Aku dan Pamuk

Bagian 2: Percakapan Pada Pesawat Soekarno Hatta – Tjilik Riwut

::muhidin m dahlan

SNOW
Penulis: Orhan Pamuk
Penerjemah: Berliani M Nugrahani
Penerbit: Serambi, April 2008
Tebal: 731 halaman.

10 Juni 2008
Cengkareng, Tangerang. Aku di bandara Soekarno-Hatta ini; sepagi ini. Menuju Palangka Raya untuk sebuah urusan adat dan kepercayaan. Di sini, aku hanya figuran alias buntut karena ditunjuk untuk mempresentasikan program I:BOEKOE ihwal kisah Nusantara kepada para pemangku adat (Dayak). Dan di sini sekarang aku. Di mulut bandara yang riuh. Di tanganku tergenggam Pamuk yang sudah kudapatkan struktur kisahnya dalam sebuah perjalanan dengan kereta Jogja-Jakarta.

Dan aku coba membaca masygul epitaf ini saat menghalau kebingungan melihat orang lalu-lalang menuju keberangkatan dengan bertumpuk-tumpuk bawaan dalam troli.

“Karena saya seorang penyendiri itulah maka saya tidak bisa mempercayai Tuhan, saya tidak bisa melarikan diri dari kesendirian. Apa yang sebaiknya saya lakukan?” (hlm. 169)

Aku memilih duduk ngelesot. Menjauh dari rombongan keberangkatan ke pedalaman yang berjumlah lima orang: BU MAR, PAK NAGA, RA, NO. Tapi tak ada ruang untuk diam kecuali aku bernaung di antara kaki-kaki orang-orang sibuk dan bergegas. Riuh rempak, sembari menanti diri dilemparkan ke jantung Borneo. Inilah usahaku yang pertama melepaskan diri dari ekor rombongan dengan handphone dalam posisi silence.

“Saya ingin menjadi terlupakan di sudut dunia yang paling tak terjamah ini, di bawah selimut salju.” (hlm 169)

Dalam situasi seperti ini dan di mana pun, sesungguhnya aku jarang sekali bertanya ini dan itu. Sebab membaca adalah kerja jiwa dan bukan kerja mulut. Karena itu ia adalah subversif karena menafikan realitas yang bekerja dengan aturannya sendiri. Aku kemudian akan bertanya bila terpaksa sekali ketika mulut ketersesatan sudah berada di bibir sadar. Dan di bandara yang sudah demikian hidup sepagi dan entah sudah berapa jumlah manusia dilemparkannya ke tujuan asali, aku menemukan di sebuah kota begitu banyak manusia bertanya dan mendebat apa yang ada di hati mereka.

“Aku ingin mengajukan satu pertanyaan, satu pertanyaan terakhir.” (hlm 177)

Sudah kubilang di atas tadi bahwa membaca adalah kerja subversif. Bersama Pamuk, aku belajar mengikuti nalar pembangkangan. Pamuk mengumpan KA untuk masuk dalam arena, sementara aku diumpan oleh matahati sendiri untuk mengikuti dengan awas seluruh kenyataan dalam cerita dan melupakan siapa pun yang ada di sekelilingku. Bukan hanya menulis yang membuat seorang darwisi mengalami trance, tapi membaca pun membikin orang akan meloncat ke dalam angan-angan yang tak berhingga. Apakah yang kulakukan ini juga adalah melinting pembangkangan kecil dan eksistensial dalam derau berisik roda-roda troli yang tak pernah berhenti menggarisi keramik di mana aku duduk khusyuk.

“Kalau agamamu mengharuskanmu menyembunyikan rambutmu, dan negara melarangmu memakai jilbab, kenapa kalian tidak sekalian saja membangkang? Kenapa tidak sekalian saja kalian memotong rambut kalian dan memakai anting hidung? Dengan begitu, seluruh dunia akan tergugah dan memperhatikan kalian!” (hlm. 187)

Lalu aku teringat, bahwa sesungguhnya jalanku ke jantung Borneo sesungguhnya hanya memindahkan tempat untuk menulis risalah kebudayaan yang dilakukan oleh aktivis kebudayaan, baik yang bernaung dalam Lekra maupun PKI pada 1955-1965; menulis tentang sepak-terjang orang-orang yang sekeluarga dengan komunis. Bersama RA, aku memboyong seluruh data, mengikrarkan diri bahwa ada halaman-halaman menunggu dituliskan dan itu mesti diselesaikan di Borneo.

