Kultur Bahari

Sejak debat capres hingga Joko Widodo menjadi presiden terpilih, wacana kemaritiman mengalami pasang naik. Apalagi, salah satu titik utama perhatian Jokowi adalah membangun poros maritim sebagai kekuatan ekonomi baru Indonesia.

Yang terjadi kemudian nyaris istilah maritim menjadi kata tunggal untuk membahas apa pun soal laut. Padahal, istilah maritim hanya berkait dengan jalur perniagaan dengan menggunakan lintasan/pelayaran laut. Karena itu titik berat maritim adalah segala sesuatu yang terkait dengan tata kelola niaga laut seperti ketersediaan dermaga-dalam yang representatif dan penambahan kapal “tol/petikemas” laut. 

Tapi laut bukan hanya semata soal dermaga, kapal petikemas, dan pelayaran, tapi juga puisi, musik, ritus karnaval, dan adat. Frase “maritim” tak mengakrabi bidang itu. Karena itu, kita mengenal satu istilah lagi yang masih memiliki famili dengan dunia laut, yakni bahari. 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahari adalah (1) laut, (2) masa silam, (3) dan sekaligus keindahan. Dalam bahari, laut adalah ekosistem di mana sistem kehidupan tepi-laut terbangun secara ekstensif dan terus-menerus. 

Karena itu, laut juga adalah sebuah tapak dalam babakan sejarah. Frase bahari memungkinkan memori kita berenang hingga ke abad 15, misalnya, untuk menyaksikan pulau-pulau rempah di Maluku dan Malaka menyebarkan bau wangi dan memancing semut rangrang kolonialisme Eropa masuk dan menghisapnya hingga telangas.

Dari masa silam dalam bahari itulah kita mengenal sumpah Sultan Nuku, Kaicil Paparangan, sebagaimana diekspresikan dalam sebait puisi Dino Umahuk dalam Panggilan Laut Halmahera (2011): “mengangkat parang, membangun armada, tapi sekarang binasa”. 

Tapi tepian laut tidak sekadar ingatan tentang medan perang yang di sana kita melulu kalah. Laut juga adalah perairan inspirasi bagi seni dan keindahan yang tiada habisnya. Puluhan festival yang berkenaan dengan laut (atas dan bawah) digelar tiap tahun secara regular dari Sabang, Tasikmalaya, Bantul, Probolinggo, Kutai, Mamuju, Menado, Lamalera, Halmahera, hingga Raja Ampat sudah bisa menunjukkan bagaimana ritus kebudayaan tepian-laut itu mengalami perkembangan yang cukup signifikan.

Hanya dalam bahari kita bisa berbicara puisi dari penyair-penyair yang hidupnya dibuai desau angin buritan. Dalam kultur bahari, penyair adalah keluarga batih bagi laut. Bahasa mereka adalah, pinjam istilah Gerson Poyk, narasi yang menari di atas buih ombak. Sejak Sanusi Pane, Subagio Sastrowardojo, Umbu Landu, Zawawi Imron, Mardi Luhung, hingga Dino Umahuk dan Bara Pattyradja, laut menjadi sahabat dan sekaligus rumah. Karena itu, jika puisi lahir dari gunung, mestinya puisi berakhir di lautan, tulis Sanusi Pane dalam sebuah sajaknya.

Bahari sebagai sebuah seni dan keindahan pula yang menuntun petikan-petikan gitar Leo Kristi yang merintihkan nasib manusia-manusia tepian laut yang halaman rumahnya berhadapan dengan selat dan teluk dan musik hariannya debur ombak, kicau camar, dan gesekan daun bakau. 

Hanya dalam bahari lagu-lagu Leo seperti “Gulagalugu Suara Nelayan”, “Lenggak-lenggok Badai Lautku”, dan “Nyanyian Pantai” menjadi anthem kebudayaan agar intimasi manusia negeri kepulauan dengan lautnya ini tidak hanyamelulu statistik, harta karun kapal karam, bom ikan, dan hitungan ekonomi.

Maritim tanpa bahari seperti pedagang yang dalam tasnya melulu kalkulator tanpa tasbih kerang, sirih, bibit bakau, dan gitar. Maritim tanpa kultur bahari seperti bajak laut Eropa abad 15 yang datang ke negeri bawah angin untuk mengeksploitasi apa saja yang memiliki keuntungan besar bagi dunia niaga benua mereka. [gusmuh]

* Versi cetak dan ringkas dimuat di Harian Media Indonesia Minggu edisi 26 Oktober 2014 (Bidasan Bahasa).