Politik Angkatan 45

Secara jujur Ketua Lembaga Sastra Indonesia (Lestra/LEKRA) Bakri Siregar (1980: 39) mengakui bahwa penemu label “Angkatan 45” adalah Rosihan Anwar. Label yang ditemukan jurnalis Pedoman pada Januari 1948 itu merujuk pada seniman-sasterawan yang terhimpun dalam “Gelanggang” yang didirikan 19 November 1946 atas usaha penyair Chairil Anwar. Sebagai manifestonya ditunjuklah “Surat Kepercayaan Gelanggang”.

Label Angkatan 45 dalam perkembangannya menjadi label politik. Kamus Besar Bahasa Indonesia bahkan memberi pengertian pertama pada lema ini sebagai para pejuang kemerdekaan yang memelopori revolusi saat jelang Proklamasi; yang kemudian disusul (2) golongan seniman dan pengarang yang muncul sekira 1945.

Angkatan 45 yang bermula dari angkatan sastera kita tahu kemudian menjadi sebutan untuk figur-figur yang meletakkan dasar bagi semangat Revolusi 1945. Yang dimaksud pejuang kemerdekaan dalam pengertian kamus adalah serdadu non laskar rakyat yang dalam banyak hal diorganisir oleh kalangan komunis.

Alih-alih label Angkatan 45 berusaha menyatukan seluruh kekuatan revolusioner yang ada di kalangan seniman/sasterawan dan serdadu rakyat; justru label ini dijadikan politik untuk membersihkan Revolusi Agustus dari seluruh unsur yang terkait dengan komunisme.

Hans Bague Jassin misalnya. Mula-mula ia memberi lampu hijau bagi beberapa sastrawan Lekra masuk dalam barisan Angkatan 45 lewat penerbitan prosa dan puisi Gema Tanah Air. Namun pada cetakan Gema Tanah Air tahun 1976 di era ketika militer-non-laskar rakyat berkuasa penuh, nama-nama golongan Lekra-PKI itu dimumikan. Semangat Angkatan 45 ini juga dihaluskan sekadar humanisme universal dengan menghilangkan semangat pembangkangan, vitalitas yang berkobar, dan protes.

Politik Angkatan 45 tak hanya membersihkan sastra/seniman dari komunisme, melainkan juga mengubur vitalitas laskar rakyat dalam meneguhkan pondasi Revolusi Agustus. Nama pemimpin dan dan jejak darah anggota-anggota laskar rakyat dihapus dari Pertempuran Besar 10 November dan seluruh rute perang gerilya hingga era Clash II.

Puncak penistaan laskar rakyat adalah label “Pemberontakan Madiun” pada 1948. Ini bukan  hanya peristiwa yang menjadi dalih bagi penguburan komunisme dalam kronik Revolusi 45, tapi juga penumpasan seluruh memori negara-bangsa bahwa ada unsur komunisme dalam vitalitet Revolusi Agustus kita.

Memang, ada usaha sastrawan Lekra maupun PKI untuk merebut memori yang (di)hilang(kan) dengan cara merevisi label “Angkatan 45” bukan sebagai golongan, melainkan sebuah semangat kepeloporan terhadap nilai revolusioner. Dan secara politik label “Angkatan 45” bergeser menjadi “Revolusi Agustus”. 

Usaha ini membawa hasil yang gemilang. Komunisme masuk kembali dalam trek sejarah. Periode 1950-1965 menjadi babak fantastik bagi golongan revolusioner untuk menunjukkan bahwa semangat “Revolusi Agustus” belum selesai.

Membaca arah dan gelagat angin seperti ini sastrawan macam HB Jassin dan serdadu anti komunis macam Abdul Haris Nasution mengendurkan sedikit suaranya lantaran Sukarno memberi kembali tempat terhormat pada komunisme. Sastrawan/seniman dan serdadu anti komunis berusaha bertahan di pelabuhan dan barak masing-masing sambil menunggu datangnya angin barat yang berpihak pada jalan mereka.

Subuh 1 Oktober 1965 angin barat itu memang datang dan memporak-porandakan komunisme yang menghuni garis pantai dan perkampungan besar bernama Indonesia. Bukan hanya komunisme, bahkan Sukarno pun tak menduga sama sekali bahwa angin barat ini turut menjungkalkan sosoknya dan warisan pemikirannya.

Setelah angin barat mereda, musim baru pun dimulai. Revolusi Agustus 1945 yang diberi label “Angkatan 45” kemudian kita tahu suci dari komunisme dan marhaenisme, baik dalam pikiran maupun tindakan. [gus muh]

* Versi cetak dan ringkas dipublikasikan Harian Koran Tempo 27 Agustus 2014