Dari “Arsip Personal” ke “Arsip Nasional”

:gusmuh
 
Dunia arsip adalah dunia buangan, kata
amtenaar negara. Nasibnya mirip dengan perpustakaan, yakni ruang isolasi bagi
amtenaar yang punya catatan budi pekerti buruk.
Tapi bagi pencinta arsip dan artefak,
arsip adalah labirin perjalanan masa silam yang menakjubkan. Oleh karena itu menggeluti
dunia pengarsipan memang mula-mula mensyaratkan adanya hasrat menggelora, rasa
senang yang menggelumbang-gelumbang,
dan juga keterlibatan hidup yang total.
Semua prasyarat itu dipunyai DR Melani
W Setiawan ketika di Galeri
Nasional Jakarta di bulan April 2012 ia secara resmi mengumumkan kepada
publik (senirupa) arsip personalnya yang berjumlah gigantik dalam rentang waktu
4 dekade.
Buku trilogi Dunia Seni Rupa Indonesia, 1977-2011 karya Melani itu unik karena kesahajaannya. Pertama,
ini “foto bersama” yang sebetulnya lazim dilakukan. Karena itu 3 ribu dari 45 ribu foto
arsip yang tersaji di dalamnya nyaris semuanya menampilkan wajah Melani dan tak
punya pretensi untuk menampilkan secara utuh linimasa kehidupan seniman, karya,
dan komunitas-komunitas mereka.
Kedua, lantaran impresi dan
keterlibatan langsung di hampir semua momen peristiwa senirupa selama 4 dekade,
wajah-wajah dalam “foto
bersama” itu
mengalami perubahan komposisi. Ada wajah yang hilang dan ada pula pendatang
baru. Ada wajah seniman dengan dandanan kucel-berminyak di awal karir
kesenimannya, tapi beberapa dekade kemudian tampil subur dan gembira.

Hanya itu? Tidak! Melani juga
mendokumentasikan katalog, brosur, souvenir, buku, surat-menyurat, poster,
hingga salinan sms dan email.
Dan ikhtiar itu semua bukan kerja arsiparis profesional lulusan
akademis dari universitas yang membuka jurusan filologi atau perpustakaan. Yang
menggerakkan dokter spesialis rongsen kandungan jebolan University or Rijeka
pada 1992 ini adalah kecintaan yang tiada tara pada senirupa.
Menurut Melani, kecintaan pada
senirupa itu muncul pada 1977 saat dia diajak pamannya mencari benda-benda
antik di sudut-sudut kota Jakarta, di antaranya menyusuri Jalan Surabaya,
mengunjungi pameran lukisan di Balai Budaya, atau sekadar pamer mata di Ancol.
Di Ancol inilah Melani berjumpa dengan karya Idran Yusuf. Berkenalan secara
personal dengan seniman terjadi pertama kali saat menjenguk pelukis Suyono DS.
Sederhana sekali. Tapi justru
peristiwa sederhana itu yang mengantarkan arsip Melani ini sebagai apa yang
disebut kritikus senirupa Jim Supangkat detektor “art world public”. Ia meringkus kebersamaan dengan dunia
seni dan kehidupan perupa di dalamnya yang bersifat sehari-hari.
Kesederhanaan peristiwa serupa juga kita
dapatkan dari sosok HB Jassin, arsiparis Sastra Indonesia Modern nomor satu. Jassin
bukan ilmuwan arsip dan dokumentasi jebolan akademis. Ia hanya pencinta dunia
dokumentasi. Argumentasi Jassin pun sangat sederhana: “Saya tak tega
menyisihkan tulisan sastrawan di awal penapakannya di dunia sastra. Sesederhana
dan sejelek apa pun karya itu, pastilah dibuat dengan peluh luar biasa.”
Bermula dari semua kliping koran
pribadinya yang ia kumpulkan dari kerja rutin mulai pukul 12 dinihari hingga 5
subuh selama 3 dekade di Gg
Siwalan 3, Jakarta, dokumentasi Jassin
itu pun berubah menjadi arsip raksasa:
buku, foto, tulisan tangan sastrawan, rekaman suara, maupun surat-surat
pribadi.
Sebelum menjadi arsip dunia sastra
terlengkap di dunia dan
menempati salah satu gedung di 
Taman Ismail Marzuki Jakarta Pusat, banyak
yang tak tahu bahwa arsip itu bermula dari kesenangan pribadi yang dibangun
oleh rasa terima kasih, bahwa—meminjam kalimat Jassin sendiri: “Saya berterima
kasih kepada kesenangan ini karena saya diterima bekerja di Balai Pustaka (1 Februari 1940-pen), punya penghasilan yang lumayan, karena kliping-kliping
karya saya yang saya serahkan menjadi pertimbangan utama saya diterima (Sutan Takdir Alisjahbana-pen). Saya tak
membayangkan bagaimana kalau tidak ada kliping-kliping itu.”
Ketekunan
pribadi mengumpulkan itu berubah menjadi kredibilitas. Jassin dipercayai banyak
sastrawan untuk menyimpan dan menjadi wali bagi arsip mereka. Keberlimpahan
itulah yang kemudian menjadi jalan berdirinya Pusat Dokumentasi Sastra HB
Jassin pada 28 Juni 1976.
Apa yang dilakukan Melani Setiawan di
dunia senirupa dan HB Jassin di dunia sastra itu bermula dari “Arsip Personal”. Penulis seni Christine Cocca (2012:11)
menjabarkan bahwa arsip personal adalah kisah-kisah lisan, kutipan-kutipan di
status dan celetukan di media sosial, rekaman fotografis, kliping, alat bekas
pakai, buku-buku tua, lembaran uang yang diberi penanda.
“Arsip Personal” yang dilakukan intens
dengan kuantitas raksasa dalam sekuen waktu yang panjang itu bisa menjadi “Arsip
Nasional” lantaran kemampuannya menjadi radar untuk memberi makna baru dalam
dunia artistik dan kreativitas bagi masa depan bangsa yang misteri dan sejarah masa lalu
yang gamang.
Paling
tidak, “Arsip Personal” itu menggembirakan dunia penciptaan karena kita punya
tali pusar penghubung memori (nasional) masa silam yang terus-menerus dirusak
dan diabaikan oleh tindakan amtenaar sehari-hari di ruang parlemen dan
birokrasi pemerintahan.