Ilusi Koalisi Permanen

JIKA Prabowo Subianto mampu merealisasikan praktik politik “koalisi permanen” yang dideklarasikannya bersama PKS, PAN, Gerindra, Golkar, PPP, dan PBB, maka ia menjadi suksesor terbesar dalam sejarah politik nasional. Bahkan bisa dipastikan ia figur lebih besar dari Sukarno, si pemahat gagasan besar persatuan nasional di mana ide itu pernah diolok-olok sekondannya Hatta sebagai per-sate-an nasional.

Secara genealogis, tak ada satu pun koalisi yang permanen di panggung politik nasional. Segera setelah Pemilu 29 September 1955, Ketua PKI DN Aidit mewacanakan koalisi “persatuan dan perdamaian” yang terdiri dari PNI, NU, PKI, dan partai-partai gurem pendukung Sukarno. Kita tahu kemudian koalisi “persatuan dan perdamaian” itu saling bergesekan dengan keras di sidang-sidang konstituante. Koalisi itu hancur lebur bersama-sama dengan dibeslahnya Dewan Konstituante oleh Sukarno dan Nasution.

Manifesto Politik lalu diluncurkan Presiden Sukarno bersamaan dengan pembentukan koalisi baru yang permanen pada 17 Agustus 1959. Koalisi permanen ala Sukarno itu dinamakan “Front Nasional” dan dikukuhkan dengan beleid Perpres No 13 Tahun 1959.

Dalam buku AlmanakLembaga-lembaga Negara dan Kepartaian (1961) dirinci Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Front Nasional. Selain unsur pemerintah, unsur-unsur yang bergabung dalam “koalisi permanen” ini adalah tokoh-tokoh penting perwakilan dari PNI, Partai NU, PKI, PSII, dan TNI.

Sukarno membuat Front Nasional ini sebagai lembaga bayangan yang “mendampingi” kerja parlemen sementara (MPRS dan DPR Gotong Royong) pasca bubarnya Dewan Konstituante. Front Nasional ini mirip partai-dalam-partai dengan susunan kepengurusan dari pusat hingga ranting dengan tiga tujuan utama: “(1) menjelesaikan Revolusi Nasional Indonesia; (2) membangun semesta untuk mentjapai masjarakat adil dan makmur; (3) mengembalikan Irian Barat kedalam wilajah kekuasaan negara Republik Indonesia”.

Koalisi ala Front Nasional ini langsung di bawah komando Presiden Sukarno dengan pendanaan—lagi-lagi tak ubahnya partai—didapatkan dari pemerintah, uang pangkal yang disetor partai atau lembaga koalisi, uang iuran, dan sumbangan-sumbangan yang sah dan halal.

Sekilas tak ada yang aneh dalam koalisi besar dan permanen ini. Apalagi kita tahu Sukarno sudah menggelontorkan gagasan Persatuan Indonesia kala usaianya masih muda pada tahun 1926 saat ia merilis pertama kali salah satu artikel paling pentingnya di Soeloeh Indonesia Moeda: “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme”. Artikel inilah yang menjadi sumur genealogis lahirnya akronim Nasakom (Nasional, Agama, Komunis) dalam lingua-franca politik nasional yang diwujudkan dalam sebuah koalisi struktural “Front Nasional”.

Jadi, Front Nasional dan Nasakom adalah impian besar Sukarno yang nyaris utopis. Sebab kita tahu, betapa repotnya kemudian Sukarno mengatur gesekan-gesekan dalam koalisi permanennya ini. Terutama kubu komunis dan agama yang berseteru nyaris setiap hari. Ditambah lagi unsur tentara yang pendiam dan selalu menunggu dengan sabar untuk mendapatkan tempat.

Dalam Front Nasional itu Sukarno adalah bandul besar. Tapi bandul itu, sebagaimana hukum besi perubahan, pastilah karatan dan rapuh di makan usia. Tahun 1965, ketika Indonesia menyongsong tahun-tahun yang menyerempet bahaya, vivere pericoloso, narasi besar koalisi permanen Front Nasional berakhir tragis dan memilukan. Anggota-anggota koalisi tak hanya bersimpang jalan, tapi melibatkan diri dengan agresif memusnahkan rekan koalisinya dalam sebuah opera berdarah pembantaian massal.

Tak sampai di situ saja, Sukarno dimakan sampai habis irisan kekuasaannya oleh anggota-anggota koalisinya sendiri.

Itulah akhir dari koalisi permanen yang dibangun Sukarno sedemikian rupa; dari filosofi, ideologi, hingga rupa strukturnya. Dan kini, hampir 50 tahun kemudian, di sini, di Tugu Proklamasi, Jakarta, dengan sangat gagah dan penuh keyakinan, kandidat Presiden RI ke-7 Prabowo Subianto mendeklarasikan koalisi permanen di bawah komandonya.

Saya tak menyebut Prabowo Subianto sebagai pemimpi(n) besar yang absurd dengan “koalisi permanen”-nya saat kekuasaan belum jua jatuh mutlak di tangannya. Semua itu dilakukannya, barangkali, agar ia ingin sekali dicatat sejarah sebagai suksesor politik tiada tanding dalam sejarah politik Indonesia dengan tugu monumen agung yang dinamakannya “Koalisi Permanen”. Ilusi dari manusia agung? Mungkin. [gusmuh]

* Versi Cetak Dipublikasikan Harian Koran Tempo, 22 Juli 2014