Elegi Assaat

“Hukum Tatanegara Republik Indonesia oleh Mr. Assaat. Dipakai disekolah2 landjutan, amat disukai oleh mahasiswa2 Perguruan Tinggi Hukum. Siapa ta’ kenal Mr Assaat? Bekas Ketua Parlemen Republik Indonesia (K.N.I.P.), bekas Acting Presiden R.I. dan bekas Menteri Dalam Negeri. Sekarang aktip kembali di Parlemen.”  

Iklan buku akademik karya Assaat itu dipublikasikan majalah mingguan Nasional No 16 Th III, April 1952. Selain dibanderol dengan harga Rp 4,50, buku terbitan Bulan Bintang itu hendak menjual biokerja Assaat yang “tjukup keahliannja dan tjukup pula pengalamannja!”.
 
Ya, Assaat dalam sejarah Republik Indonesia, seperti isi iklan itu, memang hanya berhenti sebagai penulis buku yang ahli dan berpengalaman belaka. Kehadirannya sebagai (Acting) Presiden R.I. tak ubahnya seperti elegi kalau bukan tragedi. Pasalnya, sosok yang lahir di Agam, Sumatera Barat, 18 September 1904 ini adalah “nokhtah semangka” (PSI-Masjumi) yang tak boleh ada dalam sejarah kepresidenan RI.

Hitunglah, berapa jumlah presiden RI dari Agustus 1945 hingga Oktober 2014, maka jawaban umum adalah enam: Sukarno, Soeharto, B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono. Sosok Assaad tak ada di sana.
 
Iklan buku penerbit Bulan Bintang itu mengada-ada? Tidak, jika kita merujuk kronik Indonesia, terutama yang terjadi pada peralihan tahun 1949 dan 1950. Tepatnya usai nota kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB) ditandatangani pada 27 Desember 1949, Assaat ditunjuk sebagai Presiden Republik Indonesia yang berkedudukan di Jakarta menggantikan Sukarno yang dalam waktu bersamaan menjadi Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS). 

Walau hanya menjabat hingga 15 Agustus 1950, Assaat adalah salah satu patok penting ketika Indonesia sedang dalam pergolakan perang, pertarungan diplomasi, dan pencarian bentuk negara. Assaad menjadi saksi bagaimana  republik berada dalam simpang revolusi yang pelik menuju liberalisme.

Usai Presiden RIS Sukarno dilantik, sebagaimana kronik koran Tanah Air edisi 19 Desember 1949 menuliskan, Assaat yang menjadi pejabat Presiden RI segera mengambil tindakan pertama mengubah model parlemen menjadi parlemen nasional yang memberi tempat bagi kaum progresif. 

RI yang menjadi negara bagian dari RIS adalah ejawantah bahwa kronik sejarah RI yang lahir dari Revolusi Agustus 1945 tak terputus. Sebab RIS yang merupakan kemenangan terbaru dari Belanda di meja diplomasi itu memiliki bentuk dan konstitusi sendiri yang berbeda dengan konstitusi RI 18 Agustus 1945. 

Beruntunglah ada Assaat. Rantai sejarah RI itu tetap tersambung dalam kekuasaannya yang berumur sangat pendek, 9 bulan.

Namun revolusi memakan anaknya sendiri. Ketika Demokrasi Terpimpin mulai dipraktikkan dan ketakpuasan merebak di daerah, terutama di Sumatera Barat, Asaat memilih masuk hutan. Ia bergabung dengan gerilyawan PSI-Masjumi (hijau-merah, semangka) yang menamakan diri Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Dan nama Assaat pun padam bersama ditumpasnya gerakan ini dalam operasi militer yang sistematis dan masif.

Pergantian rezim dari Sukarno ke Soeharto menjadi momentum dan kesempatan baru bagi Assaat. Ia muncul lagi untuk pertama kalinya ke publik di hari penguburan sahabat politiknya, Sjahrir. Bersama Sjafruddin Prawiranegara–sekondan politiknya di PRRI, Assaat berdiri di sisi kuburan Sutan Sjahrir saat Hatta mengucapkan kata-kata pungkas sebagaimana dicatat koran Pelopor Baru, 20 April 1966: “Sjahrir berjuang untuk Indonesia merdeka, tetapi ia sakit dan meninggal dalam tahanan Republik Indonesia jang merdeka … bukankah itu suatu tragedi?” 

Assaat–selain Sjahrir dan Sjafruddin–adalah nama di tapal revolusi yang menjadi musuh politik dan dipenjarakan Sukarno sejak 1962 hingga 1966. Pergantian rezim tak jua memulihkan nasib Assaat. Sejarah yang disusun Sukarno dan diwariskan hingga kini tak pernah lagi memberi tempat bagi Assaat untuk dikenang dalam memori kepresidenan lantaran keterlibatannya dalam pemberontakan PRRI.

Bahkan hingga diresmikannya Museum Presiden di bulan Agustus 2014, Assaat tak pernah ada di sana. Elegi Assaat sebagai “bekas Acting Presiden R.I.” yang ada dalam iklan penerbit Bulan Bintang itu perlahan naik satu trip menjadi tragedi. [gus muh]

* versi cetak dipublikasikan Harian Koran Tempo 18 Agustus 2014