“Ada dua macam komunis: komunis arogan yang berharap dapat menjadi manusia unggul dan memberikan kemajuan bagi bangsa; dan komunis tulus yang terlibat karena mereka mempercayai kesamaan dan keadilan. Komunis arogan terobsesi pada kekuasaan; mereka merasa pendapat mereka dapat mewakili keinginan semua orang, dan hanya keburukanlah yang dapat diharapkan dari mereka. Komunis tulus hanya membahayakan diri mereka sendiri; tapi, memang itulah yang mereka inginkan sejak awal. Mereka merasa sangat bersalah melihat penderitaan orang miskin, dan sebagai tindakan pertolongan, mereka rela membuat hidup mereka sendiri menderita….” (hlm 197)

Mungkin rombongan yang menuju pedalaman Borneo ini datang kepagian. BU MAR, yang bertindak sebagai kepala rombongan dari Depbudpar, bilang naik pesawat pukul 10. Dan saat ini masih pukul 8.15. Di perut bandara yang sesak dan dingin ini aku dan Pamuk tertahan di deret bangku-bangku fiber keras oranye. Tapi aku tak boleh bingung, walau di mana pun kutahu, menunggu adalah saat-saat menyesakkan. Aku juga tak boleh gentar dan celingukan tiada guna. Pada saat seperti ini kubuang angan jauh-jauh hendak menulis puisi seperti KA yang merintih dalam kepungan badai salju yang menghebat dari hari ke hari. Di sini, aku hanya bisa membaca dan menuliskan apa yang kubaca. KA menerangkan tentang puisi. Tapi aku tak tertarik. Apalagi sebait puisi KA yang diterjemahkan dalam novel ini tak menyentuh pedalaman jiwaku walau berkali-kali KA mengigau bahwa puisinya adalah kesempurnaan jiwa dalam sekali sapuan coretan. Kulewati begitu saja bab 15 ini.

Kuturunkan sejenak perlombaan melajutkan kisah KA; seorang wartawan cum penyair itu. Tampak di depanku BU MAR kecapekan. Kepalanya nyut-nyutan. Mengungkapkan niat mencari tukang pijat ahli spa dari seluruh kerja mengurus dan mengumpulkan kaum beradat di Nusantara untuk berkumpul di jantung Borneo pada tanggal 12 kelak. Tiba-tiba kuingin menanyakan apa agamanya, walau kutahu ia salat. Sebab di kota KARS, menanyakan siapa dan apa keyakinan orang lain adalah sebuah keyakinan yang harus dipercayai untuk mengetahui siapa-siapa yang menyembunyikan rasa munafik dalam hatinya di mana itu mesti dibersihkan.

Rombongan dalam penantian ini lengkap sudah kini. Cuma berlima. Aku tepat duduk di depan RA. Ia memakai jilbab abu-abu dengan stelan celana selongsong hitam. Aku kerap iseng menggelitiki pikiran sendiri, apa sih fungsi jilbab menurutnya? Dan aku sungguh tak tahu dan memang untuk apa aku mengorek-ngorek hal itu jika di kota KARS tak kutemukan bahwa soal jilbab dan tak memakai jilbab adalah soal agama dan politik yang genting dan riskan. Di KARS, jilbab adalah identitas.

“Jilbab melindungi wanita dari pelecehan, pemerkosaan, dan penyepelean. Karena jilbablah wanita mendapatkan kehormatan dan kedudukan yang nyaman di dalam masyarakat. Kita sudah mendengar tentang hal ini dari begitu banyak wanita yang memilih untuk mengenakan jilbab pada hari tua mereka….” (hlm 82)

Sekaligus keyakinan kaum beragama itu ditentang habis oleh mereka yang sudah bertekad sepenuh-penuhnya untuk melontarkan Turki di jalan baru modernisme Eropa/Barat. Di Teater Nasional, berlangsung pertunjukan. Soal jilbab lagi-lagi.

