#8 Kediri (Bag 3): Banser, Algojo-Algojo Yang Dikirim Tuhan

30 Agustus
2011 | Gelaran Buku Jambu,
Kediri | Km 302 | Pkl 20.35

Gelaran Buku
Jambu Kediri ternyata menyimpan sebuah buku kecil karya Hairus Salim HS
berjudul “Kelompok Paramiliter NU”. Sebuah buku yang mengulik sejarah lahirnya
Banser (Barisan Ansor Serbaguna), dan terutama sekali aksi-aksi fisiknya saat menggelar
pembunuhan besar-besaran atas kader dan simpatisan PKI di Kediri.
1 Syawal di bulan September. Saat silaturahmi dengan keluarga Plemahan
Kediri rampung, saya bergegas ke Gelaran Jambu. Sebuah perpustakaan
komunitas—satu-satunya di Kampung Jambu, Kecamatan Kayen Kidul (sebelumnya
masuk dalam Kecamatan Pagu). Letaknya berhadapan dengan masjid. Di komunitas
inilah pelbagai kegiatan literasi dalam kampung dihidupkan. Pelatihan menulis
sastra, membaca bersama, dan bahkan kegiatan kesenian dihelat di komunitas yang
bersekutu dengan sebuah madrasah yang hanya seteriakan jauhnya.
Awalnya saya hanya menumpang mengetik catatan-catatan mudik yang
terserak di sepanjang perjalanan sebelumnya dan juga mencari buku sejarah yang
ditulis Hermawan Sulistyo (2000) untuk mengonfirmasi ingatan saya sewaktu di
Alun-Alun Kota. Saat itulah saya tak sengaja menjumpai buku kecil berwarna
hitam yang ditulis Hairus Salim HS berjudul “Kelompok Paramiliter NU”
Buku yang diterbitkan LKiS pada 2004 ini
seperti buku yang menyerahkan dirinya tepat saat dibutuhkan. Betapa tidak buku
hasil riset untuk kebutuhan tesis Hairus Salim di Jurusan Antropologi UGM ini
memberikan uraian bagaimana Banser/Ansor NU lahir dan tumbuh di gelanggang
sejarah, terutama hubungannya dengan konflik paling keras dengan PKI.
Ketika Hermawan Sulistyo membabar secara mengesankan bahwa Banser/Ansor
adalah algojo terdepan dalam pembantaian kader dan simpatisan PKI, maka Hairus
Salim memberikan gambaran yang cukup utuh bagaimana kiprah Banser/Ansor ini. 
Buku ini boleh disebut sebagai “buku putih” Banser/NU bersampul hitam dengan
ilustrasi karikatur seseorang berperut gendut berseragam umumnya militer dengan
jari tangan kiri mengepit sebatang kretek. Sosok itu duduk bersama seorang lagi
yang berseragam seperti penabuh drum band.
Dari ilustrasi itu saja, tampak bahwa Banser/Ansor terbayang mirip-mirip
militer. Mirip tapi sesungguhnya tidak. Yang paling gamblang saja, sebagaimana
tergambar di karikatur itu, mana mungkin militer yang aktif berbadan tambun
seperti ini. Sebab umumnya serdadu bertubuh atletis untuk mendukung tugas-tugasnya
di lapangan yang membutuhkan gerak cepat dan tangkas.
Ilustrasi di sampul itu menggambarkan Banser/NU adalah paramiliter yang
bersahaja. Bayangan bahwa mereka adalah kekuatan inti paramiliter dalam teater
pembantaian di Jawa Timur nyaris tak ada. Termasuk di Kediri tentu saja.
Ciri yang kerap dilekatkan pada Banser/Ansor ini adalah tradisi
kanuragan, jago silat, bahkan kebal senjata tajam. Seiring dengan waktu,
ternyata “Banser tidak cukup hanya
sekedar kebal, tidak bisa disebut Banser kalau hanya sekedar kebal, tapi Banser
selain kebal juga harus profesional”
. (h. 97)
Demikianlah, dengan “ilmu kebal dan profesional” itu, Banser/Ansor
menjadi mesin pembunuh paling diandalkan oleh tentara menghadapi kekuatan PKI
dan ormas-ormasnya yang linglung oleh informasi yang datang sepotong-sepotong
dari peristiwa pembunuhan jenderal-jenderal di Jakarta pada 1 Oktober. Sebelum
RPKAD datang, sebelum ada konfirmasi dukungan penuh dari serdadu diterima,
Banser/Ansor tak bisa bergerak jauh selain menggertak lawannya dengan pawai
massa.

