Dari Madiun ke Penghancuran PKI

Menumpuk kajian tentang gerakan kiri bukan hobi, melainkan berjuang keras untuk fokus. Sebagaimana kata kakak klan yang sukses, Dahlan Iskan, pada November silam: “Dalam bahasa agama, ‘tidak fokus’ berarti ‘tidak mengesakan’. ‘Tidak mengesakan’ berarti ‘tidak bertauhid’. ‘Tidak bertauhid’ berarti ‘musyrik’. Memanfaatkan idle capacity di satu pihak sangat ilmiah, di pihak lain bisa juga berarti godaan terhadap fokus. Saya sering mengistilahkannya ‘godaan untuk berbuat musyrik’. Padahal, orang musyrik itu masuk neraka.”

Nah, apa nerakanya penulis? Tak memproduksi tulisan pada apa yang dipilihnya. Ke sana ke mari, seperti pemabuk saja.

Sebagai penghimpun naskah atau studi “Revolusi Belum Selesai” (1950-1965) dan penghikmat gerakan kiri (PKI), saya terus memantau kemunculan kajian-kajian terpilih yang dipajang di toko buku. Dan di penghujung tahun ini ada dua buku yang menyita perhatian:

– Olle Tornquist, Penghancuran PKI (Komunitas Bambu, 2011, 380 hlm)
– Harry A Poeze, Madiun 1948: PKI Bergerak (YOI+KITLV, 2011, 432 hlm)

Dengan mengumpulkan kajian utama, bekerja keras untuk mencari celah periode mana gerakan kiri paling gelap dalam tradisi penerbitan kita. Periode 1965 adalah yang paling sesak. Madiun 1948 lumayan sesak. Banten 1926 masih memanas. Dan seterusnya. Dan seterusnya.

Jadi teruslah mengumpul dan menyusun laporan pengintaian sebelum memutuskan topik garapan dan dengan menggunakan format tulisan macam apa.

Mari!

* Bersamaan dengan buku-buku itu, ikut pula di tas plastik belanjaan dari Shoping Centre Jogja di areal Taman Pintar 4 buku berikut ini (tema: buku dan catatan perjalanan)

– Cindy Gerard, Ksatria Idaman Sang Pustakawati (GM, 2006)
– Hermann Hesse, Stephen Wolf (Baca, 2011)
– Dean Koontz, The Novelist (Ufuk, 2009)
– Parakitri T Simbolon, Vademekum Wartawan: Reportase Dasar (KPG, 1997)