“(1) Seorang wanita berjilbab hitam legam sedang menyusuri jalan; dia berbicara kepada dirinya sendiri dan berpikir. Sesuatu mengganggu pikirannya; (2) wanita itu mencopot jilbabnya dan memproklamasikan kemerdekaannya. Sekarang, dia bahagia dan tidak berjilbab; (3) keluarga, tunangan, kerabat, dan beberapa muslim berjanggut merasa keberatan dengan kemerdekaan wanita itu sehingga menuntutnya untuk memakai kembali jilbabnya. Kemudian akibat amarah yang menggelegak, wanita itu membakar jilbabnya; (4) orang-orang dari golongan fanatik berjanggut rapi yang selalu mengurut tasbih berang melihat pameran kemerdekaan ini, marah besar, namun tepat ketika mereka menyeret rambut si wanita untuk membunuhnya…; (5) seorang prajurit muda pemberani dari pasukan republik menghambur ke panggung untuk menyelamatkannya.” (hlm 249)

RA menyantap burger terakhir dari lima burger yang disiapkannya sesubuh tadi. Di kursi tengah ia kunyah burger itu dengan intens dan lahap; kecepatan kunyahan itu tiada lain juga dibantu dorongan rasa lapar karena menunggu. Dipangkuannya, tergeletak Taj Mahal yang sedang tertudung. Burger berceceran. Sementara BU MAR berbincang dengan NO tentang Kepres dan sungguh mati aku tak mengerti mereka sedang membicarakan UU apa…. Hukum. Ah, syukurlah bukan hukum agama atau headline semua koran hari ini yang menuliskan tentang keluarnya Surat Keputusan Bersama dari pemerintah yang melarang seluruh aktivitas Ahmadiyah di seluruh Indonesia sebagai akibat dari desakan sebagian masyarakat Muslim yang merasa agamanya dinodai Ahmadiyah.

Sebagaimana di sini, di KARS yang miskin dengan kedirian manusia-manusia yang rapuh dibungkus salju, hukum agama yang diterapkan secara ketat menjadi menjadi pegangan yang mesti dicengkeram dengan sangat kuatnya, setolol dan sekolot apa pun pikirannya. Sebab memaksakan diri menjadi modernitas hanya akan menimbulkan olok-olok yang keji dan ironis dari Barat untuk mereka. Dan yang dilakukan setelah itu adalah:

“Mampuslah musuh agama! Mampuslah ateis! Mampuslah orang-orang kafir!”

Dengan cara apa pun saling mengumpat adalah bagian dari pekerjaan “suci” di KARS. Itu bukan mutlak pekerjaan kaum Muslim yang dianggap kolot dan terbelakang dan karena itu kerap didakwa sebagai pembuat onar dan teror. Sekularis yang mengatasnamakan diri sebagai pemilik pikiran maju pun melakukan pekerjaan “suci” yang sama. Lakon mengumpat dan merendahkan identitas Muslim dilancarkan. Dalam repertoar tunggal Tanaiarku dan Syalku, jilbab dinodai, dilepas, dan dirabukan dalam api.

Ah, aku mesti rehat sejenak. Pamuk kuapit serta mengikuti langkahku ke toilet di lantai bawah penantian. RA sudah 2 kali menyetorkan hasrat. BU MAR juga memiliki rekor yang sama. Ini kerja pelepasan demi kelancaran sirkulasi air dalam tubuh yang terus-terusan disirami pendingin.

Sebetulnya aku berharap benar bahwa aku turut serta berada dalam kekacauan di Teater Nasional itu ketika seorang kolonel menembak seorang pengancam dari Islamis garis keras yang meneriakkan hujatan dan menebar ancaman atas lakon yang oleh beberapa guru sastra yang hadir dianggap cukup memukai secara artistik, tapi melecehkan agama bagi orang-orang beriman di KARS. Dan penembakan itu membuka jalan revolusi dan razia besar-besaran di seantero KARS.

