

Dan seperti al-Hallaj, dia tewas di meja eksekusi setelah disiksa habis-habisan. Secara literer, “Kabar Buruk” menunjukkan bahwa Muhidin selangkah lebih baik ketimbang novel pertamanya Tuhan Ijinkan Aku Menjadi Pelacur yang lebih mirip sebuah transkip wawancara. Saya mencatat ada dua strategi literer yang dilakukannya.
Pertama, dengan mencangkok beberapa fragmen yang memiliki rujukan historis. Kedua, dengan menggunakan prononima (kata ganti) selaku protagonis novel. Sejauh menyangkut laku sufistik, perawian riwayat beberapa tokoh sufi serta imbas yang menimpa para pelaku utama sufisme di Jawa, eksperimen pertama Muhidin tak terlampau berhasil. Nyaris tak mengandung suspense.
Eksperimen Muhidin baru terasa punya daya gigit yang kuat dan terasa orisinal ketika fragmen-fragmen historis yang dicangkoknya adalah fragmen yang masih asing dan nyaris tak dikenal.

Ini tampak, misalnya, ketika Muhidin memaparkan sejarah biara tempat Amicta belajar. Eksperimen literer kedua dengan menggunakan prononima digunakan Muhidin terutama untuk mengisahkan perjalanan tokoh utama. Muhidin menggunakan kata ganti orang kedua tunggal: “kau”.

Prononima “kau” biasanya digunakan agar pembaca merasa dekat dan akrab dengan sosok itu, seakan-akan bukan pengarang melainkan pembaca sendiri yang bertutur dan memanggil si tokoh dengan panggilan “kau”. Sayangnya sasaran ini kurang berhasil karena pembaca gagal terlibat langsung dengan arus emosi dan kesadaran tokoh “kau”.
Hal itu terjadi karena “kau” adalah sosok yang terlampau zuhud dengan tujuan penyatuan dirinya dengan Tuhan. “Kau” adalah karakter manusia sempurna yang tak pernah mengingat masa lalu, tak pernah merasakan derita, emosinya datar, tak pernah diterjang pesimisme, kegelisahan apalagi ketakutan (padahal penyaliban Yesus menjadi terasa manusiawi karena di detik-detik terakhirnya Yesus mengalami rasa takut ketika hendak ditangkap di Taman Getsemani).

Terutama selewat halaman 170- an, “kau” telah menjadi sosok yang terlampau linier: fokusnya menuju jalan penyatuan dengan Tuhan nyaris sempurna. Sejak itu, ingatan dan kesadaran “kau” sudah dicokok mati oleh obsesi terhadap penyatuan dengan Tuhan. Ingatan “kau” menjadi mati di situ. Padahal dengan terus menjaga ingatan “kau”, pengarang bisa menemukan keleluasaan dalam berkisah.

Dengan ingatan, sebuah fragmen semenit bisa terasa berlangsung tahunan. Begitu juga sebaliknya. Pendorongan, penahanan, pengembalian dan pengocokan ingatan akan membawa sosok “kau” hidup dalam sebuah ‘ruang dan waktu psikologis’ yang bergejolak. Pembaca pun akhirnya berhadapan dengan tokoh dengan arus kesadaran (stream of consciusness) yang fluktuatif.

Sayangnya pembaca akan kesulitan menikmati perjalanan “kau” dalam menempuh ruang dan waktu karena ruang dan waktu di sini sudah dirampatkan ke dalam satu garis linier yang tak berkelok: jalan penyatuan dengan Tuhan. Sekujur novel ini memang dihampari oleh pokok-pokok ajaran wahdatul wujud. Beberapa digelontorkan dengan memaksimalkan kawanan simbol (misalnya ketika seorang perempuan berkoar akan mencincang nabi Muhammad, hlm. 264-7).

Selebihnya, kebanyakan digelontorkan seperti khotbah yang terkadang membikin sejumlah bagian novel ini terasa seperti esai. ‘Khotbah’ ihwal pokok ajaran sufisme itu biasanya dihadirkan dalam paragraf-paragraf yang dicetak miring. Novel ini, saya kira, memang lahir dengan semangat untuk menghadirkan riwayat dan ajaran ‘kaum splinter’ (dalam istilah Azyumardi Azra) atau ‘kaum sempalan’ (dalam istilah Martin van Bruinessen).

Di situlah saya meletakkan posisi novel Kabar Buruk. Novel ini hadir untuk merawikan betapa sejarah Islam di Nusantara bukanlah sebuah riwayat yang dingin-dingin saja. Ada pertarungan sengit antara pelbagai paham. Pertarungan itu bahkan kerap meminta tumbal. Siti Jenar, Hamzah Fansuri, Ki Ageng Pengging hingga Amongrogo dibunuh.
Para pengikut Fansuri bahkan dikejar- kejar dan dibakar hidup-hidup. Apa yang digambarkan dengan begitu tandas, provokatif dan tanpa tedeng aling-aling oleh novel ini sebenarnya adalah sesuatu yang historis: pernah terjadi di jantung sejarah Islam di Indonesia. Bahkan mungkin juga masih terjadi di hari ini, esok dan entah kapan. Wallahualam.