Mas Marco Kartodikromo – Student Hidjo 3

Diskriminasi ras adalah soal gawat bagi Marco. Terutama ras dalam konteks politik kewarganegaraan. Marco, sebagaimana juga guru jurnalistiknya, Tirto Adhi Soerjo, bersikap bahwa sistem kewarganegaraan yang dibuat pemerintah kolonial bersifat rasis dan mestilah dilawan.
 
“Indische Staatsblad Regering” adalah konstitusi kewarganegaraan kolonial yang dibuat pada 1825. Konstitusi yang kemudian direvisi pada 1854 menjadi “Regering Reglement” ini membagi stratifikasi masyarakat berdasarkan ras. Yang menarik adalah tafsir Dhaniel Dhakidae (2005) atas stratifikasi konstitusi kewarganegaraan ini. Penguasa kolonial mengabaikan sama sekali bahwa “buitenlander” atau “buitenstaander” merupakan antonim dari frasa “inlander”.
 

Bagi Daniel, “lawan kata” dari inlander dalam konstitusi itu adalah orang-orang dari Timur (vreemde), bangsa Asia. Termasuk dalam sebutan itu adalah orang-orang (peranakan) India, peranakan Arab, dan peranakan Tionghoa yang memang menjadi warga kelas dua dalam struktur kolonialisme di Hindia. Dalam lembar hukum Hindia Belanda, mereka disebut “vreemde oosterlingen” (Timur Asing) dan bukan “vreemde westerlingen” (Barat Asing). Walau ibu atau bapak mereka orang Indonesia asli dan lahir serta mengadopsi budaya Indonesia sepenuhnya, hukum Belanda tetap memperlakukannya sebagai bangsa asing. 

Salah satu klausul aturan itu adalah mereka harus tinggal dalam satu wilayah yang telah ditentukan oleh pemerintah kolonial Belanda dan jika ingin keluar dari kawasan tersebut diwajibkan membayar pas jalan (Passen en Wijen Stelsel). Dengan pola demikian itu, pemerintah Belanda tetap kukuh bercokol sebagai penguasa di tanah Hindia Belanda. 

Mereka bebas tanpa terganggu oleh kategorisasi politik warga antara “inlanderdan vreemde oosterlingen”. Mereka, dalam kata-kata Daniel Dhakidae: “Penguasa (Belanda) adalah orang-dalam namun bukan inlander, dia orang-luar namun bukan asing.”
 
Karena bersifat rasis, maka Tirto Adhi Soerjo kemudian mengajukan tesis baru politik kewarganegaraan dengan membagi masyarakat menjadi dua kubu: “bangsa terprentah” dan “bangsa memrentah”. Pembagian ini tak ayal memasukkan pemerintah kolonial dalam konfrontasi.
 
Di roman Student Hidjo, pengaburan distingsi dan pembeda kelas antara boemipoetra dan bangsa Eropa berkali-kali dilakukan Marco. Mula-mula saat kapalapi Gunung yang membawa Hidjo ke Amsterdam transit di Sabang, Sumatera, setelah sepekan perjalanan dari Tandjung Priok, Batavia. 

Dua nona dan satu nyonya berkebangsaan Eropa mengajak Hidjo jalan-jalan ke bukit melihat panorama. Hidjo berjalan di antara ketiganya bukan sebagai jongos, melainkan sebagai pemuda terpelajar dan setara. Bahkan salah seorang dari nona itu, Anna namanya, kesengsem dengan pribadi Hidjo. Anna manjanya aduhai, namun Hidjo tetap menjaga “kesopanannya”. Bahkan Hidjo hanya tersenyum ketika Anna dengan bercanda menyebutnya “orang Jawa dan bodoh”.
 

Kesadaran Hidjo bahwa Jawa dan Eropa itu sederajat terbuka makin lebar sewaktu ia turun dari kapal Gunung di Amsterdam. Hidjo merasa dalam pedalamannya terbebas dengan luar biasa oleh karena mulai saat itu Hidjo bisa memerintah orang-orang Belanda, di mana jika di Hindia kebanyakan orang-orang itu sama besar kepala. (SH, 58)
 
Persamaan berdasarkan ras sebagai manusia diperlihatkan lagi oleh Marco di rumah Piet, saudara Leerar Karel, guru HBS yang membawa Hidjo ke Belanda. Piet adalah direktur salah satu maatschappij di Den Haag di mana di rumah ini Hidjo tinggal. Di rumah induk semangnya itu, Hidjo berkenalan dengan dua orang anak gadis Piet. Bahkan salah satu dari keduanya, Betje, jatuh cinta dengan Hidjo. Dialah, sesuai pergaulan Eropa, yang “menembak” Hidjo terlebih dahulu.
 
