Tunapolitik Bawah Air

:: gus muh

Maritimkah visi bangsa di zaman kiwari? TIDAK! Setidaknya uraian di bawah ini menunjukkan bahwa maritim sebagai kebijakan negara sudah mampus; namun tidak sebagai gagasan dan ide dalam komunitas masyarakat.
 
Untuk melihat keberpihakan visi sebuah negara, pertama-tama lihat anggaran belanja keuangannya. Dan di titik itu jangan jantungan jika membaca bahwa anggaran untuk mengurusi dunia maritim yang “katanya” negara yang lautnya lebih luas dari daratannya hanya 16 T ketimbang, misalnya, jatah Departemen Agama dengan anggaran fantastik hampir 50 T. Nasib mengurusi dunia pertanian/peternakan juga sama menyedihkannya, “hanya” dapat 16 T!
 
Artinya, mengurusi agama—yang kata Buya Syafii Maarif diurus oleh departemen paling korup—lebih penting ketimbang mengurusi dunia maritim dan dunia agraris.
 
Borobudur Writers and Cultural Festival yang berlangsung pada 17 hingga 20 Oktober 2013 di Yogyakarta dan Jawa Tengah sebetulnya terang-benderang mengejek bangsa maritim terbesar ini, atau juga bisa dibaca bangsa agraris—karena kedua sebutan itu seperti alamat kesialan yang tak berkesudahan.

Maritim secara faktual hanyalah sampah-sampah yang mendarati pantai di tengah malam, dan bukan sebagai kekuatan budaya dan politik-ekonomi baru. Maritim hanya etalase sail wisata sesaat, namun tak memiliki efek panjang bagaimana mengeksplorasi kehidupan laut untuk kesejahteraan mereka yang menyandarkan hidupnya di tepian air.
 
Cagar Budaya Bawah Air 
Di titimangsa inilah kita melihat ironi kehidupan bawah laut kita. Lupakan dulu soal terumbu karang yang mulai runtuh dan ikan-ikan kehilangan rumah. Coba tanyakan Michael Hatcher sekaya apa dunia bawah air Indonesia.
 
Keberhasilan si Raja Harta Karun kelahiran Inggris ini pada 1985 mengangkat muatan kapal milik VOC, Vec de Geldermarsen, yang karam pada 1750 di Karang Heliputan Riau, mengagetkan pemerintah, betapa kayanya kehidupan bawah air dari sisi “harta karun”. Saat itu, keramik-keramik dari Dinasti Ming dan 225 batang emas lantakan yang dijarah Hatcher dan dilelang di Amsterdam seharga USD 17 Juta.
 
Dalam catatan Surya Helmi (2013: 389-396), penjarahan sukses Hatcher itu yang menjadi embrio pemerintah via Direktorat Jenderal Kebudayaan membuat Subdit Peninggalan Bawah Air. Harapannya, selain mendapatkan “harta karun” kapal karam, juga menghidupkan arkeologi bawah air.
 
Sebab di Nusantara, spot kapal karam luar biasa banyak jumlahnya. Sejarawan Cina mencatat antara abad X hingga abad XX setidaknya 30 ribu kapal Cina berlayar ke Nusantara dan tak pernah kembali. UNESCO mengeluarkan perkiraan yang lebih mencengangkan lagi bahwa ada 3 juta kapal karam.
 
Dari Inggris kita memiliki data antara tahun 1600 hingga 1800 setidaknya 7000 kapal milik English East India Company (EIC) terjengkang di dasar laut Nusantara. Dari Lisabon ke perairan Asia Tenggara sekira 150 dari 800 kapal Portugis hilang tanpa jejak pada tahun 1650. Adapun maskapai dagang Belanda VOC menyebutkan sekira 290 kapalnya terjungkat di bawah perairan Indonesia.
 
Sebanyak itu kapal karam mestinya Indonesia mendapatkan kekayaan yang melimpah-limpah dan sekaligus kehidupan bawah air bisa menjadi medan pengetahuan baru bagi arkeologi di Indonesia. Dan fakta berbicara, Indonesia tak dapat dua-duanya.
 
Malahan Hatcher sukses kembali melakukan pengangkatan muatan kapal Tek Sing pada 1999 di perairan Kepulauan Bangka dengan nilai ekonomi 500 miliar yang tentu saja dibekingi oleh oknum-oknum jenderal. Sementara Indonesia yang melakukan percobaan yang sama tak mendapatkan apa-apa.
 
Alih-alih mendapatkan “harta karun”, Direktorat Peninggalan Bawah Air justru dikerdilkan dalam induknya, Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, khususnya bagian Eksplorasi dan Dokumentasi. Alasannya, “arkeologi” bawah air terlampau mahal dan “menggerogoti” keuangan negara.
 
Tunapolitik 
Dengan lepas tangannya pemerintah atas dunia bawah air menegaskan satu hal dunia bawah air menjadi dunia liar tanpa intervensi politik apa pun. Saya menyebutnya tunapolitik bawah air.
 
Padahal UU RI No 11/2010 menegaskan bahwa cagar budaya itu tak hanya ada di darat saja, di babawah air pun ada. Dan apa yang ada di bawah air yang disebut sebagai “harta karun” itu adalah sesungguhnya cagar budaya.
 
Dari cagar budaya bawah air sesungguhnya kita bisa belajar tentang jejak bahari di Nusantara. Dari jenis kapal-kapal yang karam kita bisa melacak lalu-lintas perdagangan dan pelayaran yang terjadi ratusan abad silam. Dan tentu saja ini berguna bagi pengetahuan yang betul-betul baru, terutama dalam hal arkeologi bawah air dan sejarah bahari.
 
Tapi di sinilah soalnya. Kita ini adalah pedagang yang serakah dan tak mau mengeluarkan modal yang banyak sebagaimana yang dilakukan Hatcher yang memiliki kapal super canggih yang bisa mendeteksi seluruh muka dasar laut Indonesia. 

Tak pernah bisa mengangkat harta-karun yang digadang-gadang bisa memberi dan memenuhi pundi-pundi, akhirnya berputus asa. Lupa bahwa ini bukan sekadar soal ekonomi tinggi pengangkatan kapal karam, namun ini soal arkeologi dan pelestarian cagar budaya Indonesia di bawah air.
 
Lengkaplah sudah! Di daratan kita tak berdaya dengan perangkap impor pangan di hampir seluruh aspek serta hanya bisa melihat dengan mata nanar tanpa daya hancurnya situs-situs purbakala. Di atas air kita juga kehilangan daya menyejahterakan nelayan di pulau-pulau yang panas dan kian sunyi. Adapun di bawah air kita betul-betul tunapolitik; tak punya kuasa apa-apa selain bahwa secara administratif ia berada dalam kawasan politik negara Kesatuan Republik Indonesia.

* Dimuat Koran Tempo 24 Oktober 2013, hlm A 11