Aku Mendakwa Hamka Plagiat: Pendapat Dewan Pembaca

Tentang Penulis
Pembicaraan pertama mengenai buku AMHP dimulai dari pendapat Dasman Djamaluddin, seorang yang mengaku sebagai sejarawan, ia menulis di facebooknya pada Kamis, 23 Februari 2012 , 20:38 WIB:

Penulisnya Muhidin M.Dahlan, tetapi tidak seorang pun mengenal siapa sebenarnya si penulis tersebut, karena identitasnya tidak ada bahkan banyak di antaranya meraba-raba siapa Muhidin M.Dahlan. Menurut saya ini sudah merupakan kelemahan dari sebuah buku. Tidak ada tanggungjawab di dalamnya. HAMKA BUKAN PLAGIATOR

Komentar ini memancing reaksi dari anggota sidang yang lain, Rama Prabu langsung menanggapi sengit:
Lubabun Ni’am, seorang penekun sejarah pula, menuliskan:

Saya mungkin termasuk orang yang belum lama mengenal penulis buku ini, Muhidin M Dahlan atau para karib kerap menyapanya Gus Muh. Tapi, tampaknya tak perlu lama bagi setiap orang yang telanjur mengenal penulis buku ini, dia akan mencirikan betapa penulis trilogi Lekra Tak Membakar Buku ini tekun dan gigih pada arsip, dokumentasi historis, terutama lewat kliping. Buku ini digarap dengan gaya serupa itu untuk menimba kembali memori sejarah sastra kita, yang sepertinya tak kunjung beranjak dari daki-daki yang mengotori altar agung penciptaan. Salah satu “daki sastra” itu dilakukan oleh seorang ulama cum sastrawan tersohor: Hamka.

Pendapat Ni’am didukung oleh Ahmad Subhan, anggota sidang dari perpustakaan IRE. Lebih jauh, ia berusaha membidik sudut pandang Muhidin yang kental dengan Pram.

Tidaklah terlampau sulit mencari tahu dan mengenal profil MMD melalui tulisan-tulisannya. Simak judul-judul karya tulisnya yang khas berikut ini: Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur, Kabar Buruk dari Langit, Pak Polisi: Mentor Riset Menulis Kreatif, Karena Njiplak Kerja Terhormat, Bangsa yang Tak Merawat Diri. Bagi saya, judul-judul tersebut menunjukkan kepribadian MMD yang ingin memancing emosi pembaca, baik itu tawa, rasa penasaran, bahkan kegusaran.

Berlandaskan cara pandang yang subyektif ini, saya berpendapat bahwa Pramoedya Ananta Toer (PAT) adalah super-ego bagi MMD. Kerja-kerja MMD bagi saya adalah “edisi baru” kerja-kerja PAT. MMD yang mengaku sebagai Kerani di Indonesia Buku seolah meneruskan kerja-kerja PAT, salah satunya yang paling nyata adalah penyusunan Kronik Indonesia. PAT dikenang sebagai pengliping yang tekun serta peneliti dengan metode sejarah lisan, hal yang sama MMD kerjakan pada situs www.indonesiabuku.com dan www.radiobuku.com, yang mana dua-duanya sama-sama merekam teks-teks peristiwa dan suara-suara pelaku sejarah.

Identifikasi jati diri tersebut kembali saya temukan dalam AMHP. Nampak jelas MMD berpihak pada PAT, Lentera, dan para penulis yang MMD sematkan label gagah: “petarung-petarung dalam palagan sastra Indonesia” (hal. 11). Maka sangat jelas bagi saya, MMD memilih judul “Aku Mendakwa Hamka Plagiat”, yang sejatinya adalah judul artikel dalam surat kabar Bintang Timur/Lentera karya Abdullah Said Patmadji, sebagai judul utama buku ini adalah bentuk keberpihakan MMD pada Redaksi Lentera yang mendakwa Hamka menjiplak karya saduran Musthafa Lutfi Al-Manfaluti (Majdulin) atas karya Alphonse Karr (Sous les Tilleuls) menjadi roman Tenggelamnya Kapal van der Wijk.

