Mengapa Mereka Dibungkam?

Yang namanya pelarangan penerbitan buku atau bredel sejak jaman orde lama, orde baru hingga reformasi di tanah air sebenarnya masih terus berlangsung. Hanya saja cara dan modusnya agak sedikit berbeda. Ketika era orde lama dan orde baru pemerintah langsung dengan terang-terangan melarang terbit buku yang dianggap bisa meresahkan masyarakat atau berbau SARA. Namun pada era reformasi yang katanya “terbuka” pelarangan atau pembredelan buku toh masih banyak dijumpai. Walau aturannya agak longgar, buku memang bisa beredar, namun secara tiba-tiba buku menghilang dari rak-rak toko buku. Tentu saja kejadian ini banyak menimbulkan rumor dan spekulasi.

Yang unik adalah ternyata pemerintah sampai sekarang masih “trauma” atau sedikit “paranoid” pada setiap bentuk penerbitan buku yang berbau haluan kiri alias komunis. Apa saja yang ada nuansa komunis walau itu hanya berbentuk simbol atau gambar tak ada ampun, buku itu langsung dilarang beredar.

Ini seperti yang dialami dua orang penulis dari Yogyakarta, Rhoma Aria Dwi Yuliantri dan Muhidin M Dahlan. Kedua penulis itu terpaksa gigit jari akibat bukunya yang berjudul “Lekra Tak Membakar Buku”pada 2009 lalu dilarang beredar. Selidik punya selidik, buku itu dilarang karena di sampulnya terdapat gambar palu dan arit sebuah simbol partai komunis. “Saya langsung mencabut gambar itu dan menutupinya dengan sampul putih. Namun demikian upaya itu tidak menolong. Buku kami tetap dilarang,”ujar Rhoma getir.

Satu lagi buku yang dianggap bernuansa komunis adalah tulisan John Rossa yang berjudul Dalih Pembunuhan Massal : Gerakan 30 September dan kudeta Suharto. Buku yang berdasarkan riset dan analisis insiden ini mengungkap kekacauan dan pembunuhan terhadap warga yang dituding sebagai anggota PKI. Menurut buku ini, orang-orang sipil yang melakukan pembantaian adalah orang yang terlatih dan mendapat perlindungan dari aparat. Tentu saja buku ini adalah sebuah hasil riset yang mencengangkan dan bisa menjadi tambahan koleksi buku-buku sejarah kita.

Selain “trauma” atau “paranoid” terhadap buku-buku yang bernuansa komunis ternyata pemerintah Indonesia juga sangat anti dengan buku-buku yang bertema separatis dan ajaran agama. Dari Papua dilaporkan buku-buku tulisan Socrates Sofyan Yoman dari tujuh yang diterbitkan, dua diantaranya dilarang beredar. Kedua buku yang dilarang itu adalah Suara Gereja Umat Tertindas :Penderitaan, Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat harus Diakhiri dan Pemusnahan Etnis Melanesia : Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat.

Kedua buku itu secara implisit mengungkapkan pandangan, harapan serta kritikan kepada pemerintah Indonesia terhadap warga Papua.

Pelarangan terbit buku di era reformasi yang hampir mirip karya George Junus Aditjontro (Membongkar Gurita Cikeas) juga dialami Boni Hargens. Buku Boni yang berjudul “10 Dosa Politik SBY-JK” pernah tiba-tiba hilang di rak-rak toko buku. Setelah beberapa lama, buku itu tiba-tiba muncul, tetapi bersamaan dengan buku yang dianggap tandingannya. Banyak kalangan menilai cara seperti ini sama dengan pembredelan atau pelarangan buku walau dilakukan secara halus.”Dengan cara seperti ini tentu saja yang diuntungan adalah penulis, karena bukunya menjadi populer dan banyak dicari masyarakat”, ujar Boni Hargens. Dari segi politis, kata Boni pemerintah rugi, karena banyak menimbulkan rumor dan spekulasi.

Pelarangan atau pembredelan penerbitan buku menurut beberapa kalangan adalah bentuk ketakutan atau kegamangan dari pemerintah itu sendiri yang seharusnya tidak perlu terjadi. Harusnya dengan buku bisa dijadikan sebagai sumber informasi atau bahan kritik dalam menjalankan roda pemerintahan. Ketakutan yang dianggap mengganggu ketertiban umum adalah suatu hal yang berlebihan. Bukankah masyarakat kita sudah semakin dewasa dalam hal menyikapi sesuatu ? (end)

Sumber: kickandy.com