Plagiator Tak Ada Matinya

:: gus muh

Sebagaimana dosa yang selalu membuti
manusia hingga akhir hayatnya, godaan plagiarisme juga selalu menempel dalam
praktik kreativitas seorang “bangsawan fikiran”. Anggito Abimanyu, sang
“bangsawan fikiran” yang mundur sebagai lektur di Universitas Gadjah Mada pada
pekan kedua Februari 2014 bukan akhir dari sejarah plagiarisme yang terungkap.
Dan sebagaimana dosa, praktik plagiarisme yang dilakukannya hanya heboh sesaat
dan setelah itu dilupakan kembali.

Dosa 
plagiarime bukan hukuman mati bagi pelaku kreativitas. Semuanya bisa
diatur, semuanya bisa dimaklumi. Paling tidak untuk semua kasus plagiarisme di
Indonesia, masyarakat memberikan pemakluman yang sangat tinggi. Lini masa
plagiarisme Indonesia setidaknya bisa dijadikan acuan atas tesis itu.

Chairil Anwar yang dituduh melakukan
plagiat pada tahun 1949 atas puisi Andre Gide. Dan itu dosa biasa saja yang
sekaligus menunjukkan bahwa Chairil bukan malaikat. Karena itu, namanya tetap
menjulang dan terhormat dalam cakrawala puisi Indonesia. Bahkan tiap tahun Lekra
dan PKI memperingati 28 April sebagai Hari Sastra Indonesia.
Chairil tak sendiri. Pada 1962, nama Hamka
hampir rontok oleh kasus plagiarisme yang dituduhkan Lekra atas romannya Tenggelamnya Kapal v.d. Wyjk. Dan
tampaknya plagiarisme itu hanya dosa semasa. Pada masa yang lain, rezim yang
lain, Hamka justru ditunjuk menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia. Bahkan buku
yang dituduhkan plagiat itu, oleh masa dan generasi yang lebih baru, di-fetish-kan menjadi sebuah film dengan
penonton yang luar biasa banyaknya.
Yahya Muhaimin nasibnya sama dengan Hamka.
Setelah gempor dengan tuduhan plagiarisme pada 1992 atas tesis doktoralnya MIT
Cambridge, AS, 1982, “Indonesian Economic Policy 1950­1980: The Politics of
Client Businessmen”. Tesis yang kemudian diterbitkan LP3ES pada 1991 dengan judul
Bisnis dan Politik itu dituding Ismet
Fanany sebagai plagiat yang dijiplak dari karya Lance Castles, Gibson, Sutter, dan
Robison.
Sepuluh
tahun setelah kasus penjiplakannya lewat, Muhaimin mendapatkan jabatan mulia sebagai Menteri Pendidikan Nasional di masa
pemerintahan Abdurrahman Wahid. Mirip-miriplah dengan residivis korupsi yang comeback dalam
jabatan publik di pemerintahan.

Di lingkungan universitas hukuman paling
berat bagi plagiator adalah dicopot gelarnya. Nasib apes ini didapatkan Amir
Santoso (1997, FISIP UI membatalkan gelar doktornya), Ipong S Azhar (2000, UGM
mencabut gelar doktornya setelah ketahuan mencuri kutipan skripsi Nurhasim),
Zulfan Heri (2000, Universitas Riau, merampok tesis Sri Nilawati), dan Dr M Nur
MS (2004,  Univ Andalas, Padang,
menjiplak skripsi Boby Hendry).
Selain itu, kasus rampok-merampok ini juga
menimpa Sri Woro B Harijono (2008), Mochamad Zuliansyah (2010, gelar doktornya
dicabut ITB), Profesor Anak Agung Banyu Perwita (2010, Universitas Parahyangan
Bandung).
Barangkali salah satu yang mewakili
plagiarisme teknis sekaligus plagiarisme bentuk lain (plagiarism of authorship) adalah kasus Ketua Fraksi Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB) DPR RI, Marwan Jafar, yang tak hanya memakai ghost writer untuk menulis artikel
energi di Koran Tempo (13 Januari
2012), tapi juga si penulis hantu memplagiat tulisan mahasiswa dari Makassar. 
Plagiarisme Institusional

Masih ada sederet panjang kasus plagiat
yang kecil-kecil dari pelbagai ranah yang tak usah disebutkan di sini. Tapi
paling tidak, kasus plagiarisme yang paling banyak direndengkan adalah
plagiarisme yang bersifat teknis: mengambil sebagian atau seluruhnya tulisan
tanpa menyebutkan sumber dan mendakunya sebagai gagasan-tulisnya sendiri.
Sifatnya personal.

Ada plagiarisme yang lain, yang lebih
struktural, dan bersifat massif. Yakni, ”plagiarism
of authorship”
, yaitu pencurian terang-terangan dan tinggal menempel nama
pada suatu karya.
Pendapat Brian Martin dari American  Historical Association yang dikutip Dhakidae
(2008) ini menunjuk pada modus operandi ghost
writing
dan speech writer. Dan
praktik plagiarisme ini bisa dinisbatkan pada seorang lurah, camat, bupati,
gubernur, menteri-menteri, hingga presiden.
Plagiarisme jenis ini, bukan hanya
dimaklumi, melainkan tidak pernah dipersoalkan masyarakat sebagai praktik
plagiarisme. Malahan, tulis Dhakidae, para penulis hantu dan penulis pidato ini
tidak hanya menikmati keuntungan finansial yang berlimpah, malainkan bisa
bekerja di jabatan-jabatan terhormat di pemerintahan.
Memang yang agak apes adalah plagiarisme
teknis. Mendapatkan makian sesaat di sebahagian kecil masyarakat di lembar pers
atau media sosial, namun satu dua bulan “dosa”nya sudah bersih dari memori.
Catatan dosa si plagiator hanya abadi di mesin pencarian internet, tapi dalam
kehidupan sosial yang nyata namanya kembali membaik. Hidup normal.
Beginilah masyarakat Pancasila ini
memperlakukan setiap pendosa dari “bangsawan fikiran”. Mereka pemaaf, bukan
hanya kepada plagiator, tapi juga algojo pembantai manusia saudaranya sendiri.
Bagi masyarakat, jadilah pendosa apa saja, plagiator, koruptor, penculik dan pembunuh massal, asal jangan
dua dosa ini: menjadi penganut paham Ahmadiyah atau Syiah dan memberikan persetujuan dengan paham
komunis. Demikian.
[NOTE: Lini masa selengkapnya kasus plagiarisme di Indonesia 1949-2011, silakan baca di bagian penutup buku “Aku Mendakwa Hamka Plagiat: Skandal Sastra Indonesia 1962-1964)”]