Tanpa beban, Marco menempatkan Hidjo dalam budaya Eropa. Bukan sebagai jongos atau inlander yang menyembah-nyembah, melainkan setara sebagai manusia yang dikarunia akal dan status sebagai orang Jawa terpelajar dan cakap pikiran. Hidjo tidak mengalami “gegar budaya” ketika berada dalam ekosistem bangsa yang begitu raksasa di tanah kebangsaannya di Hindia. Alih-alih shock, malah ketika ditanyakan Betje, “Apakah Tuan tidak lebih senang makan makanan Jawa?” Inilah jawaban Hidjo yang ambivalen: “Nee, tidak! Saya lebih senang makanan Eropa!” (SH, 68)
 
“Apakah Tuan suka makanan cara Belanda?”
 

“Suka,” menjawab Hidjo dengan pendek dan sedikit tertawa.
 

“Sebab kalau Tuan tidak suka makanan cara Belanda, ada susah, sebab makanan cara Jawa di sini mahal harganya, dan saya sendiri tidak bisa masak cara Jawa,” begitu tuan rumah meneruskan perkataannya. (SH, 61)
 
….
 
“Ah, Ma!” kata pula Betje (anaknya perempuan yang tua), “Nasi goring itu enak, saya pernah makan di warung Jawa.”
 

“Ah, kamu, suka sekali sama makanan Jawa,” menjawab mamanya serupa mempermalukannya.
 

“Memang saya suka sekali makanan Jawa,” menjawab pula Betje, dan tertawa sambil matanya yang putih itu memperlihatkan Hidjo terlalu tajam. (SH, 62)
 
Marco bahkan “memperalat” Betje sebagai pihak yang memiliki minat yang besar terhadap Jawa. Mula-mula soal kuliner tentu saja: “Saya suka sekali makanan Jawa, sebab saya tempo-tempo kalau makan bakmi ada di Indische Restaurant atau warung Jawa, saya merasa itu makanan lebih enak daripada kentang biefstuk yang kita makan ini.” (SH, 69)
 
Di luar perkara kuliner, Betje bahkan “diperalat” Marco untuk relasi kesetaraan yang lebih besar, yakni soal warna kulit yang sekaligus politik kewarganegaraan. Menjadi jelas pula kemudian mengapa Marco memberi nama tokoh-tokohnya dengan nama-nama warna: Hidjo, Woengoe, Biroe.
 
“Tuan Hidjo,” bertanya Betje, “Senang manakah Tuan, jadi orang Hindia daripada jadi orang Belanda?”
 

“Ben je gek, Bet!” kata mamanya serupa marah, apabila mendengar perkataan anaknya.

“Nee, Mevrow! Kalau saya punya kulit bisa menjadi putih, seperti orang-orang Belanda, memang saya suka jadi orang Belanda,” kata Hidjo dengan keberaniannya.
 

“Tetapi dari sebab kulit saya ini bruin (merah tua), baiklah saya jadi orang Hindia saja.”
 

“Kulit merah! Saya punya pemandangan kulit merah itu bagus … kulit merah itu faiaaaiiin,” seru Betje. (HS, 69-71)
 
Bagi Marco, sosok Betje adalah mata batin Eropa yang tercerahkan. Dari Betje pulalah Marco mengenal sosok Faust dalam sebuah opera di Koninklijke Schouwburg. Hidjo bahkan mengidentifikasi dirinya dalam sosok Faust yang gila belajar. 

Faust adalah sosok yang senang tinggal dengan buku-buku ketimbang hidup bersama perempuan. Nasib naas justru menimpa Faust tatkala di usia senjanya dia jatuh cinta kepada seorang perempuan yang sudah menjadi istri orang. Untuk mendapatkan perempuan itu, Faust menempuh segala cara, termasuk mengundang iblis masuk dalam hidupnya.
 
Agar Hidjo tak menjadi seperti Faust, Betje sekali lagi mengajak Hidjo menonton Lili Green di Prinsesse Schowburg. Sebuah pertunjukan tarian setengah telanjang. Ini adalah siasat Betje menjerat Hidjo. Tapi bagi Hidjo, ini adalah jalan masuk baginya melihat Eropa hingga ke pedalaman kulit arinya. Percintaan Betje dan Hidjo di Hotel Scheveningen usai menonton Lili Green dijadikan Marco sebagai titik balik bahwa Jawa mestilah dibebaskan dari inferioritasnya yang akut.
 
Dengan cara-cara Jawa, puasa yang ketat di sebuah hotel kecil di Amsterdam, Marco menuntun Hidjo menjadi seorang kluisenaar. Pembersihan jiwa ala pandita Jawa itu dilakukan Hidjo di pusat kekuasaan kolonial untuk secara perlahan menghindari bahaya amoral yang memerangkapnya.
 
