Jurnalisme Pamflet

::gus muh

Ketika menerima bundelan utuh djoernal sastra boemipoetra (2012), yang terbayang adalah jurnal yang isinya mengajak berkelahi dengan tangan terus terkepal sebagaimana tercetak di sampulnya. Bundel ini berisi 21 edisi boemipoetra selama lima tahun berkiprah (2007-2012) di lapangan sastra Indonesia. 

Banyak yang mencibir bahasa yang digunakan boemipoetra urakan, liar, dan jalanan. Bahkan penuh fitnah. Kata-kata “sampah”, “monyet”, dan sederet kata-yang-menuding dengan mudah kita temukan. Namun, banyak pula yang melihatnya sebagai cambuk api di tengah kelesuan dunia kesesasteraan yang mengarah pada monolitisme.
 
Sikap boemipoetra jelas, seperti jargon mereka: boekan milik antek imperialis. Ini djoernal yang dikelola orang-orang melarat yang dengan enteng menyebut nama persona dan komunitas lawan yang mereka harus tinju karena menjadi dominator, manipulatif, agen liberalisme di lapangan kebudayaan.
 
Melawan kekuatan sastra dengan sokongan dana melimpah seperti itu, boemipoetra memilih corak berbahasa yang lain sama sekali dengan jurnal-jurnal sastra yang sudah ada. Mereka memilih jurnalisme pamflet.

Sahkah pilihan djoernal sastra boemipoetra itu dalam tradisi jurnalisme di Indonesia?
Jurnalisme pamflet—yang berpihak, berteriak kencang, bahkan tak jarang memaki—memiliki leluhur yang absah dalam sejarah jurnalistik di Indonesia. Ketika Tirto Adhi Soerjo disandera hingga tak berkutik pada 1913, jurnalis didikannya dari Blora, Mas Marco Kartodikromo tampil trengginas saat mendirikan organ pers Indlandsche Journalisten Bond (IJB) tahun 1914. Bersamaan dengan itu pula muncul koran Doenia Bergerak yang jauh sama sekali dengan koran pergerakan Sarekat Islam semasa seperti Oetoesan Hindia yang dipimpin HOS Tjoktoaminoto di Surabaya.
 
Benar, bahwa Marco adalah mengurus Sarekat Islam Surakarta karena mandat dari Tirto Adhi Soerjo dan bersama Sosrokoernio berpayah-payah menghidupkan koran Saratomo yang limbung. Namun, Marco justru berseberangan dengan Tjokroaminoto. Apalagi, saat sikap Tjokroaminoto dianggap lembek, Marco dengan Doenia Bergerak masuk gelanggang dengan sikap yang keras kepada pemerintah. Apalagi ia bersekutu dengan salah satu dokter keras kepala bernama Tjipto Mangoenkoesoemo di mana keduanya membikin koran Goentoer Bergerak.
 
Goentoer Bergerak dan kemudian Doenia Bergerak menggunakan bahasa melayu pasar, meledak-ledak, dan bahkan urakan. Kata “kowe”, “pantat” meluncur begitu saja untuk memaki (priyayi) bangsa Jawa. “Ja bangsakoe! Perloe apa kowe bangoen? Kaloe kowe bangoen nanti kowe dapet taoe sebabnja kowe dipoedji lemah-lemboet boedi pekertimoe karena kowe tida poenja akal sama sama sekali. Kowe diisap darahmoe, dimakan dagingmoe sampe tinggal koelit dan toelang tida bersoeara ba! atawa boe! Tjuma kerbo sapi jang begitoe…” (DB No 1 Th 1, 28 Maret 1914, h. 8)
 
Menghantam seorang priyayi yang menjabat Assisten Wedana, Doenia Bergerak enteng memakai frase “pantat”: “Tjis, tra maloe! Siapakah kiranja itoe? Si Djilat pantat. Djilat pantat itoe doea perkataan djilat+pantat. Djilat=mengesoetkan lidah; pantat= je weet wel. Brrrr, afschuwelijk, he! Boeat bangsa Djawa (jilat pantat, red) paling banjak: prijaji. Lain bangsa ampir semoea taoe, jang Prijaji-Djawa, ada banjak jang soeka likken. Dari itoe maka njata sekali, jang sebagian besar dari bangsa kita beloem taoe adjinja (de waarde) bekerdja soenggoeh2 dan ta pertjaja pada pekerdjaan sendiri. Kalaoe mereka itoe harganja pekerdjaan diri sendiri moesti maloe mendjilat-djilat begitoe.” (DB, No 2, 4 April 1914, h 3)
 
Doenia Bergerak lahir saat Regeering menoetoep semoea moloetnja kaoem Journalist (DB, No 3, 11 April 1914, h 1). Bacalah pengantar kelahiran Doenia Bergerak di No 1 bertitel “Hidoep Doenia Bergerak”: “Kita bisa mengeloearkan Doenia Bergerak itoe tiada lantaran mempoenjai oeang, tetapi lantaran oesahanja IJB kepada sekalian toean-toean Boemipoetra. Djadi terang sekali Doenia Bergerak memang tiada beroeang setjoekoepnja alias melarat.”
 
