Sastra Mazhab ”Selangkang” (SMS)

::mohammad eri irawan, http://gameda.wordpress.com

Pada 15 Desember 2006 lalu, sejarawan Taufik Ismail melakukan orasi budaya di Taman Ismail Marzuki (TIM). Dengan makalah yang sama, Taufik juga berbicara di hadapan dosen-dosen Institut Pertanian Bogor (IPB) pada 9 Januari lalu. Dia membacakan makalah berjudul Budaya Malu Dikikis Syahwat Merdeka. Dilaporkan, di penghujung orasinya, Taufik Ismail mengusap airmatanya. Taufik merasa prihatin dengan dunia sastra dan kondisi masyarakat saat ini.

Dalam orasi budayanya, Taufik mengangkat tigabelas poin berisi perkara yang dihadapi bangsa. Di antara tigabelas perkara itu, terdapat term SMS, sastra mazhab ”selangkang”, terminologi Taufik untuk menyebut sastra ”berlendir” atau bertema seks yang memang sedang marak menghiasi etalase toko buku di Indonesia.

”SMS”

Taufik menyorot SMS dalam lingkup besar: bisnis pornografi. Dari tigabelas perkara yang dikeluhkannya, sepuluhnya memang bercerita soal pornografi. Sementara tiga lainnya juga tak terlepas dari dunia seks, yaitu alkohol, narkoba, dan nikotin.

Bisa diduga, Taufik menuding, banyaknya karya ”SMS” telah berperan signifikan dalam dekadensi moral di tubuh bangsa ini.

Saya kutipkan naskah asli orasi budayanya terkait ”SMS”. ”(Poin) Kelima; penulis, penerbit, dan propagandis bukusyahwat ¼ sastra dan ½ sastra. Di Malaysia, penulis yang mencabul-cabulkan karyanya (adalah) penulis pria. Di Indonesia, penulis yang asyik dengan wilayah selangkang dan sekitarnya mayoritas penulis perempuan. Ada kritikus sastra Malaysia berkata, ’Wah, Pak Taufiq, pengarang wanita Indonesia berani-berani. Kok mereka tidak malu, ya?’

Memang begitulah, rasa malu itulah yang sudah terkikis, bukan saja pada penulis-penulis perempuan aliran SMS (sastra mazhab selangkang) itu, bahkan lebih-lebih lagi pada banyak bagian dari bangsa,” tulis Taufik. Taufik yang dikenal sebagai penyair bermazhab humanisme universal memancangkan tekad untuk melawan genre ”SMS”. Dia lantas bernubuat bahwa sastrawan-sastrawan pemula harus benar-benar menjadi sastrawan yang mampu menguatkan kembali rapuhnya kondisi moral bangsa setelah lama dihujani sastra ”berlendir”.

Karya sastra yang mengangkat tema seks, kata Taufik, berperan dalam liberalisasi seks. Pemerkosa mungkin saja, kata Taufik, pernah membaca cerpen atau novel cabul yang di dalamnya memberi sugesti secara samar-samar dan bahkan jelas mendeskripsikan terjadinya hubungan kelamin, apakah dengan kata-kata indah nan sastrawi atau kalimat-kalimat brutal.Akibat sosial inilah yang tak pernah dipikirkan penulis, keluh Taufik.

Semua rangkaian musibah sosial ini tidak pernah dipikirkan oleh sastrawan erotis—demikian istilah Taufik—yang umumnya asyik berdandan dengan dirinya sendiri, mabuk posisi selebriti, ke sana disanjung ke sini dipuji. Kata Taufik, sejumlah cerpen dan novel pascareformasi sudah dikatakan orang mendekati VCD/DVD porno tertulis.

”Destruksi sosial yang dilakukan penulis cerpen-novel syahwat itu, beradik-kakak dengan destruksi yang dilakukan produsen-pengedar-pembajak-pengecer VCD/DVD porno,” tulisnya.

Taufik menyatakan, sastrawan erotis adalah pencuri. ”Mereka maling tersamar. Mereka celakanya, tidak merasa jadi maling, karena (herannya) ada propagandis sastra menghadiahi mereka glorifikasi, dan penerbit menyediakan gratifikasi. Propagandis dan penerbit sastra semacam ini, dalam istilah kriminologi, berkomplot dengan maling,” tulisnya.

Beberapa sastrawan erotis, kata Taufik, di antaranya mungkin memang nymphomania atau gila syahwat, hingga ada kritikus sastra sampai hati menyebutnya ”vagina yang haus sperma”. Dalam menulis karyanya, sastrawan-sastrawan itu seperti orang (maaf) buang air besar, menjijikkan. ”Percuma bicara tentang moral dengan mereka. Dengan ringan nama Tuhan dipermainkan dalam karya,” tulis Taufik.

