Pelras dan Kesepian Narasi Bugis

Dalam pungkas hayatnya, 19 Juli, Christian Pelras mangkat dalam kesunyian akut. Ketika imaji Indonesia di media daring/cetak dan media sosial semua-muanya tersedot dalam lubang hiruk-pikuk politik, ada satu peneliti dan penulis par excellence yang berjalan sendiri menuju keharibaan-Nya. 

Dan sepotong kabar kematian Pelras justru saya peroleh dari setelah bertanya ke sana ke mari dan berujung pada web daring berbahasa Prancis letelegramme.fr tertanggal 22 Juli, “Ethnologie. Mort de Christian Pelras”. (Terimakasih M Ridwan Alimuddin a.ka. Iwan Mandar)
 
Lahir pada 17 Agustus 1934, antropolog lulusan Sorbonne Prancis ini selama 40 tahun mengaji dunia orang Bugis dalam keseluruhan aspeknya; asal-usul, migrasi dan gesekan kultur dan sosialnya, politik, dan ikhtiarnya meluruskan sejumlah persepsi orang luar yang meleset tentang Bugis.
 
Totalitas kebugisan itu yang kemudian dituangkan Pelras dalam buku The Bugis yang diterjemahkan pada 2006 oleh EFEO & Nalar, Manusia Bugis. Sebuah buku babon yang selalu dirujuk oleh peneliti saat membahas ihwal tradisi Bugis.

Untuk tahu posisi Pelras dalam peta penelitian Nusantara, kita memang perlu memutar dengan menyebut Dennis Lombard. Bersama Lombard-lah Pelras pada 1971 mendirikan salah satu jurnal antropologi penting tentang Asia Tenggara, Archipel. Jurnal ini mencoba mengambil posisi yang sejajar dengan jurnal Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde (Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia) yang berusia sangat tua, 1853.
 
Jika Lombard dalam kerja keilmuannya kemudian melahirkan magnum opus Nusa Jawa Silang Budaya, maka Pelras menabalkan namanya dalam The Bugis. Buku ini memang terlambat sepuluh tahun diterjemahkan ke bahasa Indonesia ketimbang Nusa Jawa pada 1996. Namun tarikh penerbitan itu tak mengurangi nilai besar yang ditorehkan Pelras dalam sejarah besar kehidupan orang Bugis.
 
Ditopang 357 literatur dari 181 penulis yang tersaji dalam puspa bahasa (Prancis, Inggris, Jerman, Indonesia), Pelras memahat secara rinci dan ekstensif bangunan kehidupan orang Bugis. Ia mengurainya mulai dari siklus La Galigo, tumbuhnya kerajaan-kerajaan di kota-kota kecil, masuknya Islam, bercokolnya kekuasaan Hindia Belada, gerakan kebangsaan dan revolusi Indonesia, hingga segregasi politik dan ekonomi kontemporer.
 
Secara kaleidoskop Pelras merajut kisah manusia Bugis dengan rute waktu ayng sangat panjang; dari Sawerigading, Arung Palaka dan Hasanuddin, hingga Jusuf Kalla. Dari rute itu terbentang peradaban dan kosmologi orang Bugis; perkawinan dan kekerabatan, stratifikasi sosial, sejarah mental, ritus dan kepercayaan, sastra dan aksara, pakaian, kerajinan, hingga mata pencaharian.
 
Dan yang mengejutkan dari Pelras adalah kesimpulannya yang kerap tak terduga dan mengubah mindset yang lumrah tentang orang Bugis.
 
Ketika orang mengidentikkan orang Bugis dengan kekerasan, Pelras maju memberitahu yang lain dan sublim, yakni majunya tradisi literasi. Dan Bugis tak boleh diabaikan dalam soal satu ini. Menurut Pelras leluhur (to-riolo) Bugis telah mencipta sebuah epos besar La Galigo yang pajangnya sekira 240 ribu larik; lebih panjang ketimbang Mahabharata yang panjangnya sekira 215 ribu larik.
 
Bahkan Bugis menurut Pelras adalah sukubangsa istimewa di Nusantara karena memiliki aksara sendiri yang merupakan perkawinan antara aksara kaganga di Melayu dan aksara arab.Dengan aksara itulah to-riolo Bugis menulis epos La Galigo, kronik, mantra, nota dagang, dan hukum adat.
 
Saat orang mengasosiasikan orang Bugis sebagai pelaut, Pelras berkesimpulan yang lain, bahwa tradisi leluhur orang Bugis adalah agraris dan perdagangan. Perahu bukan sebagai napas hidup, melainkan sekadar alat dagang dalam poros pelayaran. Aktivitas maritim ini pun baru berkembang pada abad 18 M. Nenek moyangnya pelaut itu justru Mandar. Karena itu, kerajinan dan pandebesi berkembang maju di Bugis, terutama penciptaan alat-alat tani.
 
Pelras juga membidik hal yang unik dalam strata dan jenis manusia Bugis berdasarkan gender. Bagi Pelras, membahas Bugis tapi tak mengikutkan ihwal gender adalah bias. Pada Bugis-lah, kata Pelras, gender ketiga dan keempat, alih-alih disingkir-nistakan, namun justru diberikan tempat dalam ritus suci. Gender ketiga adalah calabai (perempuan palsu, bencong) dan gender keempat, calalai, pria palsu. Bissu yang merupakan pemimpin ritus, misalnya, justru tidak diambil dari gender pertama (perempuan, makkunrai) dan gender kedua (laki-laki, burane), tapi justru dari gender ambivalen ini. Bissu dipercayai bisa menghubungkan Dunia Atas dan Dunia Bawah; sebagaimana pembagian makrokosmos ala abad pertengahan.
 
Kesetaraan gender yang diperluas itulah yang membuat Pelras, antara lain, yang membuatnya tak merugi sama sekali menghabiskan 40 tahun usianya. Untuk tanah dan pengetahuan orang Bugis, Pelras membaktikan hidupnya dan mengamalkan ilmunya. Pelras telah membuka mata dunia bahwa ada satu permata peradaban di seberang lautan; sebuah peradaban yang dibangun oleh mitos dan aksara, ritus dan perang, revolusi dan pemberontakan, serta mitigasi pelayaran dan perdagangan.
 
Dan kini si penjaga narasi itu pergi ke nirwana pada usia delapan windu dalam kesunyian tanpa gebyar dengan mewariskan kitabnya yang terpenting, Bugis. Nusantara, terutama manusia Bugis yang terpencar di seantero dunia berhutang budi pada sosok rendah hati ini. Ia penyatu dan penjaga narasi Bugis. [gusmuh]

+ Versi cetak dipublikasikan Harian Jawa Pos, 27 Juli 2014