Sepak Bola dan Karnaval

:: gusmuh 

Ketika Brasil menjadi tuan
rumah pagelaran Piala Dunia 2014, sebetulnya mengembalikan sepak bola sebagai
sebuah karnaval. Secara endemik, Brasil adalah bangsa karnaval. Dalam penulisan
sejarah sosial masyarakat, karnaval dan sepakbola adalah dua entri yang tak
boleh luput dari bab pembahasan. Keduanya adalah energi kreatif — pinjam
istilah Michail Bakhtin — yang membuat Brasil mengada.  
Dalam karnaval, kata, gambar,
suara ada dalam satu irama. Tak ada ras yang lebih tinggi dari ras lainnya. Tak
ada pembeda laki dan perempuan. Kanak-kanak dan orang dewasa memiliki posisi
yang sama dalam karnaval. Si bajingan dan si terhormat duduk/berdiri
berdampingan. Semua individu hilang/menyatu dalam kebersamaan. Tawa dan hirarki
sosial melebur, suara-suara dan makna yang berlainan membaur tanpa batas.
Ketika mempresentasikan
tradisi karnaval masyarakat Brasil, Roberto da Matta dalam Carnivals, Rogues, and Heroes (1991) menulis: “Pada akhirnya
karnaval adalah nyanyian. Lewat lagu yang dinyanyikan bersama setiap orang, baik
si bajingan dan si terhormat,
mendapatkan posisi yang setara dan saling memahami satu dengan lainnya. Dalam
karnaval ketakutan menyingkir dan digantikan kreativitas komunal.”