“Saya mesti pulang kembali ke tanah Jawa. Sebab kalau saya terus belajar di negeri Belanda sini, barangkali tidak jarang tidak jarang kalau saya terus keterusan jadi orang Belanda, karena saya kawin dengan seorang nona Belanda. Kalau saya meninggalkan sanak family dan bangsaku … Bah!” (SH, 131-132)
 
Selain Betje, ada sosok “bangsa asing” lain yang dipakai Marco untuk “menjelaskan” watak bangsa Jawa dan bangsa Hindia lainnya. Namanya Controleur Walter, inspektorat di Kabupaten Jarak. Selain tergila-gila dengan perempuan Jawa yang cerdas, Raden Ajeng Woengoe, Walter juga memiliki apresiasi terhadap budaya Jawa. “Saya suka sekali itu adat istiadatnya orang Jawa, baik perkara kesenangan tau hal lainnya… Saya lebih suka melihat tandak daripada melihat orang dansa.” (SH, 95-96)
 
“Tandak” adalah simbol Jawa, sementara “dansa” adalah Eropa. Ketika Controleur Walter meminta kepada putera Bupati Jarak Raden Tumenggung, Raden Mas Wardojo untuk berpakaian ala Jawa, sebagaimana tertulis di hlm 97, itu bisa kita baca sebagai siasat Marco memperlihatkan Jawa dan Hindia tak boleh merunduk terlampau-lampau kepada Eropa. Paling tidak dalam budaya kreatif seperti kuliner dan seni.
 
Muncul dugaan bahwa Walter bersikap “membela budaya Jawa” lantaran mengambil hati Woengoe. Dalam Student Hidjo, Walter memang diceritakan gagal merebut hati Woengoe dan sekaligus mencampakkan tunangannya sesama bangsa kulit putih, Jet Roos. Patah hati tak berarti Walter berubah sikapnya atas Hindia. Hal itu bisa dibaca saat Walter mengambil verlof selama satu tahun. Di kapal, Walter bertemu dengan Sersan Djepris yang hendak meneruskan sekolah militer di Belanda. Mereka pun terlibat dalam debat sengit tentang tanah Hindia dan dan orang-orangnya. Sersan Djepris adalah tipikal orang Belanda yang hanya ingin mengeruk harta Hindia, tapi menista orang-orangnya. Walter dalam situasi ini tampil sebagai pembela yang sangat gigih.
 
Sersan Djepris berkata: “Orang Jawa kotor, orang Jawa bodoh, orang Jawa malas, orang Jawa tidak beeschaafd. Pendeknya, orang Jawa atau orang Hindia itu suatu bangsa busuk sendiri.”
 
“Saya heran sekali, Tuan seorang Belanda yang telah sepuluh tahun ada di Hindia berani berkata begitu,” menjawan controleur dengan sabar. “Apakah Tuan tidak malu mengucapkan itu perkataan? Bagaimanakah Tuan bisa berkata serupa itu, sedang Tuan sendiri bisa hidup senang ada di Hindia? Lagipula, berapa ribu bangsa kitakah yang mencari hasil di Hindia? Perkataan Tuan itu suatu tanda bahwa Tuan seorang yang tidak mempunyai kemanusiaan.”
 

 
“Tuan berkata orang Jawa kotor, tetapi Tuan toh mengerti juga bila ada orang Belanda yang lebih kotor daripada orang Jawa?” (SH, 180-181)
 
Marco tahu betul risiko menulis dan mempropagandakan persamaan ras Hindia dan Eropa ini sebagai sesama manusia. Student Hidjo yang ditulisnya dalam penjara Weltevreden ini justru diakibatkan oleh serial tulisannya “Sama Rata, Sama Rasa” yang menjadi teks legendaris dalam sejarah pergerakan. 

Simak kutipannya, sebagaimana dimuat ulang di halaman muka Sinar Djawa, 16 April 1918:
 
PERTJAJA dan BERANI! Kita berperang soeara itoe hanya minta hak kita kemanoesiaan yang telah dihilangi oleh orang2 yang menerkam kita, ja dihilangi kata saja, sebab Pemerentah kita sengadja membikin perbeda’an kita anak Hindia dengan bangsa Europa jang ada di tanah aer kita. Soedah tentoe sadja lantaran perbeda’an itoe kita anak Hindia tidak mempoenjai kekoeatan seperti orang orang Europa.
 

Lantaran kekoeatan kita dihapoeskan oleh pemerentah kita itoe, kita selaloe diindjak-indjak oleh moesoeh-moesoeh kita mentjari pengidoepan. Tidak perloe saja beberkan di sini tentang perbeda’annja bangsa Europa dan kita anak Hindia itoe, sebab kalau orang jang bisa melihat dan mendengar keada’an di dalam doenia kita ini, tentoe mengerti perbeda’an kita itoe.
 

Kalau orang orang jang mendjadi wakilnja Regeering berhati soetji dan mempoenjai kemanoesiaan, soedah tentoe mereka itoe tidak takoet bersaingan mentjari pengidoepan dengan kita orang anak Hindia. Boekankah kita anak Hindia ini soeatoe bangsa jang mashoer diseloeroeh doenia tentang kebaikan kita.

Mas Marco Kartodikromo – Student Hidjo 1


Mas Marco Kartodikromo – Student Hidjo 2


Mas Marco Kartodikromo – Student Hidjo 4

Mas Marco Kartodikromo – Student Hidjo 5