Si Penjual Warisan

:: gus muh

Percayalah, tempe itu
warisan. Bahkan sumbangan Jawa untuk (seni masak) dunia. Jika tak percaya,
tanyakan kepada sejarawan Onghokham. Pada pergantian alaf ketiga, 1 Januari
2000
di Kompas Edisi Milenium, ia menulis argumentasinya satu halaman penuh bahwa
tempe itu, “daging dari pertanian”, adalah cara orang Jawa yang diolah-kreatif dari Cina untuk menyiasati kepadatan
penduduk dan sistem kerja paksa dengan menciptakan tempe sebagai gizi penolong.

Dalam Encyclopaedia van Nederlandsch Indie (1922) tempe itu
dimasukkan dalam kategori “kue” yang terbuat dari kedelai dan melewati proses peragian yang merupakan makanan kerakyatan (volks voedsel). Tempe menyumbang protein bagi masyarakat dan masih primitif
secara teknologi (diinjak-injak) yang mirip dengan produksi anggur di Eropa.

Tempe yang ditemukan
secara anonim dalam masyarakat ini, oleh Onghokham, disejajarkan dengan
penemuan kretek yang merupakan campuran antara tembakau, cengkeh, dan saos.

Kretek disebut JA Noertjahjo (2000,  h
54) sebagai tonggak bangsa karena sumbangannya bagi kebiasaan masyarakat dan
industri Indonesia abad 20. Disebut-sebut bahwa Sultan Agung, raja Mataram 1613-1945 adalah perokok kelas
berat. Di zaman ini pula muncul kisah Roro Mendut yang menjadi salesgirl rokok abad 17. Rokoklah yang
mempertemukan Mendut dengan Pranacitra di pasar.

Selain tempe dan kretek masih
ada jamu, batik, dan sederetan warisan lain yang merupakan tonggak bangsa.
Semuanya adalah warisan yang disumbang oleh keilmuan masyarakat masa lampau
untuk dunia. 

Daulat
Warisan
 

Banyak memang ragam warisan.
Ada yang bersifat bendawi seperti bangunan arsitektural, arsip,
dan dokumen. Warisan itu juga bisa
nilai-nilai tradisi seperti ritus upacara yang perlahan-perlahan
tersisih, dan goyang-rasa di lidah seperti tempe dan kretek.

Warisan bisa pula
berbentuk sistem politik dan hukum yang melindungi semesta warisan yang ada. Sukarno-Hatta dan sejumlah nama yang
tersebutkan di “buku hitam” Risalah Sidang
BPUPKI-PPKI
(1945) mewariskan bentuk Negara Kesatuan yang berbentuk
“Republik” (daulat kawasan), teks Proklamasi (daulat merdeka yang berdiri di
atas tripanji kemandirian: berdikari secara ekonomi, berdaulat secara politik,
bermartabat secara kebudayaan), dan UUD 1945 (daulat hukum).

Tiga daulat itulah—daulat
merdeka, daulat kawasan, daulat hukum—yang
menjadi pilar utama pelindung semua warisan yang ada dan
menjadi pegangan pemangku pemerintahan yang terus berganti saban waktu. 

Negara Gagal 

Negara yang diatur sebuah rezim yang tak bisa menjaga warisan adalah “negara gagal”.
Ilustrasinya begini. Jika sebuah keluarga atau perusahaan menuju titik bangkrutnya,
maka langkah paling akhir yang dilakukannya adalah menjual warisan yang
dititipkan leluhurnya berupa perhiasan, tanah, surat berharga, dan lain-lain.

Itulah yang kita lihat
dalam 10 tahun terakhir. Satu-satu warisan itu tergadaikan tanpa ada proteksi apa
pun dari pemerintah. Tempe sebagai warisan Jawa untuk dunia sudah lama habis
dikunyah rente yang praktiknya dibiarkan.

Kretek berjuang dengan
napas satu-satu di garis mati untuk segera masuk dalam cengeraman korporasi
multinasional. Alih-alih pemerintah dimintai badannya untuk jadi perisai
warisan ini, malahan pemerintah sendiri mendorong tempe dan kretek ke alun-alun
penjagalan.

Jamu sebagai warisan sumber daya genetika, secara
diam-diam, juga terdorong ke meja jagal korporasi internasional jika diplomasi
pemerintah gagal memberikan perlindungan dari pemangsaan negara-negara
pengklaim paten yang memiliki penguasaan teknologi. Sinyal bahwa jamu dan
warisan sumber daya genetika lainnya terancam terlihat ketika pada tahun
1990-an petani Indonesia yang menanam tanaman herbal dituding perusahaan kosmetik
raksasa Jepang, Shiseido, melanggar paten. Padahal tanaman-tanaman herbal petani
itu lazim dipakai sebagai jamu.

Satu-satu terlepas. Satu-satu warisan tergadaikan. Jika
memang tak punya keberanian moral untuk menginvestasikan dana triliunan untuk
membiayai riset bagi warga-warga berotak cemerlang untuk penemuan-penemuan
penting, ya paling tidak punya kesanggupan minimum, yakni merawat warisan yang
sudah dipunyai.

Tapi yang terjadi tidak demikian.

Pemimpin negara berpesta pora untuk mantenan putera-puterinya di
Istana Rakyat, sementara pusat dokumentasi film dan sastra di mana ekspresi
kebudayaan masyarakat tersimpan hidup sekarat.

Untuk menyelamatkan
politik perkoncoan yang bersembunyi di balik frasa “Pemilu”, pemangku
pemerintah habis-habisan menggarong warisan alam yang ada di perut Republik
tanpa sungkan. KPK bilang dari 45 blok minyak dan gas (migas) yang
beroperasi di Indonesia, 70 persen dikuasai kepemilikan asing. Tiap tahun KPK
mencatat ada Rp 7.200 T dari warisan energi itu dirampok.

Astaga, jangankan
melindungi warisan-warisan yang besar dan luas di lautan dan di perut daratan Nusantara,
menjaga tempe dan kretek saja sudah katiwasan.

Menteri-menteri yang
berwewenang alih-alih bekerja keras mengembalikan daulat “bangsa tempe” ini,
malah segera mundur dari posisinya jika partai memilihnya menjadi calon
presiden dalam sebuah pesta konvensi yang katanya menyaring pemimpin yang
berkualitas menjaga warisan dan mencipta temuan-temuan baru untuk Indonesia
Raya.

Menjaga garis warisan
hijau di hutan Sumatera dan Kalimantan? Siapa yang mau percaya jika menjaga
Museum Nasional yang notabene letaknya berada di hidung penghuni Istana Negara saja
tidak becus. Peristiwa hilangnya artefak leluhur di Museum Nasional bukan sekadar pencurian biasa, namun bisa dibaca sebagai sasmita betapa lemahnya (pemimpin) bangsa
ini merawat dan menjaga warisan yang dititipkan leluhur kepadanya.

Pada akhirnya tempe ini betul-betul mengutuk kita
sebagai bangsa yang terinjak-injak. Lemah menjaga warisan di darat, laut, dan
udara. Krisis kedelai adalah kutukan sempurna yang
kita terima sebagai
“bangsa tempe” yang daulatnya di tubir kebangkrutan.

* Versi Cetak Dimuat Harian Kompas, “Teroka”, 8 Januari 2014, hlm 12, “Daulat Tempe dan Warisan”