#6 Trenggalek: Kesepian di Alun-Alun

29 Agustus 2011 | Trenggalek | Km 207 | Pkl 14.30

Sejak di kecamatan Sawoo, Ponorogo, saya sudah berpikir keras, jejak merah yang seperti apa yang bisa saya tuliskan tentang Trenggalek di seberang bukit itu. Sejak rambu bahwa di hadapan saya ada gundukan bukit yang harus dilalui, saya masih belum bisa mengumpulkan ingatan, potongan-potongan kisah yang tragis macam bagaimana yang menimpa kaum merah di kota dengan pariwisata andalannya adalah pantai ini.

Bahkan setelah melewati desa pertama, Pucanganak, seusai 40 menit memasak sabuk pengaman kewaskitaan melewati puluhan belokan-belokan tajam yang curam dan cadas-cadas yang seperti siap runtuh, saya belum juga bisa menemukan titik terang yang merah. Bahkan dengan cahaya merah kedap-kedip sekalipun.

Anak muda, naiki bukit itu, naiki dan dapati Trenggalek di baliknya (Ancang2 dari Kec. Sawoo, Ponorogo)
Melampaui bukit-bukit ini untuk mendapatkan Trenggalek
Meninggalkan gerbang rombongan reog Ponorogo. Menjejak desa pertama Trenggalek

Tapi 100 persen saya meyakini, Trenggalek juga memiliki kisah merahnya yang tak kalah heboh dengan Madiun lantaran ia berada di kawasan dengan kontur tanah dan situasi psike masyarakat yang sama dengan kota-kota merah sekitarnya. Tapi apa. Tapi bagaimana. Dan ke mana membaca buku-buku yang berkisah lirih seperti itu.

Yang lamat-lamat saya ingat ketika mulai bermunculan petunjuk-petunjuk agar ke pantai ke pantai ke pantai sepanjang jalan yang ditanam Dinas Pariwisata Trenggalek, adalah bahwa saya pernah ke kota ini. Bahwa saya, 9 tahun silam pernah ke pantai-pantai yang ditunjukkan gerbang-gerbang dan rambu-rambu yang dipasang raksasa itu. Dengan menaiki truk terbuka seperti sapi-sapi yang hendak dijual, sekira 25 orang, saya dan teman-teman “menikmati” pantai-pantai itu. Juga melewati deretan pohon-pohon kelapa yang bergesekan pucuk satu dan lainnya diguncang angin sore dari Laut Selatan.

Hingga di Alun-Alun yang dikitari jalan-jalan utama yang sempit dan lengang, belum juga teringat apa pun. Di mana dan di kitab yang mana cerita kaum merah menangis dan menyesal kenapa harus masuk PKI dna lebih penting lagi mengapa mereka disangkakan melakukan sesuatu yang mereka tak tahu sama sekali kecuali segelintir kecil elite partai merah yang pernah mereka masuki dengan satu cita: hanya yang merah itu yang paham dan benar-benar mau memperjuangkan nasib mereka sebagai tani tertindas.

Hingga saya pun berbaring di atas trotoar Alun-Alun yang berhadapan muka-muka dengan Hall Kabupaten Trenggalek lantaran kelelahan menempuh perjalanan 200-an kilometer dari Kotagede, Yogyakarta, tak terbetik pun. Kecuali satu, sebuah roman cinta: “The Souls: Moonlight Sonata” karya Wina Bojonegoro. Roman musikal dan tragika cinta yang dibumbui “keajaiban-keajaiban” pernah dibedah di halaman Indonesia Buku, Yogyakarta sebulan lebih beberapa hari sebelum perjalanan #sayawalitumerah ini dilakoni.

Hulu batih cerita Wina Bojonegoro itu berkisah tentang sebuah desa di Trenggalek. Gandusari adalah tanah tumpah darah Padma, tokoh utama novel itu, yang kemudian menjadi cinderalla Jawa dalam perebutan posisi di sebuah orkestra di Yogyakarta.

“Penduduk di desa kami terdiri dari dua golongan, yaitu golongan santri dan golongan abangan. Bapak tergolong yang terakhir. Penduduk santri tidak menyukai gamelan. Anak-anaknya dilarang menari. Mereka tinggal saling berdekatan dalam salah satu wilayah yang secara tidak resmi diberi nama santren. Pondok pesantren yang seluruh penghuninya adalah kaum santri selalu berbondong-bondong ke masjid jika bedug sudah dipukul. Sebaliknya, kelompok abangan tidak pernah salat. Mereka menjalani upacara megengan, menabuh gamelan, dan melakukan ritual-ritual aneh, seperti ayahku. Abangan dan santri sungguh bagai bumi dan langit. Dan, aku ada di antara keduanya…. (hlm. 191)

Tapi sayang, roman itu tak menyebutkan kakek Padmaningrum itu merah atau hijau. Apakah keluarga ini menyaksikan penyembelihan besar-besaran di lereng-lereng gunung dan atau di sekitaran jurang-jurang dan atau di pantai-pantai eksotis yang kemudian diperkenalkan sebagai beranda depan Kabupaten yang patut dikunjungi agar rekening pemerintah mendapatkan tambahan secara reguler.

Merahkah Gandusari. Hijaukah Gandusari. Tak ada jawaban. Karena galian roman itu hingga pada kedalaman 80-an dan bukan hingga 40-an tahun yang silam.

Dan satu-satunya yang saya potret di Alun-Alun Kabupaten yang penuh galian dan ditumbuhi 4 bringin besar adalah Masjid Agung. Tapi gelap. Karena itu saya hapus dari arsip. Belasan galian yang masih menganga itu tentu bukan kuburan massal merah, tapi kemungkinan peruntukan pohon-pohon taman agar Alun-Alunnya makin rimbun, makin senyap.

Dalam hati berjanji, mungkin perpustakaan raksasa temuan peradaban abad 21 bisa memberitahu kelak. Dan kelak itu tiba. Tapi ini jawabannya: mencari PKI di Trenggalek? Mungkin yang Anda maksud adalah PKS. (Bersambung #7: Tulungagung)

* Serial catatan mudik #syawalitumerah