Tak heran kemudian, frase
“samba” menjadi ikonik bagi Brasil; bukan saja dalam nyanyian dan
tarian, tapi juga identitas sepak bola. Sepak bola adalah panggung kehidupan
untuk menunjukkan kesenangan dan kegembiraan bersama. 
Tawa yang menjadi salah
satu ciri karnaval lahir dari tubuh yang kolektif, perasaan yang terbuka pada
dunia selingkungannya.
Dalam sastra, semangat
karnaval diwakili Rabelais yang membedakannya dengan Shakespeare. Ciri sastra
bersemangat karnaval adalah tidak diakhiri dengan kematian (bad ending), melainkan dengan permulaan
baru yang penuh semangat. Tak ada kekalahan yang abadi, tak ada kesedihan yang
berumur lebih dari tiga hari. Kekalahan dan kesedihan selalu melahirkan
kesenangan yang baru.
Semangat karnaval ini yang
menjadi sumber daya batin (SDB) masyarakat Brasil yang dibagi kepada dunia.
Termasuk kepada Indonesia dalam banyak formulasi. Salah satunya yang terakbar
adalah Jember Fashion Carnaval yang digerakkan Dynand Fariz tiap warsa dan
menjadi energi kreatif baru di Indonesia. JFC ini adalah pribumisasi dari
arak-arakan di jalanan kota Rio de Janeiro yang menautkan kostum, musik, dan
tarian dalam satu gelombang bersama karnaval.
Karnaval dan Resolusi Konflik
Suku bangsa yang memiliki
akar karnaval yang kuat imun terhadap konflik horisontal yang berlarat-larat,
berlarut-larut. Karnaval, sekali lagi meminjam istilah Bakhtin, sesungguhnya
adalah ruang dialog yang diciptakan masyarakat lewat penanda-penanda kultural
seperti nyanyian, tarian, warna, dan suara. Karena itulah karnaval/arak-arakan
memiliki dua fungsi penting dalam masyarakat: perangsang terus-menerus
kreativitas kolektif dan jalan resolusi konflik.
Beberapa pekan sebelum
perhelatan Piala Dunia dilangsungkan, protes yang menyulut panah api di jalanan
berlangsung marak. Seperti tampak di sekitaran Estadio Nacional Mane Garrincha
di Kota Brasilia, Sao Paulo, dan Rio de Janeiro. Namun protes yang
dikhawatirkan membesar itu perlahan-lahan memuai bersamaan dengan dibukanya
karnaval akbar sepak bola. Dalam ketegangan posisi itu sepak bola yang berbasis
karnaval itu meregangkannya dengan dialog kultural. Sepak bola adalah bentuk
mistika dari dialog kultural itu sendiri.
PSSI yang terpecah, lebih
senang berkelahi ketimbang merancang prestasi yang membanggakan selama hampir
lima tahun justru rujuk dan mengambil ancang-ancang bersatu di Solo. Resep
Walikota Joko Widodo sederhana: lewat arak-arakan/karnaval. Para pengurus sepak
bola itu diarak dengan nyanyian, tarian, dan kostum budaya menuju arena
pertemuan. Tindakan kultural itu yang dicatat Kronik Indonesia sebagai momentum
awal dan terpenting rujuk nasional PSSI pada Maret 2013.
Ambiguitas
Karnaval
Sebagaimana Brasil,
semangat arak-arakan/karnival sebetulnya adalah jiwa endemik masyarakat
Nusantara yang dipertunjukan lewat beragam upacara. Tradisi arak-arakan itulah
yang kemudian direvitalisasi menjadi energi kreatif terkini dalam bentuk
puluhan festival yang dipagelarkan tiap tahun; mulai dari Sabang/Aceh hingga
Raja Ampat/Papua.
Festival bergenre tradisi kita temui di Sekaten di
Yogyakarta dan Solo; Festival Singkawang di Kalimantan Timur; Festival Bau
Nyale – Putri Mandalika di Lombok; Festival Pasola di Sumba, Nusa Tenggara
Timur; Festival Legu Gam di Ternate, Maluku Utara; Festival Budaya Danau
Sentani di Papua; Festival Budaya Lembah Baliem di Papua; Festival Budaya Asmat
di Papua; Festival Erau di Kutai, Kalimantan Timur; Festival Krakatau di
Lampung; Festival Danau Kalimutu di Flores Nusa Tenggara Timur; Festival Danau
Toba di Sumatera Utara; Festival Danau Batur di Bali; Karnaval Kuta di Bali;
Festival Tabot di Bengkulu; Festival Tana Toraja di Sulawesi Selatan.
Tak hanya di darat, di air pun pun festival dan karnaval
digelar, antara lain Regatta International di Sabang, Aceh; Festival Tidore di
Maluku Utara; Festival Pantai Jailolo di Halmahera Barat, Maluku Utara;
Festival Pantai Ambon di Maluku; Festival Teluk Palu di Sulawesi Tengah;
Festival Sandeq Race di Sulawesi Barat; Festival Pasar Terapung Borneo di
Kalimantan Selatan; Festival Budaya Danau Sentani di Papua; Festival Bawah Laut
Raja Ampat di Papua Barat; Festival Baleo, di Lamalera, Nusa Tenggara Timur;
Festival Danau Toba di Sumatera Utara; Festival Danau Batur di Bali; Festival Sungai
Musi di Palembang, Sumatera Selatan, serta sejumlah karnaval pemancingan yang
dilakukan di pelbagai spot pantai di Indonesia seperti Sail Bunaken di Menado,
Sail Komodo di Nusa Tenggara Timur, Sail Wakatobi di Sulawesi Tenggara, dan
Sail Banda.
Daftar panjang festival itu masih bisa ditambahkan. Namun
satu hal yang meyakinkan kita bahwa spirit
karnaval adalah jalan kolektivitas, kebersamaan yang menumbuhkan kreativitas. Sepak
bola adalah salah satu bentuk festival yang patut ditambahkan.  
Namun itu tadi, karnaval sebagai sebuah proses sosial
yang longgar memiliki ambiguitasnya tersendiri. Ia bisa menjadi kekuatan
perusak yang dahsyat bila tak ditangani secara baik. Kronik kerusuhan dan
kematian yang melekat dalam sejarah sepak bola di dunia adalah bukti tak
terbantahkan dari ambiguitas karnaval itu.
Daya ambiguitas karnaval
sepak bola itulah yang disimbolkan oleh kehadiran aparat keamanan yang berdiri
di garis antara penonton dan pemain dalam sebuah stadion. Posisi mereka berdiri
pun ditata untuk selalu menghadap ke arah penonton; dan dalam situasi darurat
mata kaki mereka mengawasi peserta karnaval yang bertanding di lapangan hijau.
Demikianlah kultur
arak-arakan/karnaval itu lahir dari rahim masyarakat dalam pelbagai panggung
sosial; namun sekaligus menghadirkan aparatus negara untuk mengantisipasi
letupan ambiguitas yang lahir dari energi massa dalam karnaval itu sendiri.