Aku dan Mangir (1)

::muhidin m dahlan

Mangir (Drama)
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: KPG, Jakarta
Tahun: 2000

Alun-Alun Kidul, Kraton, 25 Juni 2008. Rembang belum jatuh seutuhnya di ekor kerajaan mataram yang tersisa ini. Sekelebat kenangan tentang Mangir muncul. Bukan karena aku usai membaca dan memberi pengantar penerbit Arok Dedes untuk terbitan Lentera Dipantara di mana lakon Mangir itu adalah tetralogi keempat dari serantai sejarah politik bangkit-jatuhnya Kerajaan Jawa yang dipresepsi Pramoedya Ananta Toer.

Aku, sebuah sms: “Bu Besar, Mangir masih diterbitkan KPG atau Lentera Dipantara sedang mempersiapkan terbitan terbarunya?”
Astuti Ananta Toer, sms balasan: “Belum. Mangir masih menjalin kongsi dengan KPG.”

Mangir seperti sebuah sihir yang memintai perhatian, sementara aku begitu sibuk melayani permintaan IDA, anggota ‘Dewan 13’ KuBuGil, yang menjura dengan segala posisi agar jurnal kaos edisi #2, khusus buat dirinya, jangan merah tapi biru-dongker. Ia mencoba melakukan gerakan memutar-mutar seperti senopati Jawa yang kemudian mengalahkan Mangir dengan cara yang sangat memalukan. Ida kadang mengedip-ngedip. Kadang men-tung. Tapi yakinlah tak ada adegan plurk mem-plurk hingga akhirnya aku menyerah. Tapi aku berpesan agar tak usah dia berteriak-teriak kegirangan di bangsal KuBuGil yang mengundang Yiayia, Mamsky, dan Ibutio bangkit dari tidurnya dan memaksakan Pinky ikut diloloskan. Tapi untuk Pinky aku sudah bersumpah demi martabat dunia kain-mengain (aing-aing) akan menjadi kaos puncak yang menjelaskan semua hal tentang sejarah KuBuGil di atas kaos pada edisi #13 kelak entah kapan.

Sore itu kamar kerjaku membeku. Lampu mati. Gelita seperti mengusirku bersama RA untuk segera mencari Mangir di Shoping Centre Jogja yang kini terletak di emper Taman Budaya dan bersinggungan bokong dengan Taman Pintar. Aku memang menjadi penulis spesial pengantar penerbit untuk semua karya-karya Pram terbitan Lentera Dipantara sejak 2002, tapi untuk buku Mangir aku belum memilikinya. Aku sudah membacanya, tapi itu pun karena terpaksa ketika pada Maret 2007 menanti RA di perpustakaan Malioboro untuk membongkar ribuan arsip Lekra di Harian Rakjat. Selama tiga jam kusuntuki buku lakon itu dan aku tak tahu di mana sekarang buku itu. Sebab perpustakaan itu sudah berubah. Penataannya juga sudah berganti.

Dan aku ingin mendapatkan kembali Mangir. Sekarang. Sebagai petunjuk menuju petilasan Ki Ageng Mangir di selatan Jogjakarta, tepatnya di kawasan Mangiran. Dan jalan pertama yang kutempuh adalah Shoping Centre. Kuingat-ingat, Pusat Buku Jogja ini nyaris setahun tak pernah lagi kusinggahi setelah aku meninggalkan hutangan buku sekira Rp 750 ribu di kios Social Agency Baru milik Hj Afni yang hingga malam ini hutang itu tak jua kulunasi. Barangkali saja bakal kupakai taktik menyogoknya dengan beberapa kaos KuBuGil-turahan untuk menjaga agar aku tak dicibirinya. Dan aku, setahun kemudian, diseret oleh sihir Mangir untuk sampai lagi ke sini.

Tapi Mangir sudah lenyap dari Pusat Buku ini. Kios-kios di lantai dasar yang kusinggahi mengatakan tidak untuk Mangir. Aku dan RA bergegas ke atas. Nyaris semua kios sudah tertutup. Kususur bangsal sunyi itu lalu memutar sekali. Dan benar-benar Mangir telah tiada dari sini.

Gramedia, 26 Juni 2006, Siang. Komputer pencari menjawab pertanyaanku dengan skor 0 untuk Mangir. Misiku hari ini juga adalah mencari buku John Rossa, Dalih Pembunuhan Massal, sebagai bingkisan kepada RA karena aku kalah bertaruh dengannya: Jerman menyingkirkan Turki 3-2. Rossa juga dijawab komputer dengan sederet kalimat pendek merah: TIDAK DITEMUKAN! Lalu aku ke utara jalan dan berjumpa pusat buku loakan di Terban. Aku mengambil posisi berhenti di kios bagian tengah dari banjaran panjang kios-kios buku yang masih terbuat dari kayu dan seng di atas trotoar. Tapi Mangir sudah hilang juga dari sini. Si Rossa juga belum menampakkan batang punggungnya.

