Martin Aleida (1)

::gus muh
 
Tulisan/ide/gagasan adalah langit adalah cakrawala. Jika bentuk tulisan memiliki kelas, maka fiksilah yang paling tinggi kelasnya, barulah disusul nonfiksi. Setidaknya itu menurut Martin Aleida. Ia sebut fiksi sebagai langit pertama, cakrawala pertama. Adapun tulisan nonfiksi (resensi, reportase, memoar, surat) adalah langit kedua, cakrawala kedua.

“Cerita pendek adalah salah satu bentuk karya fiksi yang dipercaya sebagai ungkapan dan refleksi tertinggi oleh seseorang,” tulis Martin Aleida di “Sekapur Sirih” buku Langit Pertama, Langit Kedua (NALAR, 2013, xx+378 hlm).

Menempatkan fiksi sebagai langit tertinggi, langit nomor satu, bagi Martin tentu bukan pernyataan kosong. Mata kesadarannya terbuka saat ia melihat bagaimana Harian Rakjat di mana pada 1964-1965 ia resmi menjadi jurnalisnya, menyikapi dan sekaligus menempatkan fiksi semestinya. Puisi–dan tentu saja cerpen–mendapatkan halaman terbaik dan terhormat di sebuah koran yang dibuat untuk rekaman kegiatan politik, Harian Rakjat.

Koran resmi PKI ini bahkan pada 1961 memuat cerpen nyaris tiap hari. Koran resmi PKI ini bahkan pada 1961 memuat cerpen nyaris tiap hari.
 
Baris itu bukan sekadar pernyataan yang harus diberi tanda “tebal, besar, berulang” oleh para pengerek bendera partai yang keras kepala. Pernyataan itu juga menjadi semacam “mantra” yang terus digumamkan, bahwa fiksi mendapat halaman terhormat.

Saat itu, Martin adalah Nurlan. Datang dari Tanjung Balai, Sumatera Timur (sekarang masuk Sumatera Utara). Tanjung Balai adalah “wilayah”-nya Lekra. Lekra turba ke Sumatera Timur, Tanjung Balai disebut-sebut. Lekra pentas di Sumatera Timur, Tanjung Balai berdiri panggung. Saat Lekra Kongres I di Solo 1959, Tanjung Balai dihimbau untuk membawa benda-benda seni tradisionalnya.

Dan dari Tanjung Balai itu muncul seorang pemuda jangkung. Nurlan namanya. Gandrungnya pada cerita pendek sudah menggebu. Dan saya menemukan tiga cerita Nurlan di Harian Rakjat: (1) Kandas (HR, 10 Oktober 1961); (2) Tantangan (HR, 5 Januari 1962); (3) Sebuah Lagu (HR, 25 Oktober 1964). Juga sejumlah reportase di Indramayu tentang bentrok petani dan tuantanah pada 1964-1965. Yang lain-lain, seperti termuat di majalah Zaman, majalah resmi Lekra, belum dibuka. Mungkin ada masih ada di di antara timbunan kliping PDS HB Jassin Jakarta.

Kegandrungan masa muda yang menggebu dan bergejolak itu, bahkan jauh sesudah pagebluk 1965, masih terasa pekat dalam diri Martin. Buku kumpulan cerpennya, Leontin Dewangga (Kompas, 2004) dan Mati Baik-Baik, Kawan (AKAR, 2009) adalah buktinya. Buku “Langit Pertama Langit Kedua” juga mengikutkan 8 cerpen di antara 28 karya nonfiksi. Cerpen–dan bukan puisi–menjadi medan kreatif Martin Aleida untuk menyodorkan ingatan-ingatan traumatis yang menimpanya, protes-protes sosial, dan refleksi-refleksi humanistik dari dunia dialektis yang tak pernah ramah terhadap “manusia kecil”. (Bersambung)

Martin Aleida 5
 
Martin Aleida 4

Martin Aleida 3

Martin Aleida 2