Mendapat serangan bertubi, Dasman menulis lagi:

Saya bertanya tidak tahu penulisnya. Itu kalimat yang ingin menggali lebih dalam siapa sebetulnya penulis buku Hamka sebagai Plagiator? Bukan tidak kenal, hanya inggin lebih tahu mengapa masalah lama harus diungkap kembali. Apa manfaatnya untuk masyarakat. Selain itu, Hamka telah almarhum. Kalau kita ingin menyelesaikan masalahnya, ketika sumber primer tidak ada maka hasilnya akan bias. Tidak mungkin terselesaikan dengan baik, apalagi ada dua pendapat mengenai hal ini. Jadi tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Pengungkapan masa lalu atau mengulang-ulang sejarah pun harus ada motivasinya. Saya selalu menulis tentang Supersemar, dikarenakan Supersemar Asli tidak pernah diketemukan. Jadi hanya mencoba mengingat kembali betapa pentingnya surat itu untuk penelitian di berbagai perguruan tinggi. Untuk ilmuwan bukan untuk politikus. Atau seperti Pak Roeshdy yang mencoba mengulang sejarah masa lalu demi generasi muda. Banyak di antara kita lupa akan sejarah, sementara sejarah itu penting untuk masa kini demi memperbaiki kehidupan bangsa dan negera ke depan. Jika seseorang tidak mau belajar dari sejarah biasanya akan jatuh ke lobang yang sama.

Menanggapi reaksi Dasman itu, Ahmad Subhan berpendapat:

Bisa jadi para pembaca, apalagi yang kebakaran jenggot, berkesimpulan bahwa MMD mewarisi dendam para petarung dalam palagan sastra Indonesia 1960-an, sehingga MMD menerbitkan ulang polemik yang berpangkal dari dakwaan pada Hamka sebagai plagiator. Bisa jadi kesimpulan itu ditarik setelah membaca tulisan pembuka buku ini: Antara Fitnah dan Ludah (hal. 7-12), kemudian mengenal pribadi MMD yang jelas-jelas berpihak pada PAT dan Lentera. Namun saya menimbang kembali kesimpulan demikian setelah membaca tulisan penutup buku ini: Plagiat, Keributan Omong Kosong, dan Kehormatan (hal. 191-229). Bagi saya, pembaca dapat tergelincir menjadi reaksioner bila mendakwa MMD seolah kembali meludahi Hamka, sebagaimana dakwaan Taufiq Ismail pada PAT.

Bagi saya, AMHP adalah lentera baru bagi dunia kepenulisan Indonesia, baik fiksi dan non-fiksi, yang tengah dijalari belukar gulma plagiarisme. Ya, MMD yang adalah pemilik “blog neraka” ini telah menyalakan kembali lentera yang padam sejak 1965.

Hernadi Tanzil dengan tenang mengakui:


Kehadiran buku ini patut diapresiasi karena dengan ketekunan seorang kerani sejati, Muhidin rela membuka-buka lembar2 Bintang timur yang sudah menguning dan berbau apek untuk mendokumentasikan dan menyatukan kembali halaman-halaman lepas yang tersebar di Bintang Timur/Lentera antara 1962-1964 agar kembali diingat dan dibaca oleh generasi kini.

Tapi Dasman kemudian memutar lagi dan menambahkan data-data baru:

Saya melihat permasalahan ini tidak beda dengan polemik “Harian Merdeka” yang didirikan B.M.Diah dengan “Harian Rakyat” yang dikuasai Partai Komunis Indonesia (PKI). sekitar tahun 1964. Saya ingin menegaskan bahwa untuk melihat sejarah jangan sepotong-sepotong. Kita harus mengetahui terlebih dulu pada masa apa polemik itu berlangsung. Sama halnya dengan tuduhan plagiat terhadap Hamka di mana sudah terjadi pada tahun 1962 di Harian Bintang Timur.

Perlu kita pahami polemik di sekitar tahun itu (1962-1964) tidak murni lagi polemik sebagaimana seorang ilmuwan. Polemik sudah mengarah ke fitnah, adu domba, sebagaimana sifat warga komunis di Indonesia yang benci dengan Islam. Perlu diketahui bahwa Hamka seorang Muslim sejati. Tidak hanya itu, PKI juga waktu itu menginginkan agar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dibubarkan. Jadi persoalannya bukan sebatas dunia sastra, tetapi sudah mengarah ke perbedaan yang amat jelas antara PKI dan Islam.

