Diplomasi Buku

 
Litografi itu terdapat di buku koleksi P.M. Subandrio berjudul Flowering Lotus: A View of Java karya Harold Forster (Longmans, Green and Co Ltd, 1958). Buku itu, bersama 200-an buku koleksi lainnya sang perdana menteri di era senjakala kekuasaan Sukarno, didapatkan Newseum Indonesia/Warung Arsip tersebar di pasar-pasar buku loak Jakarta. Di satu sisi kita berpikir bagaimana mungkin buku-buku penting dalam sejarah bacaan pejabat negara di sebuah era itu bisa terlempar di jalanan.
 
Tapi menyimak dari sejarah ironi buku, sudahlah, kabar ini hanya menambah deret panjang ironi koleksi buku tokoh bangsa, termasuk koleksi buku Sukarno, Hatta, Adam Malik, hingga P.K. Ojong. Tapi saya tak membicarakan soal tercecernya koleksi dengan sejarah panjang pengumpulan dan kedatangannya itu.

Yang pasti, menghadapi koleksi buku seseorang kita dipertemukan dengan bentangan khasanah sejarah pemikiran, kecintaan, dan bahkan kegilaan dunia literer sang pemilik. Item koleksi buku juga menuntun kita mengenang sejarah persahabatan yang dibangun dari buah-tangan bernama buku.
 
Beberapa litografi yang tercetak di buku Mas Ban—demikian P.M. Subandrio dipanggil para sahabatnya—menunjukkan bagaimana buku menjadi alat diplomasi, menjadi jembatan keramahan, serta tentu saja kenangan yang tak mudah pudar.

 

Ketika buku menjadi bagian protokoler diplomasi, maka di saat bersamaan pula ia merupakan bagian diplomasi kebudayaan yang bersifat harian saat kita membagi dan memperkenalkan puncak-puncak pemikiran, pergolakan kreativitas, dan jejak pengalaman para putera negeri.

Gagasan menjadikan buku sebagai bagian dari diplomasi bisa menyelesaikan banyak hal. Bayangkan saja kita punya ratusan anggota legislatif, ratusan diplomat, ribuan pejabat baik di pusat maupun di daerah, dan dipimpin seorang presiden yang peka terhadap kultur buku. Jumlah itu sudah lebih dari cukup menjadi “penjual” terdepan khasanah daya-budi kita, dan tak sekadar penjual daya-alam.
 
Kegairahan yang lain tentu saja menyibukkan kita untuk setiap tahunnya mengeluarkan 100 daftar judul buku yang senantiasa menjadi alat diplomasi dan uluk-salam persahabatan. Ratusan buku-buku terpilih dengan sampul yang dibikin artistik itu, baik klasik maupun kontemporer, biografi maupun sastra, diterjemahkan ke dalam bahasa lingua-franca dunia.
 
Dan itu semua dikerjakan secara harian, reguler, dan tidak grasa-grusu, tergesa-gesa, seperti ketika mengerjakan “proyek dadakan” yang umumnya menjadi bagian tak terpisahkan dari kultur kerja kita.
 
Bayangkan, di setiap akhir kunjungan tamu penting negara, sang presiden merunduk untuk membubuhkan litografi di sebuah buku yang menjadi perekat persahabatan. Bayangkan pula pembubuhan litografi itu dilakukan semua menteri kepada menteri-menteri antarnegara sepergaulannya. Atau antar anggota parlemen dunia. Atau antar kedutaan besar yang terserak di semua ceruk buana ini.
 
Diplomasi buku adalah jalan menggairahkan dunia buku kita yang lesu darah. Sekaligus ini cara kita menunjukkan bagaimana pemangku negeri memiliki kepedulian yang nyata terhadap jalannya sejarah perbukuan Indonesia.
 
Dengan demikian, buku tetap kita beri ruang sebagai kaki kebudayaan yang membawa isi kepala kita mengetuk pintu peradaban dunia lain lewat ritus diplomasi yang bermartabat. [gusmuh]

* Versi cetak dipublikasikan di Harian Koran Tempo, 27 November 2014

Koleksi Subandrio di salah satu pojok ruangan Newseum Indonesia/Warung Arsip 

Koleksi Subandrio – Ex Libries