Dokumentasi Sepakbola Indonesia

:: gusmuh

“Klub-klub
dan orang penting di Indonesia tak peduli dengan dokumentasi olahraga.” — Nick
van Horn, KITLV

SALAHSATU fungsi
dokumentasi bisa diperikan dari satu scene
film bersetting kota perdikan Ukraina, Lutsk, Everything is Illuminated (2005). Sebuah dialog pendek antara
Jonathan Foer, arsiparis sejarah keluarga berusia belia dan pemandu wisata
Alex.
Alex: “Kenapa kamu
mengoleksi benda-benda itu?”
Jonathan: “ Karena aku takut,
aku akan lupa…”
Dokumentasi
ada agar kita bisa berjaga dari kelupaan, seperti kita sedikit sekali mengingat
ihwal Ribut Waidi saat mangkat
3 Juni 2012. Publik sepakbola Indonesia hanya mengingatnya
pada sebuah momen: sebutir golnya mengantarkan tim nasional juara
SEA Games Jakarta 1987 saat melawan Malaysia.
Informasi apa lagi yang bisa dikorek dari Waidi, selain ia “anak ajaib” PSIS Semarang yang mengantar klub ini menjadi
pemuncak Piala Perserikatan? Berapa kali, misalnya, ia memperkuat timnas di level
internasional? Nihil.