Untuk lebih memperjelas, saya melakukan pertemuan dua kali dengan Ahmad Hussein di Jakarta. Beliau adalah Ketua Dewan Perjuangan yang mendeklarasikan berdirinya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Apa yang dikatakannya, “Kami mengultimatum pemerintah, karena anggota-anggota PKI sekitar tahun 1958 sudah banyak mempengaruhi pikiran Presiden Soekarno. Kami ingin Soekarno sebagai Presiden tidak terpengaruh. Jadi kami bukan pemberontak, karena kami pejuang juga dan sangat mencintai tanah air sendiri.” Singkatnya pada tahun 1958 pengaruh PKI sudah merambah ke mana-mana, termasuk di bidang kebudayaan. Yang menjadi musuh utama PKI adalah Islam dan identik dengan Hamka.

Jadi tidak ada yang baru dengan buku ini, polemik ini sudah dihentikan di saat-saat pecahnya Pemberontakan PKI tahun 1965. Sama dengan polemik antara “Harian Merdeka” dengan “Harian Rakyat”. Polemik dihentikan oleh Pemerintah Indonesia.

Pendapat Dasman ditanggapi oleh Lubabun Ni’am dengan sama panjang:

Kalau Anda seorang peminat sastra dan sejarah, tentu saja berita plagiasi Hamka ini bukan tak pernah terdengar. Bagaimana mungkin aktor dan pemenang sejarah tak menjejali ingatan kita. Hanya saja, lamat-lamat berita itu perlahan tak digubris dalam mimbar akademik, lalu cepat-cepat saja dianggap sebagai “abab” yang dilancarkan oleh para pendulang sensasi belaka. Ini bukan skenario yang mengherankan. Sebab, pada dasarnya sejarah skandal plagiasi satu ini mesti diselesaikan bukan oleh mahkamah sastra kita, tetapi oleh birokrasi dan rezim yang kemudian hari tak hanya menutup skandal ini, tapi juga panggung gerakan kiri Indonesia.

Dan, Gus Muh menulis chronic sastra Indonesia ini secara chronicle sehingga plagiasi Hakma adalah satu persoalan. Persoalan lain, yang sekaligus menjadi konteks mengenai seteru idea sastra untuk sastra dan sastra untuk rakyat, adalah siapakah yang memulai pegang arit dan membabat habis roman berjudul Tenggelamnya Kapan van der Wijck. Roman yang pada mulanya merupakan cerita bersambung dalam majalah Pedoman Masjarakat (1938) ini merupakan bestseller. Ceritanya tragis dan disukai pembaca roman masa itu. Tak ayal, setidaknya menurut rekaman Gus Muh, roman itu terjual sampai 80 juta eksemplar.

Tapi, justru karena ketokohan Hamka dan popularitas roman Tenggelamnya Kapal van der Wijck, plagiasi Hamka akhirnya terbongkar. Mula-mula dari sebuah resensi-esei Pramoedya dalam halaman “Lentera”, Bintang Timur. Ketika itu, Pram masih menggawangi “Lentera”. Lembar kebudayaan yang sebelumnya bernama “Indonesia Muda-Bintang Press” ini mulai “mengeras” di tangan Pram. Hari Jumat, 12 Oktober 1962, Pram mulai menghunus arit ke permukaan roman penuh gulma karangan Hamka dalam “Yang Harus Dibabat dan Harus Dibangun”. Bagi Pram pribadi, roman Hamka tersebut sangat memukau, sampai-sampai membikin “menangis sendirian di sudut sunyi”. “Mengetuk gerbang hatiku,” kata Pram.

