Prisma

1978-1979. Menghadapi Jurnal Prisma setiap pagi seperti berhadapan dengan argumentasi dan gagasan yang tak pernah lapuk.

Selalu ada kekuatan ide bersemayam dalam 10 artikel Prisma di setiap edisi yang umumnya ditulis dalam 8-30 halaman itu. 

Cendekia yang bersulih jadi birokrat-birokrat politik hari ini adalah alumni-alumni penulis Prisma. Jika tidak sebagai penulis, paling tidak pembaca atau pengutip Prisma saat menulis skripsi. 

Berhadapan lagi dengan 2 bundel Prisma 1978-1979 serupa berhadapan dengan spektrum masalah yang terjadi hari ini yang dihadapi tanpa argumen. Soal agraria dan distribusi tanah, minyak, hak asasi dan konflik antaretnik, pembangunan kawasan, partai politik, lingkungan, etos kerja yang lemah, pemberontakan dan sikap dalam sejarah, dan seterusnya dan seterusnya. 

Menghadapi Prisma setiap pagi seperti melihat Quraish Shihab keluar dari stasiun televisi dan tak pernah kembali lagi. Membaca Prisma di pagi di paruh kedua abad 21 ini seperti membawa mutiara di tengah obrolan kehilangan makna di layar televisi oleh pembesar-pembesar negeri. 

Prisma memutar ulang kenyataan bahwa Presiden lebih butuh akun twitter dan berpikir sebatas mulut ketimbang membiayai jurnal paling prestisius di mana kita semua kembali percaya bahwa masalah hari ini harus dihadapi dengan gagasan dan ide yang mendalam dan mengakar. 

Prisma dengan konsistensinya membangun kultur baru. Akun twitter Presiden SBY juga membangun kultur baru. Dua abad yang berbeda. Dua kultur berbeda. Tulis dan cuit. Pemikir dan pesolek.