Warna Kesumba Seni Lekra

::bagja hidayat

Buku yang merekam gempita kesenian Lembaga Kebudayaan Rakyat. Dokumentasi penting, tak ada wawancara.

Laporan dari Bawah (Sehimpun Cerita Pendek Harian Rakjat 1950-1965)
Tebal: 558 halaman

Lekra Tak Membakar Buku (Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965)
Tebal: 582 halaman

Gugur Merah (Sehimpun Puisi Harian Rakjat 1950-1965)
Tebal: 966 halaman
Penulis: Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan
Penerbit: Merakesumba Yogyakarta

JIKA Fuad Hassan menyebut cerita pendek Indonesia pada akhir 1960-an penuh warna ungu karena mengeksplorasi renungan, kesedihan, dan rasa frustrasi, bolehlah disebut jika sastra satu dekade sebelumnya menggelorakan warna kesumba. Tiga buku ini merekam bagaimana seniman yang tergabung dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat merayakan ”realitas sepersis kenyataan”.

Pada Lekra Tak Membakar Buku, kita bisa merasakan bagaimana para seniman ”kiri” itu mencoba merumuskan definisi ”sastra Indonesia” berdasarkan filsafat realisme-sosialis. Buku ini ditulis berdasarkan 15 ribu artikel yang terbit di Harian Rakjat pada 1950-1965. Dari sana kita tahu bagaimana Lekra didirikan, Harian Rakjat diterbitkan, sampai hal-hal sederhana tapi asyik: petinggi Partai Komunis Indonesia macam Aidit-Njoto-Lukman menjajakan sendiri koran mereka di stasiun dan pelabuhan.

Sayangnya, dokumentasi penting ini tak dilengkapi wawancara seniman-seniman yang masih hidup, yang namanya menggelanggang, untuk memberikan konteks. Sebab, di Lekra juga ada penulis nonkomunis, yang menganggap integrasi politik dan seni sangat susah diterapkan. Alhasil, penyusun buku ini merayakan asumsi mereka sendiri ketika memberikan komentar dan kesimpulan atas pidato, reportase, dan laporan-laporan wartawan Harian Rakjat tentang kesenian pada kurun itu.

Barangkali itu karena buku-buku ini diterbitkan dengan tujuan ”memberi panggung kepada mereka yang dibungkam”. Kita tahu, sejak peristiwa G30S, berita dan karya sastra seniman ”kiri” tak lagi punya tempat. Maka konteks tak perlu lagi karena sumber tunggal itu sudah menjadi ”kebenaran” sendiri. Tumpukan 15 ribu artikel itu ditemukan di sebuah perpustakaan di Yogyakarta yang terkunci di sebuah ruangan terlarang, menguning, dan aus dimakan rayap.

Sebagai dokumentasi, tiga buku ini menjadi penting karena memberikan gambaran utuh bagaimana seniman Lekra melahirkan karya-karyanya. Kedua penulis terasa ingin meyakinkan bahwa seniman Lekra dan kesenian kiri tak senajis dan sedangkal yang dikira orang. Tak semua puisi menyajikan kebanalan realitas. Ini tampak antara lain pada beberapa puisi Agam Wispi dan H.R. Bandaharo.

Kita pun paham mengapa, misalnya, terjadi perdebatan sengit kubu Lekra dengan seniman yang berhimpun dalam Manifes Kebudayaan. Dari buku Gugur Merah (menyajikan 425 puisi dari 111 penyair) dan buku Laporan dari Bawah (menghimpun 97 cerita pendek dari 61 penulis), kita mengerti mengapa seniman Manifes menolak seni kesumba macam itu: puisi hanya alat memuji Rakyat, cerita hanya reportase yang tak mengejutkan ketimbang sebuah liputan di koran. Realitas pun kehilangan ketajaman dan misterinya. Setiap puisi atau cerita nyaris tak bisa dibedakan tema, gaya, dan penulisnya.

Amarzan Ismail Hamid, yang 15 puisi dan tiga ceritanya dimuat di buku ini, mengatakan pada zaman itu para penulis tak memiliki bahan bacaan yang melimpah sebagai referensi. Bahkan karya-karya realisme-sosialis dari Uni Soviet yang menjadi kiblat penulis Lekra tak tersedia di toko buku. ”Apalagi sastra Eropa Timur itu susah dipahami,” katanya. ”Para penulis ingin menjadi Marxis tapi tak membaca dan tak memahami ideologinya.”

Buku Nikolai Chernishevsky, Hubungan Seni dan Realitet, memang sampai ke sini pada 1962 lewat terjemahan Oey Hay Djoen. Sayangnya, kata Amarzan, pandangan Chernishevsky yang menempatkan realitas lebih sempurna ketimbang karya seni justru sedang dikritik di Soviet ketika paham ini mulai diserap di Indonesia.

Hal lainnya: penyusun buku ini agaknya lupa mendefinisikan Rakyat yang selalu ditulis dengan ”R” itu. Rakyat macam apa yang memenuhi benak para penulis itu ketika menulis puisi atau cerita, atau bagi pelukis ketika melukis? Rakyat di buku ini sesosok makhluk gaib yang tak jelas rupa dan bentuknya. Rakyat hanya disebut dalam jargon rumusan ideologi kesenian.

Apa pun itu, seperti terbaca di halaman pengantar, penyusun buku ini hanya menghimpun dan memberikan tempat kepada sastra 1960-an yang pernah mengharubirukan sastra Indonesia. Bukan telaah sastra dari dua sisi.