Namun, Pram bukan ingin menulis sebuah resensi-esei picisan yang mengumbar puja-puji pada sebuah karya yang kemudian dikuliti habis-habisan. Berawal dari ingatannya pada film berjudul Dumu el Hub (Airmata Cinta), Pram akhirnya hakulyakin bahwa Hamka menjiplak: “…apanya yang berbeda, temanya, isinya, napasnya, cuma tempat kejadian dan tokoh2nya yang disulap, dengan menggunakan warna setempat tentu….” Dumu el Hub sendiri merupakan film yang diadaptasi dari karya saduran Mustafa Luthfi Al-Manfaluthi (1876-1942) dari roman karya pengarang Perancis, Alphonse Karr, Sous les Tilleuls. Hamka diperkirakan menjiplak dari saduran Al-Manfaluthi, Majdulin. Dan, pembuktian atas tuduhan penjiplakan ini serius.

Setelah menabuh perang di hari Jumat, “Lentera” berturut-turut memuat tulisan Abdullah Sp berjudul “Sekali Lagi Membaca Buah Tangan Hamka: Benarkah Dia Manfaluthi Indonesia?”, “Aktor Tunggal dalam ‘Bohong’ di Dunia”, dan tulisan ketiganya yang digarap dengan kepala yang tegas dan tanpa tedeng aling-aling, “Aku Mendakwa Hamka Plagiat!”. Kalau dakwaan terakhir itu memuat perbandingan karya Hamka dan Al-Manfaluthi, pada edisi berikutnya, “Lentera” sampai membikin pembuktian dengan metode yang sangat serius. Pram memuat tabel-tabel “Idea Script I”, Idea Script II”, dan “Idea Strip” dalam bentuk ilustrasi gambar. “Lentera” bahkan menurunkan cerita bersambung karya Al-Manfaluthi/Karr dengan titel “Magdalena: Dibawah Naungan Bunga Tilia”. Semuanya itu dikerjakan oleh Abdullah Sp.

Kembali Dasman mengajukan tuntutan:

Seandainya pun dikatakan Plagiat, maka pada waktu itu tidak mungkin terjadi dua pendapat. Ada yang mendukung Hamka dan ada yang menuduh plagiat. Kebenaran belum dibuktikan. Tugas sastrawan-sastrawan muda lah untuk melakukan penelitian lanjutan. Bahkan yang mendukung Hamka adalah HB.Jassin dan kawan kawan. HB.Jassin bukan warga baru di dunia sastrawan. Ia mengerti betul apa yang dikatakan plagiat atau hanya sekedar fitnah atau adu domba. Memang sastra asing mempengaruhi pemikiran sastrawan Indonesia pada waktu itu. Tetapi kita bukan asal comot dan menjiplak. Kita masih tetap mengagungkan budaya kita, dalam hal ini Hamka selalu mengangkat budaya Minangkabau sebagai alur pikirnya. Oleh karena itu bukan plagiat namanya. Yang terjadi sebuah kreatifitas anak negeri. Akhirnya saya sependapat dengan pendapat HB.Jassin:

“Pada Hamka ada pengaruh Al-Manfaluthi. Ada garis-garis persamaan tema, plot dan buah pikiran, tapi jelas Hamka menimba dari sumber pengalaman hidup dan inspirasinya sendiri.. maka adalah terlalu gegabah untuk menuduh Hamka plagiat seperti meneriaki tukang copet di Senen.”

M Shofa, mahasiswa yang baru saja menggondol gelar sarjana filsafat dari IAIN SUnan Ampel mengajukan pendapatnya:

Ada tiga metode yang dipakai oleh Abdullah SP untuk menunjukkan bukti-bukti plagiasi yang dilakukan Hamka. Pertama, metode idea Script. Metode ini merupakan metode baru dalam babak sastra Indonesia pada masa itu.Penerapannya dengan menyarikan beberapa gagasan lalu memperbandingkan kalimat demi kalimat yang tersusun berturut dalam bentuk surat. Disini sangat nampak sekali kemiripannya.

Kedua, metode idea strip. Metode ini berasal dari permainan jiplak anak-anak dengan menggosok-gosokkan pensil di atas kertas yang dilandasi mata uang hingga terbentuk gambar yang ada pada mata uang tersebut. Abdullah SP dan Bramasto membuat sketsa/gambar strip dari beberapa plot, dan hasilnya sungguh tak terbantahkan.