Pernyataan itu sudah cukup bagi kita bagaimana “garis api” ditabalkan Mas Marco bahwa ini bukan koran untuk mencari uang. “Boekan milik antek imperialis,” kata boemipoetra. Nyaris tak ada iklan di Doenia Bergerak. Koran ini diterbitkan dengan semangat tanpa batas untuk melawan kebebalan feodalisme priyayi dan penghisapan abadi pemerintah kolonial.
 
Marco bukan berasal dari kaum terpelajar akademik lulusan ELS, HBS, OSVIA atau STOVIA di mana mereka mampu membaca, menulis, serta berbicara dalam bahasa Belanda. Marco cuma lulusan sekolah bumiputra Ongko Loro. Penulis yang lahir di Cepu pada 1890 ini justru belajar tentang masyarakat kolonial dan jurnalisme secara otodidak dengan cara mengangsur dan mengakumulasi semua pengetahuan dari senior-seniornya di pergerakan.
Dari Tirto Adhi Soerjo ia belajar segalanya: mulai dari layout hingga manajemen organisasi koran. Dari Tirto—juga Tjipto—ia belajar tentang penulis cum redacteur yang punya keberanian bersikap sebagai manusia tertindas. Dan dari pengalaman sebagai orang bawah ia belajar bersikap keras.
 
Marco mengkritik kaum priyayi yang menjilat. Ia memaki pengusaha Tionghoa yang membunuh usaha kaum bumiputra di lapangan ekonomi. Ia juga menghajar pemerintah dank arena itu ia langsung digelandang ke bui. Pasalnya, Marco memuat artikel yang memaki Dr Rinkes, Penasehat Gubernur Jenderal untuk Urusan Boemipoetra. Marco tahu, Rinkes ini juga sosok utama yang menghancurkan karir guru jurnalistiknya, Tirto Adhi Soerjo, lewat gerakan arsip yang rapi.
 
Dari Desember 1914 itulah Marco mengecap “royalti” tulisan-tulisannya: karnaval dari penjara ke penjara. Tahun 1915 di penjara di Semarang. Gara-gara puisi “Sama Rata Sama Rasa” ia dijebloskan lagi di penjara pada 1917. Karena dituduh bersekongkol dengan “si Raja Mogok van Jogja” Soerjopranoto membela kaum buruh, ia dihantam lagi persdelict tahun 1920 dan menginap beberapa bulan di penjara Yogyakarta. Tahun 1921 ia di penjara lagi di Weltervreden, Batavia. Dan selanjutnya pada 1927 ia ditangkapi, dibuang, dan mati di Boven Digul ketika perlawanan kaum kiri menghembalang di Jawa dan Sumatera.
 
Marco sejenis aktivis yang kesetanan menulis. Ia lahirkan begitu banyak karya pamflet yang ia persembahkan untuk kejatuhan kolonialisme dari tanah Hindia kelak. Tak ayal lagi, tulisan-tulisannya pun langsung masuk kotak “Bacaan Liar” oleh Balai Poestaka. Kalau kita daftar, hingga 1920 paling tidak Marco sudah mengeluarkan 7 buku (esei-prosa-puisi, jurnalistik), yakni Sair rempah-rempah, Mata Gelap, Sairnya Sentot, Student Hidjo, Doenia Bergerak, Regent Bergerak, dan Maanblad Soero-Tamtomo.
 
Doenia Bergerak yang usianya tak genap 2 tahun dan menjadi tonggak jurnalisme pamflet memang telah mengabadikan nama Marco. Segelintir anak muda yang menulis dengan sikap yang jelas, terus-terang, dan berapi-api. Cara dan penulisan yang diperlihatkan Marco menjadi genre sendiri dalam penulisan jurnalistik dengan memindahkan seutuhnya mimbar pidato berapi di hadapan massa yang beringas ke atas kertas tercetak.
 
Marco melawan pola penulisan yang ragu, ambivalen, memoles kata-kata indah untuk menutupi kelembekan sikap. Marco dan Doenia Bergerak memberi garis tegas siapa kawan yang harus kena tinju dan siapa lawan yang diajak bersekutu.
 
Doenia Bergerak dan boemipoetra, keduanya masih satu pohon keluarga di dua masa yang berpaut hampir seratus tahun. Pohon yang bernama jurnalisme pamflet.