Aku balik kanan. Tujuanku kembali ke Shoping Centre. Aku berpikir barangkali di siang hari Mangir ujug-ujug nongol ketika semua kios buku terjaga seratus prosen. Tetap saja tidak ada. Satu-satu, seperti semalam, kios-kios yang sedang menanti para penawar buku, kutanyai. Ashar, penjaga kios Empat Putra yang kukenal baik, mengatakan: “Gus, kayaknya Mangir diobral limaribuan waktu book fair beberapa waktu lalu.” Mangir memang bukan buku langka, tapi aku ingin mencarinya dengan cara bertahan tak meminjam dengan teman-teman tapi menemukannya sendiri di kios-kios atau di toko buku yang siang malam membekapnya.

Ke lantai dua. Berhenti di kios Lentera (bukan “Lentera Dipantara”) yang banyak menjual buku-buku kelompok Mizan—dulu kios buku ini jadi langgananku ketika ghirah keagamaanku masih melunjak-lunjak dan masih rajin mengikuti perintah-perintah dasar yang dibebankan Tuhan. Di sini aku menanyai, walau tak yakin bahwa Mangir yang merupakan sosok penghayat-abis (mungkin serupa dengan kaum Samin) bisa singgah di kios ini. Tapi jawaban dari sini mengagetkanku. Alih-alih menunjukkan buku Mangir, malah aku ditunjukkan bahwa di sudut selatan kompleks Shoping ini (masih di lantai dua) yang bersebelahan dengan kantin ada orang Mangiran. Namanya PAK NARDI. Nama kiosnya? Tak bernama. Aku lalu bergegas. Dan benar. Kios ini tak bernama. Dan nyaris buku-buku yang dijualnya berasal dari bukan penerbit-penerbit mainstream dari kubu Jakarta-Bandung seperti Gramedia, Mizan, Serambi, melainkan kubu penerbit rumahan yang tak dikenal kalangan intelektual dan perajin buku dan kebanyakan berasal dari Surabaya dan Semarang. Misalnya Kisah Wali Songo, Riwayat Ringkas 25 Rasul, Ensiklopedia Budaya Jawa, Primbon Mujarobat Kubro, Iqra Cara Cepat Belajar Membaca Qur’an, sampai Aneka Resep Kue dan Manisan dan Aneka Resep Ramuan Obat Kuno yang Mujarob yang kayaknya obat kuat untuk “gitu2an”.

Yang tak kusangka lagi, datang FAUZI, teman baikku yang sudah malang-melintang di dunia penerbitan Jogjakarta. Misalnya, ia pernah jadi editor Bentang Budaya sebelum sulih kepemilikan menjadi Bentang Pustaka di bawah bendera Mizan Grup. Lepas dari Bentang, ia mendirikan rumah penerbitan sendiri, Logung Pustaka.

Ia menghampiri PAK NARDI. Dari bahasa tubuh dan keeratan jabatan tangan, keduanya pasti sudah sangat akrab dari sebuah pertemuan yang rutin oleh buku. Dengan sangat akrabnya FAUZI mengeluarkan buku dan memintai saran PAK NARDI kira-kira buku itu berapa layaknya dijual. Aku tak tahu buku apa yang ia tawarkan, yang pasti bukan buku obat kuat untuk “gitu2an”.

Dan FAUZI juga turut rembug dengan percakapan kami tentang Mangir. Ah, FAUZI, sempat menyangka bahwa Mangiran itu ada di Jawa Timur sebelum diluruskan oleh PAK NARDI.

PAK NARDI banyak berkisah tentang Mangir yang jadi panutan tentang keberanian. Tapi ia tak mengenal Mangir versi Pram. Mangir yang ia tahu justru berasal dari babad-babad atau cerita-cerita lisan yang banyak didongengkan oleh masyarakat selatan Jogjakarta. Tapi menurutnya, heroisme Mangir sudah lenyap di daerahnya sekarang ketika warga sudah begitu patuh kepada perintah raja. Bahkan bupati mereka sekarang, PAK IDHAM, yang dihubung-hubungkan masih berdarah MANGIR, juga sudah bergeser mengambil sikap lebih ke tengah. Toleran. Tak lagi memperlihatkan sikap oposan seperti yang ditampilkan KI AGENG MANGIR. Bahkan, mitos di bangjo (traffic light) prampatan Palbapang yang mengatakan bahwa setiap orang Mataram melewati prampatan itu akan mati, sudah kehilangan daya magisnya.

Masih banyak ia ceritakan tentang Mangir yang ia sesapi dari babad-babad. Tapi aku bersikuat mencari dulu kisah Mangir versi Pram. Karena dengan Pram itulah aku nantinya menapaktilasi heroisme MANGIR hingga ke petilasannya dan lalu memutar ke Batu Gilang di pusat Kotagede di mana konon kepala MANGIR diremukkan di atas batu ini.

Pada pertemuan di lorong buku tak terduga ini kuucapkan terimakasihku kepada PAK NARDI atas petunjuk jalan pertama menuju Mangiran. Di atas petilasan itu akan “kubaca” kembali Mangir dengan hikmat.