Aku dan Blora (2)

::gus muh

Aku ingat kisah Inem pada saat ribut pernikahan Ulfa dengan si Puji yang ngaku kyai itu — Maria Andriana (28/12/2008)

Di belakang Perpustakaan PATaba (Pramoedya Ananta Toer Anak Blora). Sebuah rumah sederhana bercat putih kusam yang menghadap ke timur. Dari kawan muda yang selalu menemaniku, Beene Santoso, putra tunggal Pak Soesilo Toer, mengatakan bahwa keluarga guru ini, Mastoer, pernah memiliki seorang babu yang tinggalnya di belakang rumah tua ini. Jaraknya hanya satu wuwungan.

Dan teringatlah sepotong nama: INEM. Nama ini berada di cerita ke-3 dari 11 cerita dalam “Cerita dari Blora”.

Dalam cerita itu digambarkan ia seorang jongos kecil di sebuah keluarga guru di Blora. Usianya baru 6 tahun ketika bekerja di rumah Ndoro-nya. Lahir dari seorang emak yang kerjanya membatik. Sementara bapaknya pengadu jago dan pembegal kayu jati di antara Blora dan Rembang. Walau dikenal penjahat, bapak si Inem ini tak pernah ditangkap lantaran keluarga emak Inem adalah polisi.

Ia kawin pada usia yang sangat belia: 8 tahun. Tapi tak pernah bahagia. Saban malam ia berteriak-teriak kesakitan lantaran digeluti suaminya, si Markaban yang dari keturunan kaya. “Kerjanya tiap malam menggelut saja. Inem takut, Ndoro. Dia begitu besar. Dan kalau menggelut kerasnya bukan main hingga Inem tak bisa bernapas….” Keluhnya kepada Ndoro putrinya.

Saya nggak tahu apa yang dimaksud Pram dengan “menggeluti” itu. Apa memukuli atau mengajaknya bercinta. Dan Inem tereak-tereak karena dipukuli atau karena disodok oleh benda besar yang mengerikan dari dalam celana Markaban. Saban malam. Maklum, Inem adalah anak ingusan. Tapi si tokoh kecil aku dalam kisah “Inem” itu selalu mendengar lolongan dari babunya itu. Ditanyakannya kepada ibunya kenapa ada orang setelah kawin harus tereak-tereak kesakitan. Apa semua orang kawin harus begitu.

Dan suatu hari muncullah jongos kecil itu di hadapan Ndoro putrinya. Mengadukan sakit dan ratapnya. Hilang sudah ranum wajah kecilnya. Yang ada wajah pucat. Sayang, Ndoro putri menolaknya dengan alasan barangkali saja si Markaban menggelutinya keras-keras karena ia tak patuh. Lalu Inem pulang lagi. Ia berusaha mengabdi sepolos-polosnya untuk lakinya.

Setahun berikutnya Inem menghadap lagi. Kali ini ia bilang: ia sudah janda. Janda belia. Sembilan tahun. Ini cerita nelongso sekali. Hidup jongos kecil ini seperti ditakdirkan menjadi sasaran pukul siapa pun: emaknya, adiknya yang laki-laki, pamannya, tetangganya, bibinya, ayahnya, juga si Markaban suaminya.

Jika si Inem adalah tokoh nyata, maka Pram telah merekam sepotong penyiksaan dari belakang rumahnya sendiri—seorang yang bekerja untuk keluarganya. Kemudian lolongan sakit itu mengutuki jalan hidupnya sendiri yang dipukuli penjara tiga orde pemerintahan: Belanda, Karno, dan Harto.

Sebut saja jalan menyelimpang itu sebagai kutukan Inem dari belakang rumah.