Detektif Arsip

::gus muh 

Sudah satu dekade lebih abad alaf berlari di waktu-publik Indonesia. Tentu saja kereta waktu itu membawa sampah sosial-politik dan sekaligus inovasi peradaban.
 
Di antara muatan itu, tak ada peristiwa arsip yang paling menghebohkan halaman depan dan trending topic media cetak dan daring kecuali, salah satunya, dokumen sprindik (surat perintah penyidikan) kasus korupsi (tersangka) Anas Urbaningrum.
 
Tak pelak, arsip kemudian menjadi perdebatan: pengelolaan, kerahasiaan, dan juga badai politik yang mengepungnya. Yang mengherankan, di antara badai arsip itu, para arsiparis absen. Nyaris tak ada satu pun pewarta yang merekam pendapat mereka soal “sprindik” itu.
 
Di kasus “sprindik”, yang dibutuhkan memang bukan arsiparis dengan kerja tukang dan tampaknya makin rudin di abad digital yang menggila seperti sekarang ini. Yang muncul adalah Detektif Arsip.
 
Detektif Arsip adalah domain politik arsip. Kita memang selalu butuh arsiparis dengan kecakapan teknis; tapi soal arsip dan politik, yang tampil adalah detektif. Di biodata pendidikan Anies Baswedan yang menjadi Ketua Komisi Etik KPK (khusus “sprindik”), misalnya, tak ada satu pun tercantum pendidikan kearsipan. Tapi kita tahu, ia menjadi pimpinan pemburu cerita bocornya “sprindik” KPK. Dan kerjanya sukses!

Dalam pendidikan kearsipan, barangkali tak dikenal bidang yang bernama kerja politik arsip (baca: detektif arsip). Karena itu ketika muncul penghancuran Wikileaks di awal dekade kedua abad ini, arsiparis-berijazah tenang-tenang saja. Padahal, apa yang dilakukan Julian Assange adalah kerja (politik) arsip. Bersama timnya, Julian mencari, mengunggah, dan menyebarkan arsip-arsip rahasia (kejahatan) sebuah negara.
 
Kita tahu ledakan kasus Julian “Wikileaks” itu kemudian menjadi bahan bakar bagi para aktivis demokrasi untuk menentang RUU yang didesain pemerintah cum militer tentang keamanan negara dan keterbukaan informasi kepada publik.
 
Julian Assange lebih dikenal jurnalis dan aktivis internet, dan sama sekali tak ada satu pun catutan kepadanya sebagai seorang arsiparis: mencari, mengumpulkan, mengamankan, dan menyebarkan. Julian memang lebih tepat disebut detektif (arsip) karena kemampuannya melakukan penelusuran dengan hasil yang membuat masyarakat sipil terkaget-kaget dan penguasa (juga pengusaha hitam) jantungan.
 
Satu Paket 

Kita memang butuh kehadiran dan pengabdian arsiparis-arsiparis dengan pendidikan dan keahlian teknis di atas rata-rata. Tapi kita juga butuh detektif arsip. Sebab arsip bukan saja soal dokumen, tapi juga soal malpraktik untuk kejahatan-kejahatan besar kekuasaan yang terencana (politik).
 
Naif bila kita menyebut arsip kalis dari politik. Bukalah sejarah salah satu tokoh kunci pergerakan kebangsaan awal, yakni Tirto Adhi Soerjo, yang dihancurkan D.A. Rinkes.
Penasehat Pemerintah untuk Urusan Pribumi itu menggunakan gerakan arsip yang rapi untuk mencatat, mengontrol, memojokkan, dan menumbangkan Tirto dari gelanggang pergerakan tepat seratus tahun silam. Pramoedya Ananta Toer menyebut gerakan arsip Rinkes itu lewat metafora “Rumah Kaca”.
 
Dengan arsip, gerak-gerik Tirto terlacak tanpa sekat. Dengan tangan pengadilan, Tirto dibuang dan usaha dagangnya dipailitkan. Tak hanya itu, arsip-arsip itu dimasukkan Rinkes ke kotak pandora. Hasilnya, 40 tahun usaha-usaha Tirto di jalan pergerakan raib tak berbekas. Oleh gerakan arsip itu, Tirto dibunuh dua kali dalam sejarah.
 
Ada contoh lain. Bergolaknya Madiun September 1948 sebelumnya dimulai dengan provokasi arsip “Red Drive Proposals”. Dalam dokumen itu disebutkan Amerika menjanjikan sekira 56 juta dolar kepada pemerintah Sukarno-Hatta asalkan PKI bisa dibasmi.
 
Pada 1965 ketika hubungan PKI-Angkatan Darat meruncing, Amerika Serikat melakukan operasi black letter (surat kaleng). Dokumen “Gilchrist” tentang “Dewan Jenderal” dari Duta Besar Inggris untuk Kementerian Luar Negeri Inggris di London menjadi provokasi ketegangan yang berakhir dengan memilukan: pembantaian massal.
 
Kita tak pernah tahu, arsip atau dokumen “Red Drive Proposals” atau “Gilchrist” itu ada atau tidak. Misteriusnya dua dokumen itu setara dengan sasus arsip “Supersemar” yang menjadi karpet merah berkuasanya Soeharto.
 
Nyaris tak ada arsiparis yang meneliti begitu sentralnya arsip-arsip itu dalam pengambilan keputusan (politik) yang pelik. Mungkin tak disentuh karena menganggap di luar domain pekerjaan arsiparis. Yang justru menyuntuki pelacakan kebenaran arsip-arsip itu adalah sejarawan cum jurnalis.
 
Tiga dokumen yang tersaji itu hanya contoh ekstrim yang tampak di paras sejarah Indonesia bagaimana arsip dan politik berada dalam satu paket. Untuk mencari, mengurai, menjelaskan, dan memberikan putusan diperlukan sosok-sosok baru dengan keahlian khusus. Sosok itu bernama detektif arsip.
 
Dengan cara kerja arsiparis berkemampuan khusus itu tentu tak terbayangkan bila Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) suatu ketika justru berasal dari arsiparis. Inilah yang pernah terjadi di Inggris.
 
Pada 1992-1996 pemerintah Inggris mempercayakan Badan Intelijennya, M15, dipimpin arsiparis. Dame Stella Rimington yang berpendidikan dan bekerja sebagai arsiparis sejak 1959 di Worcester menjadi contoh sahih bagaimana dunia intelijen (detektif) dan arsip berada dalam satu paket. Yang tak juga dilupakan, Rimington adalah seorang novelis yang salah satu karyanya diganjar Booker Prize pada 2011.
 
Mungkin harapan itu terlampau jauh terealisasi ketika frase “detektif” masih mutlak dikuasai militer. Tapi kemampuan khusus “detektif arsip”, jika kita menjadikannya sebagai sikap sehari-hari, bisa memberi kesadaran baru. Yakni, kita tak mudah terbohongi oleh teror dan malapateka sosial oleh sasus yang disebabkan malpraktik arsip.
 
Seperti kata sastrawan cum dokumentator Pramoedya Ananta Toer: “Jika kamu rajin mengarsip, kamu tak akan pernah bisa dibohongi oleh kekuasaan apa pun.”

 * Dimuat pertama kali di harian Koran Tempo, 28 April 2013, hlm A21