Menyorot Keluhan Taufik

Mudah diduga, siapa sastrawan-sastrawan erotis yang dituduh Taufik sebagai pencuri itu, apalagi jika sastrawan perempuan. Saya bisa menyebut sedikit nama, yang besar kemungkinan diklasifikasikan Taufik sebagai sastrawan erotis.

Di antaranya, Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, dan Rieke Diah Pitaloka. Yang pasti, juga Muhidin M. Dahlan, yang novel-novelnya dengan lantang bicara erotisme. Patut dicatat, Muhidin yang dikenal dekat dengan Pram—hampir seluruh karya Pram kata pengantar penerbitnya ditulis oleh Muhidin—dikenal selalu berseberangan dengan Taufik.

Menurut saya, Taufik terlalu melakukan simplifikasi dalam memandang karya sastra yang mengangkat tema seks. Taufik tidak melakukan pembacaan terhadap konteks ”perlawanan” yan diusung para sastrawan yang dituduh Taufik sebagai sastrawan erotis itu. Ayu, Djenar, Rieke, dan Muhidin—untuk menyebut beberapa nama—memang kerap menulis tentang seks, tapi mereka tidak menggunakannya untuk merangsang pembaca, seperti buku dan majalah porno murahan yang dijual bebas di emperan terminal dan stasiun.

Mereka mengangkat seks dengan tujuan menyucikan seks dari daya hipokrit manusia. Mereka ingin mengubah hubungan seks yang penuh nafsu kebinatangan menjadi hubungan humanis yang adiluhur. Dan, jalan yang dipilih mereka untuk membongkar penindasan dalam kerangka hubungan pria-perempuan itu adalah jalan kesusastraan.Mari mendudukkan ”teks’ dalam karya sastra mereka ke dalam ”konteks” budaya masyarakat kita.

Tema-tema seks yang mereka angkat adalah bentuk perlawanan terhadap budaya patriarki yang masih bahkan kian mengental di republik ini.Saman-nya Ayu Utami, misalnya. Di Saman (1998: 191-195), dilukiskan bagaimana hubungan pria dan perempuan pertama kalinya taman firdaus, yang diidentifikasi sebagai Adam dan Hawa di surga. Diceritakan bahwa sang pria yang pertama kali ada di bumi, kemudian tulang rusuknya menghilang satu dan mewujud menjadi makhluk perempuan.

Ketika digambarkan sedikit erotisme di antara keduanya, lantas perempuan yang dicap buruk sebagai ”makhluk penggoda”, yang membuat kedua manusia pertama di muka bumi itu dilaknat dan diturunkan dari surga menuju bumi. Bukankah dengan demikian Ayu Utami coba memberontak pandangan bahwa perempuan adalah makhluk kelas dua, yang tercipta dari rusuk pria, dan selalu ditakdirkan menjadi makhluk penggoda, hingga tubuhnya pun dianggap laknat dan harus ditutupi erat-erat?

Konteks seragam juga kita temui di novel Muhidin yang sudah naik cetak sembilan kali, Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur: Memoar Luka Seorang Muslimah. Lewat tokoh Nidah Kirani, Muhidin bercerita tentang adanya aktivis organisasi dakwah yang kerap mengunjungi tempat pelacuran. Bukankah lebih baik memaknai ini sebuah kritik yang tajam, daripada memaknainya sebagai ”alat perangsang”?

Di sinilah sejatinya makna karya-karya ”SMS” seperti ditudingkan Taufik. Bahwa, karya-karya ”SMS” telah berhasil membongkar tabir kebobrokan masyarakat yang kental oleh budaya patriarki. Inilah karya-karya dengan kritik pedas dan mengena kepada kekuasaan, karena kekuasaan didirikan, selalu butuh, dan melanggengkan patriarki.

Penindasan dalam budaya patriaki yang dilanggengkan dalam jubah agama, itulah yang dilawan oleh karya-karya yang dituding Taufik sebagai ”SMS” itu.Sebab, selain sebagai wujud berekspresi dengan bebas, bukankah sastra juga berfungsi sebagai elan kritik? Sastra harus mampu membongkar realitas semu yang selama ini kerap berlindung di bawah hegemoni tafsir tunggal agama.

Sastra harus menjadikan agama sebagai sesuatu yang berpraksis sosial. Impiannya, ketika agama tak lagi dijadikan alat hegemoni untuk mengkooptasi rakyat, ketika itu pula agama hadir sebagai pembebas.