Ketiga, metode idea sketch. Metode ini adalah praktek dalam ilmu ukur untuk menvisualkan jumlah tokoh dalam kedua buku sebagai perbandingan. Dari sini saya tak ragu untuk mengatakan bahwa karya Hamka ini plagiasi.

Rama Prabu, penyair dari bandung itu kemudian urun rembug:


Setelah membaca Magdalena (Terjemahan A.S. Alatas dan M. Junus Amir Hamzah) dari karya Majdulin Al-Manfaluthi dimana beliau terjemahkan dari Karya Alphonse Karr berjudul Sous les Tilleus. Kemudian membaca naskah yang menjadi polemik Tenggelamnya Kapak van der Wijk –Hamka. Serta setelah mengengok detail-detail yang coba dibuktikan dalam buku Aku Mendakwa Hamka Plagiat (Gus Muh) saya berkesimpulan bahwa karya Hamka ini memang terlalu naif dan terlalu tidak jujur jika Hamka tidak mengakui bahwa bukunya memang sangat dekat, bahkan bisa dikatakan lebih dekat dari urat lehernya karya terjemahan Manfaluthi.

Untuk tidak merendahkan beliau yang diakui sebagai seorang agamawan dan pengarang dengan karya yang banyak, saya lebih setuju buku Tenggelamnya Kapal van der Wijk itu dikategorikan sebagai saduran. Hamka telah mengakui dalam pendaluan untuk cetakan keempat bahwa “di dalam usia 31 tahun (1938), masa darah muda cepat alirnya dalam diri, dan khayal serta sentimen masih memenuhi jiwa, di waktu itulah “ilham” Tenggelamnya Kapan Van der Wijk ini mulai kususun dan dimuat berturut-turut dalam majalah yang kupimpin, Pedoman Masyarakat”. Sepertinya “ilham dan kata sentimen” inilah yang hendak dijadikan pembela karangannya, walau dengan tulisannya (maka ketika membacanya kembali, jalan cerita dan perasaan pengarang, yang menjadi inti buku, tidaklah diubah-ubah. Sebab dia adalah puncak kekayaan jiwa yang dapat diciptakan di zaman muda dan di zaman sebelum suasana merdeka) Hamka seperti sedang menampar muka sendiri dari pada kata “bercermin air”.

Dan buku AMHP menghimpunnya dengan cukup baik untuk soal bukti-bukti pragiat ini dari berbagai macam sudut pandang dan cara menakar, kegundahan Ki. Harkono Kamajaya (Pemimpin Umum UP. Indonesia) yang salah satu petinggi Majelis Luhur Tamansiswa yang menerbitkan cetakan ketiga (1985) buku Magdalena yang mengatakan bahwa “polemik itu niscaya tidak akan mencapai penyelesaian, sebab orang tidak dapat membenarkan atau membantah tuduhan plagiat tersebut sebelum membaca buku Majdulin” dan buku AMHP melengkapi pembenaran ini.

Seharusnya Hamka pun melakukan hal yang sama seperti Manfaluthi ‘tawadhu” dalam berkarya, walau kata Teeuw “Teks adalah milik bersama, bebas untuk dimanipulasi, dicocokkan, diciptakan kembali, sesuai dengan keperluan dan kemampuan para penyusun yang menganggap dari pencipta (seringkali juga sekaligus menjadi penyanyi dan penggelarnya), dan dengan minat pendengar dan penonton. Tapi kosep teks sebagai milik pencipta pertamanya, yang harus dihormati dan diabadikan dalam bentuk aslinya, pada umumnya tidak diketahui di Indonesia. Manfaluthi mengatakan “saya menjaga jiwa aslinya sepenuh-penuhnya dan mengikat diri saya sekeras-kerasnya. Saya tidak menyimpang kecuali dalam membuang beberapa kalimat yang tidak penting, menambah beberapa kalimat yang terpaksa saya tambahkan karena kaharusan terjemahan, pengolahan, penyesuaian tujuan dan maksud-maksud tanpa mengurangi nilai aslinya atau keluar dari lingkungannya”. Jadi saya kembali berharap kedepan tak ada lagi karya sastra yang kembar identik seperti yang terjadi pada karya Tenggelamnya Kapal Van der Wijk-Hamka dengan Majdulin/terjemahan Manfaluthi dari [Sous les Tilleus karya alphonse Karr] karena itu selain merendahkan proses penciptaan pada akhirnya juga menghinakan diri didepan sidang pembaca buku di seluruh dunia.