Banser adalah lembaga semi-otonom dari Ansor,
organisasi pemuda yang berafiliasi dengan NU (Nahdlatul Ulama). Ansor berdiri
tahun 1930, empat tahun setelah pendirian NU. Pertama kali didirikan mereka
menyandang nama Nahdlatus Syubban (Kebangkitan Pemuda), kemudian berubah
menjadi Persatuan Pemuda Nahdlatul Ulama (PNU, 1931), dan berubah lagi menjadi
Ansor Nahdlatul Ulama (ANU, 1931), dan terakhir Gerakan Pemuda Ansor (Pemuda
Ansor, 1949) yang dipakai hingga kini. (h. 27)

Banser didirikan pada tahun 1962. Tujuannya secara
formal adalah untuk memberikan pengamanan kegiatan-kegiatan partai NU dan
perlindungan fisik kepada para pendukungnya. Kendati demikian, tujuan tersembunyinya
adalah untuk menyiapkan konfrontasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). (h.
37)

Dari risetnya dari beberapa literatus Hairus Salim secara blak-blakan
menyebut hubungan  yang intim antara
Banser dengan militer. Ketika Jenderal Nasution meresmikan Badan Kerja Sama
Pemuda Militer (BKPSM), Pemuda Ansor menjadi satu dari empat organisasi kepemudaan
yang menandatangani ikrar jika negara memanggil karena situasi darurat perang.
Rupanya, tahun 1965 ditafsir tentara sebagai “darurat perang” yang
dengan demikian Banser/Ansor terpanggil. Bukan hanya membantu militer, tapi
berada di garis terdepan dalam “penyelamatan negara” atas “pemberontakan” yang
dilakukan PKI, sebagaimana sebelumnya juga terjadi pada 1948 di Madiun.
Di titik ini, militer menangguk sukses besar memakai tangan Banser/Ansor
membantai lawan politiknya paling kuat, yakni PKI. Di Kabupaten Kediri,
Banser/Ansor dengan kecakapan “ilmu kebal dan profesional” menjadi
algojo-algojo yang seakan mendapatkan dirinya sebagai utusan Tuhan
menghancurkan bromocorah-bromocorah komunis yang mengganggu kiai yang menjadi
patron hidup mereka dunia akhirat.

Sebelum melakukan operasi pembunuhan, mereka melakukan
gemblengan dan khidzib, latihan ritual untuk mendapatkan kekebalan. Misalnya,
dengan makan telur mentah yang ditulis kalimat suci dalam Bahasa Arab.
Sebelumnya mereka berwudhu sebagai simbol penyucian spiritual. Selain ritual
makan telur, di antara mereka menerima kemampuan spiritual (dan fisik) dengan
menyerukan “Ya Allah… Ya Latief, … Ya Latief…” secara berulang-ulang. Ritual
ini mereka lakukan di pesantren-pesantren yang dipimpin kiai-kiai makrifat,
kiai-kiai yang sudah terkenal karena mencapai kebijaksanaan spiritual yang
tinggi. (h. 100)

Prinsip Banser/Ansor di masa-masa “negara darurat perang” sederhana
saja, sebagaimana posisi mereka sebagai sayap nonintelektual dalam organ pemuda
NU, adalah “kepruk dulu, persoalan
belakang”; atau “kalau menang mendapat kalungan bunga, kalau kalah mendapat
tali gantungan”.
Secara dramatis, Hermawan Sulistyo menggambarkan macam-macam dan
“aneh-aneh” perlakuan algojo-algojo muda Banser/Ansor dalam ritual
penyembelihan kader dan simpatisan PKI. Jika setelah membunuh satu orang dan sang
algojo muda merasa pusing dan mual diberikan tips oleh algojo yang sudah
berpengalaman agar menjilati darah si komunis. Ritual jilat darah si manusia
korban itu bertujuan pembebasan diri agar arwah orang-orang komunis tidak
mengejar-ngejar.
Selain itu, ritual menjilati darah dipercaya memberi suntikan semangat
untuk membantai korban berikutnya dan berikutnya. Untuk menunjukkan keberanian,
warga yang berafiliasi politik ke PKI itu dipotong alat kelaminnya, kuping,
atau jari-jarinya.
Sederet kekejian lainnya masih bisa dipanjang-panjangkan untuk memberi
efek teror bahwa komunisme harus enyah dari bumi Kediri, walaupun di tanah ini
kaum merah ini paling diminati kaum tani dalam “pesta demokrasi” 1955.
Tapi, baiklah, saya tutup dulu buku Hairus Salim “Kelompok Paramiliter NU” ini karena Gelaran Buku Jambu didatangi
banyak tamu. Dan ketika saya menyinggung bahwa saya sedang menyusun catatan
mudik tentang pembunuhan besar-besaran orang-orang PKI di Kediri, saya
dijanjikan untuk “silaturahmi” keesokan harinya pada sekira tujuh rumah warga
Desa Jambu yang “diambil” Banser/Ansor cum
tentara dan tak pernah lagi kembali. Mereka wassalam
selamanya.

  • Seri catatan mudik
    #syawalitumerah