Martin Aleida (5)

::gus muh

Di bagian ketiga tulisan ini saya sudah singgung sekilas sosok prosais cum jurnalis Martin Aleida ini: tubuh jangkung, atletis, senang memakai oblong tapi lebih sering kemeja lengan pendek di forum diskusi sastra dan budaya, dan ke mana-mana memakai sepatu kets. Penampilannya dandy. Wajahnya selalu sumringah seperti laki-laki berusia 40-an tahun. Kalau tidak mengubek-ubek google, orang akan terkecoh bahwa sosok yang bernama Nurlan a.k.a Martin Aleida ini sudah berusia 70 tahun.

Gaya hidup macam apa dijalani prosais dan mantan jurnalis Harian Rakjat dan Zaman Baru ini sehingga ia masih bugar menghadapi titian stigma puluhan tahun di udara Jakarta yang makin lama makin memburuk?

Informasi yang mula-mula saya terima atas pemilik nama Nurlan a.k.a Martin Aleida ini dari beberapa kawan di Jakarta adalah bahwa Martin jika ke kantor tempatnya bekerja, TEMPO, selalu lari, lari, dan lari. Jarak tempuhnya saya tak bisa hitung dengan presisi: Depok – Senen.

Itu rahasia pertama mengapa ia bugar hingga di usia tuanya. Rahasia lain? Banyak minum air putih. Air putih selain membuat bugar juga menguatkan ingatan. Di TEMPO, suatu hari Martin Aleida mendengar kelakar Goenawan Mohamad kepada Ramadhan KH, bahwa wartawan TEMPO itu tidak mencatat, mereka menghafal. Klop. Bahkan Martin bisa hafal kebiasaan atasannya di TEMPO, Salim Said, yang memelihara kuku dan jarak ibu jari kaki dan jari tengah Salim yang renggang yang menandai ia seorang pejalan jauh. Air putih, sekali lagi, menjadi rahasia punya ingatan sekuat itu.

Tapi tak hanya air putih, tapi juga rajin mengonsumsi buah pepaya. Ya, pepaya. Ahli nutrisi mungkin bisa menjelaskan unsur apa yang dikandung buah yang tak kenal musim itu. Namun saya membacanya sebagai kode di haluan lain.

Sewaktu cucu Tolstoy, Vladimir Tolstoy, bersama rombongan Museum Seni Moskow datang ke Padepokan Filsafat “Yasnaya Polyana”, Baturaden, Purwokerto, Jawa Tengah, Mei 2011, pepaya adalah buah utama yang disajikan. Bahkan buah ini pula yang menempati ruang yang luas di jok belakang mobil saat rombongan menuju Keraton Yogyakarta. Lantaran berlebih, pepaya yang dibudidayakan sendiri di Padepokan Filsafat Yasnaya Polyana itu dititipkan di Perpustakaan Indonesia Buku. Singkat cerita, pepaya adalah buah untuk kaum bangsawan Rusia. Buah berkelas. Konon, tak sembarang orang makan buah pepaya ini di Rusia. Mungkin seperti buah anggur yang dijajakan di sepanjang jalan Bantul yang harganya paling mahal.

Sport, air putih, dan pepaya. Rahasia bugarnya Martin Aleida. Seorang penulis, seperti halnya Martin, juga sadar dengan kesehatan, agar tak seperti yang dikatakan oleh Arswendo, malu-maluin menuju kubur dengan kaki gempor dan mulut yang menyon karena digempur stroke.

Untuk memungkasi hasil pembacaan saya atas buku Langit Pertama Langit Kedua karya Martin Aleida ini, sehubungan dengan hidup bugar seorang penulis, izinkan saya mengutip paragraf akhir cerita “Wasiat Untuk Cucuku” (hlm 82): “Selama hidupku aku telah menyelesaikan delapan maraton. Orang bilang, sekali ikut dalam lomba lari berjarak 42.195 meter itu, maka serangan jantung akan terhindar selama delapan tahun. Aku percaya aku tidak akan dibunuh serangan jantung. Arswendo, kawanku, bilang betapa malunya nanti kalau mati kena stroke. Aku tak mau menyongsong maut dan merangkak menuju liang lahat dengan kaki gempor dan mulut yang menyon. Aku tak mau seperti itu. Kumau kau masukkan aku ke ruang operasi. Kumau kau masukkan aku ke ruang operasi. Robeklah dadaku, pukulilah jantungku sampai dia berhenti berdenyut. Aku tak peduli, aku ingin mati begitu.” (Selesai)

Martin Aleida 4

Martin Aleida 3

Martin Aleida 2
 

Martin Aleida 1