Dari Waidi
kita kemudian membicarakan gua panjang dokumentasi sepakbola Indonesia. Mungkin ada catatan. Tapi dokumentasi yang siklus waktunya tak terorganisasi dengan rapi, sebagaimana kalau kita membuka portal American Soccer History Archieves. Catatan-catatan itu mengendap dalam
kesunyian absolut di lembar-lembar koran semasa.
Umat sepakbola Indonesia ini bejibun jumlahnya. Pemandangan
paling mutakhir bisa disaksikan saat final Piala Suzuki AFF 2010 di Stadion
Utama Gelora Bung Karno Desember 2010. Ada sekira 100 ribu penonton yang
menyaksikan, termasuk Presiden RI. Dengan antusiasme yang menggelagak dan
suporter yang begitu fanatik, punyakah kita Pusat Dokumentasi Sepakbola Indonesia yang berwibawa?
Dalam dunia sastra kita punya Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin. Dunia film
kita punya Pusat Dokumentasi dan Informasi Perfilman (Sinematek). Dan di dunia senirupa kontemporer kita punya Indonesia Visual
Art Archieve (IVAA).
Dokumentasi
sepakbola? Setelah menulis sejarah (politik) sepakbola, sejarawan Freek
Colombijn berujar, sepakbola Indonesia itu memang anomali lantaran negeri ini punya
250 juta penduduk yang nyaris semuanya penggila bola, tapi segelintir kecil
saja ilmuwan sosial yang menulisnya. (Darmanto, 2012)
Bagi saya,
pusat dokumentasi sepakbola Indonesia itu tak terletak di PSSI atau lembaga
mana pun. Dokumentasi terlengkap day by
day
sepakbola Indonesia itu ada di penerbitan pers.
Indonesia Buku
pernah menugaskan arsiparisnya, Iswara NR, menjelajahi dokumentasi sepakbola
Indonesia di “Pusat Dokumentasi” bernama “koran” ini: masa Hindia Belanda, Orde
Karno, Orde Harto, hingga Reformasi.
Di masa
Hindia Belanda, koran-koran Pembrita
Betawi, Djawa Tengah, Pandji Poestaka, Doenia Baroe, Oetoesan Indonesia,
Bintang Hindia, Bintang Timoer, Sinar Deli, Pewarta Deli, Sinar Sumatra, Pertja
Selatan, Pemberita Makassar
, hingga Pewarta
Borneo
sudah menyisipkan kabar-kabar sepakbola di halaman khusus, seperti
“Kabar Sport”. Macam begini: “… waktoe
saja melihat keseblah I.C. (Inlandsch Club) hati saja berdebar, saja rasa
tentoe kalah, sebab orangja boleh bilang semoea ketjil tambahan lagi Inlander
makan sajoer berlawan sama Europa makan daging ….”
(Pantjaran Warta, 9 September 1910)
Ketika PSSI
lahir di Yogyakarta pada 19 April 1930, koran Djawa Tengah, “Pusat Dokumentasi” ini, mencatat dengan rinci: “… lantas diambil kepoetoesan, I.V.B. didiriken
dengan nama ‘Persatoean sepakraga seloeroeh Indonesia’ dengan zetel di Mataram.
Dalem pilihan bestuur, ternjata Ir Soeratin diangkat sebagai voorzitter …
kedoedoekan boeat consul ditetepkan di Soerabaja boeat Oost Java, Solo boeat
Midden Java, dan Jacarta boeat West Java… Bendera P.S.S.I. ditetepken merah
poetih….”
Mau disebut
lagi? Sin Po, Keng Po, Sin Jit Po,
dan Sin Tit Po adalah koran-koran
yang bisa disusuri jika kita ingin mengetahui peran Tionghoa dalam dunia
sepakbola Indonesia yang kemudian peran mereka “menghilang” sejak masa Orde
Baru hingga kini.
Sejarah
sepakbola kita juga tak terputus pada masa Jepang menduduki Indonesia, lantaran
rantai itu bisa kita susuri lewat Asia
Raja, Tjahaja, Soeara Asia, Sinar Matahari, Sinar Baroe, Pembangoen, Kanpo,
Kung Yung Pao, Djawa Baroe
, dan Keboedajaan
Timoer
.
Ketika berada
di era—pinjam kata-kata penasehat PSSI dari PKI, Njoto—“sport itoe politik”—dokumentasi sepakbola Indonesia terpecah-pecah
di lembaga penerbitan seperti Kedaulatan
Rakjat, Merah Putih, Berita Indonesia, Gelombang Zaman, Fikiran Rakjat, Pelita
Rakjat, Java Post, Pesat, Pantja Raja, Indonesia Raja, Pedoman, Harian Rakjat,
Api Islam
, bahkan di majalah Olahraga.
Semangat
menggelora tentang sepakbola masa itu bisa diwakili oleh quote Presiden Soekarno di majalah Olahraga, 1 April 1953: “Bola
disukai oleh anak di kota dan di desa, dan mulai ketjil kita semua sudah
menjadi pemain bola. Di sekolah, kita mulai main sepakbola setjara teratur,
meskipun belum sungguh-sungguh. Marilah kita langsungkan kemadjuan itu!!!”
Hingga di era
Harto dan Reformasi, dokumentasi tampil makin beragam dengan pemberian ruang
lebih luas, seperti tampak di Sinar
Harapan, Merdeka, Jawa Pos
, dan Kompas.
Bahkan Kompas melepas salahsatu “sisipan”-nya
yang kemudian bermetamorfosis jadi tabloid olahraga prestisius, Bola, yang digawangi Sumohadi Marsis
pada 1984. Jayanya Bola kemudian
diikuti Go yang pada akhirnya
tumbang.
Salah satu
fenomena yang paling mencengangkan tentu saja kemunculan Harian Cetak dan
Daring. Harian cetak diwakili TopSkor
pada 2005 yang memulai era baru bahwa olahraga, terutama sekali sepakbola,
menjadi peristiwa harian yang memiliki daya pukau tiada selang. Sementara
daring diwakili detik.com
(sport/sepakbola) yang membuat denyut dokumentasi berdegup tiap saat.
Semangat Dokumentasi
Saya percaya,
kita punya sumber dokumentasi yang kaya. Jika ada lembaga yang berdiri dan
peduli tentang “Arsip Sepakbola Indonesia”, maka syarat utamanya menyatukan
semua cerita dalam koran-koran itu.
Pembangunan “Pusat
Dokumentasi” ini tak perlu menunggu selesainya “Hambalang” atau “restu” dari
pemangku sepakbola “Pintu VII” Gelora Bung Karno. Sebab yang dibutuhkan “cukup”
kesenangan mengkliping kabar sepakbola sebagaimana kita bisa dapatkan dari
pemain legendaris Persib Bandung, Max Timisela.
Atau sosok
“the jack” yang seorang arsiparis sepakbola di KITLV Leiden, Nick van Horn,
sebagaimana sekuplet kisahnya saya temukan di blog “belakanggawang” (2012).
Sejarawan ini sendirian bekerja mengumpulkan buku, naskah, kliping (cetak
maupun mikrofilm), video, dan lain-lain. Ironisnya, ia mencari data-data itu
dengan blusukan di Museum Taman Mini,
Kwitang Pasar Senen (dua-duanya di Jakarta) dan Jl Bawean Surabaya.
Kita juga
bisa seperti Max dan Horn, selain tekun mengkliping, sekaligus rajin memburu
artikel seperti
Politik Sepak Bola Indonesia karya Freek
Colombijn (2000). Tak luput ia mengumpulkan buku apa pun yang berkisah tentang sepakbola Indonesia, mulai dari  Tionghoa Surabaya dalam
Sepakbola
karya Aji (2009), Trilogi Esei Bola Sindhunata, hingga buku
Letkol Maulwi Saelan, Sepakbola
(1973) yang diolok-olok Tempo (12
Januari 1974) sebagai buku penuh blunder dari penjaga gawang PSSI era 50-an
yang dijuluki “Benteng Beton”.
Kita percaya hanya
dengan dokumentasi yang kuat, kita kaffah
saat memberi klaim kehebatan pemain dari pelbagai era, dengan memakai statistik
ala Pandit Football Indonesia: lebih cepat dan tajam mana di mulut gawang
lawan: Bambang Nurdiansyah ataukah Bambang Pamungkas; Saelankah lebih kokoh di
bawah mistar gawang ataukah Hendro Kartiko; dan lebih perkasa mana sebagai
libero: Ronny Pattinasarani atau Firman Utina.
Dengan
dokumentasi pula kita bisa merunut wajah buruk pengurus sepakbola; mulai dari
suap 1958 yang melibatkan Ramang cs; suap 1978 yang melibatkan Ronny Pasla cs;
hingga koruPSSI di era Nurdin Halid.
Dipublikasikan pertamakali, Jawa Pos, Lembar EURO 2012 “Bola Kultural”, 29 Juni 2012