Siapa Abdullah SP?

”Satu hal yang membuat saya masih penasaran dengan buku ini adalah siapa sebenarnya Abdullah SP si pemicu isu plagiarisme Hamka,” kata Hernadi tanzil. “Buku ini tak menjelaskan siapa sebenarnya Abdullah SP selain keterangan bahwa beliau adalah penulis kelahiran Cirebon (1924) dan mulai menulis sejak revolusi di majalah Republik – Cirebon. Jika melihat metode perbandingan dan tulisan-tulisan Abdullah SP dalam buku ini sepertinya beliau bukan orang ’sembarangan’. Ada yang menduga bahwa Abdullah SP adalah nama samaran Pramoedya AT. Sayang buku ini tak mengungkap siapa sebenarnya Abdullah SP, apakah memang penulis tak mengetahuinya atau memang sengaja untuk tidak diungkapkan? Tak ada keterangan sedikitpun akan hal ini dari penulisnya.”

Sementara Lubabun Ni’am berpendapat lain:

“Gus Muh tak ragu menyebut bahwa Abdullah SP adalah Pramoedya Ananta Toer. Betapapun, dalam cerita bersambung “Magdalena”, nama “Abdullah SP” diubah menjadi “AS Patmadji”. Gus Muh tampaknya gatal untuk mengangkat kembali sejarah sastra Indonesia yang, lewat Pramoedya dan “Lentera”, sudah sejak lama bekerja untuk membasmi daki-daki di tubuh kesusastraan kita. Sekalipun, hingga kini, Hamka tetap merupakan sastrawan dan ulama terpandang. Mahkamah sastra kita tak pernah tuntas menghukum para plagiator. Malah kekejian rezim Orde Baru akhirnya menutup segala daya dan upaya menuju ke arah itu”.

Terlepas dari perdebatan itu, seluruh anggota sidang sependapat bahwa soal plagiasi ini memang belum ada jalan keluarnya di Indonesia. Untuk yang satu ini, Dasman menulis:

Lebih penting dari itu, kalau kita membaca buku karangan Muhidin M.Dahlan, dari halaman 214 dan seterusnya, bukan hanya Hamka yang dikutip melakukan plagiat. Sudah tentu dikutip dari Harian Bintang Timur. Di antaranya Chairil Anwar, Taufik Ismail, Seno Gumiro Ajidarma. Loh apa betul mereka plagiat? Apakah kita sudah membuktikannya? Sebetulnya yang diharapkan apakah kita bisa menyelesaikan masalah ini, kalau memang kita ingin menyelesaikannya.Kalau demikian bagaimana penyair-penyair ini di mata generasi muda? Bukankah tujuan mereka untuk memperkaya khasanah Indonesia.

Ni’am mengakui dengan pesimistis:

Buku kecil ini terbit setelah media sosial belakangan waktu lalu diramaikan oleh cerita pendek Dadang Ali Murtono berjudul Perempuan Tua dalam Rashomon, puisi Kerendahan Hati-nya Taufik Ismail, dan cerita pendek Dodolit Dodolit Dodolibret karangan Seno Gumira Ajidarma. Karya-karya yang mengundang kegegeran publik itu direkam secara detail oleh Gus Muh. Tak lain sebagai upaya kita untuk mengingat. Ya, hanya mengingat. Pasalnya, mengutip Gus Muh, “Jangan-jangan soal plagiat, hanya penulis karya dan Tuhan yang tahu. Dan para pencurinya tetap pada kehormatannya.” Tak ada arit untuk membabat, tak ada palu untuk mendakwa.

Sumber: www.indonesiabuku.com, 23 Maret 2012Pak Dasman sepertinya tidak membaca halaman 231. Di situ jelas-jelas ada informasi mengenai penulis. Tidak ada yang lempar batu sembunyi tangan di sini. Lagi pula, nama Muhidin cukup dikenal publik luas, kalaupun tidak, informasi mengenai dirinya bisa dicari di mesin pencari data.