“Ini bukan sandiwara–ini adalah awal dari sebuah revolusi… Kita telah siap untuk melakukan apa pun untuk melindungi tanah air kita. Percayalah pada pasukan Turki yang hebat dan terhormat! Prajurit, bawa mereka ke sini!” (hlm 271)

Dalam Kabin Sriwijaya Air. Aku duduk di kursi sisi kanan. Nomor 15E. Terapit oleh dua tua dewasa. Di kanan ada PAK SINAGA dan di sebelahnya grup kelompok lain yang sibuk memanggili tasnya yang dipindahkan dengan sembarangan oleh seorang pramugari. Di tengah itu tubuhku yang kecil kian terjepit saja. Lamat kudengar peringatan yang mirip doa rutin yang menumbuhkan harapan dan sekaligus kecemasan bagi orang-orang yang memasrahkan diri kepada Tuhan atau kepada apa pun dalam perjalanannya yang ditempuh selama satu jam 20 menit ini. Dan dalam lelangut doa-doa itu, Pamuk berada di pangkuanku yang sesekali kuangkat dengan kedua tangan sebagai ritus pemanjatan doa dalam sekali perjalanan menuju Borneo.

Revolusi di KARS sudah meletus. Ratusan Islamis radikal ditangkapi. Tapi pesawat ini dingin sekali. Kutarik ruisleting jaket lebih ke atas hingga mencekik leher. Kutekuk tanganku agar mengeram di balik kain. Topi hijau yang kukenakan tak memenuhi harapanku untuk mampu menahan dingin yang merasuk hingga ke ubun.

KA diinterogasi pihak kepolisian. Sementara pramugari yang berkulit bersih menyodorkan ke masing-masing penumpang sebuntelan permen yang kucauk sekadarnya (dapat tiga).

Dengan permen itu, tubuh melesat ke udara. Dan di ketinggian ribuan kaki di atas Tatar Pasundan di panggung awang-awang meluncur pertanyaan: terbuat dari apakah teater dan sejarah. Bila pertanyaan serius ini disodorkan kepada Pamuk, mungkin ia akan memanggil Hegel untuk membacakan sekuplet jawaban.

“Hegel adalah orang pertama yang melihat bahwa sejarah dan teater terbuat dari bahan yang sama. Ingatlah bahwa, sama seperti teater, sejarah memilih siapa orang yang tepat untuk menjadi pemeran utama. Dan, sama seperti para aktor yang mengerahkan seluruh keberaniannya di atas panggung, sedikit orang yang terpilih sebagai pelaku sejarah juga harus melakukan hal yang sama.” (hlm 336)

Kata petugas kabin yang bersuara empuk, cuaca kurang baik. Aku melirik RA dan NO yang duduk di sisi kiri. Memastikan apa yang ada dalam benak mereka tentang cuaca buruk. Kulihat, RA mulai menguatkan pegangannya pada ujung kursi karena setelah itu tubuh pesawat berayun-ayun seperti bajaj yang terantuk oleh hadangan polisi tidur atau jalanan yang berlobang dan menggelombang. Mestinya pengumuman itu bisa merobek nyali setiap orang karena pada saat itu semua orang sadar sampai pada batas mana maut menguntit. Tapi pengumuman itu, anehnya justru menerbitkan kegembiraan. Sebab yang terbayang dibenakku adalah asuransi 500 juta setiap jiwa yang melayang di mana akan segera dibayarkan kepada keluarga yang ditinggal. Buat sosok pemurung sepertiku, maut tetap jemputan nikmat. Lumayan bukan, hitung-hitung kapan lagi “berbakti” kepada kedua orangtua dengan mendapatkan uang segitu banyak yang tak terbayang bisa kudapatkan sepanjang hidupku sebagai penulis. Lagi pula nasib penulis murung dan tercela sepertiku tak terlalu baik di negeri ini.

KA juga aku tahu selalu mengimpikan bisikan maut itu, walau sesekali nyalinya ciut jika jiwanya habis di ujung peluru kaum Islamis garis keras yang mencurigai setiap iman orang di luar kelompoknya.

Tapi maut itu segera berlalu. Dan aku untuk pertama kalinya menginjak bumi Borneo sepanjang hidupku. Di bandara Tjilik Riwut, hubunganku dengan Pamuk pun kututup. Karena kini giliran tulisan Lekra yang meraung-raung memohon jatah untuk dicatatkan di bumi Borneo ini.

Palangka Raya, 10 Juni 2008