Politik Ibu

Bersyukurlah, Hari Ibu tidak diambil dari Hari Jadi PKK atau Dharma Wanita, melainkan Hari Kongres Perempuan Pertama tahun 1928. Itulah sebabnya, menjadikan 22 Desember sebagai Hari Ibu menjadi momentum bagaimana perempuan memperjuangkan nasib mereka sendiri lewat jalan politik dan berserikat.
 
Jika 21 April diperingati sebagai pernyataan emansipasi yang bersandar pada Kartini secara personal, maka 22 Desember emansipasi adalah maklumat gerakan ibu-kolektif, ibu pertiwi.
Oleh karena itu, makna ibu bukan saja merujuk pada perempuan dewasa yang berumah tangga, melainkan juga perempuan berkesadaran politik dan mengerti bahwa hak-hak hidupnya mestilah diperjuangkan dengan jalan berserikat dan propaganda di koran.
 
Bukannya jalan politik ibu ini tanpa perdebatan sama sekali. Bahkan pada Kongres Perempuan Pertama 22 Desember 1928 di Yogyakarta itu terjadi tarik-ulur isu-isu yang menjadi konsern perjuangan. Terutama perdebatan panas yang tiada ujung soal sikap terhadap poligami.

 
Dalam preview atas Isteri, koran resmi PPI (Perikatan Perempuan Indonesia) – federasi bersama pasca kongres di Pendopo Joyodipuran Yogya – kongres berhasil menetapkan konsentrasi perjuangan – dengan menunda soal poligami.
 
Hasil itu antara lain kesetaraan pendidikan bagi perempuan; mencegah perkawinan anak-anak; pengiriman mosi kepada pemerintah tentang fonds bagi janda dan anak, tunjangan pensiun, pengiriman mosi pada Raad Agama agar tiap talak dikuatkan secara tertulis sesuai dengan peraturan agama, pergerakan perempuan Indonesia dengan berasas kebangsaan.
 
Semua perjuangan itu, selain didesak lewat jalan berserikat (PPI), juga digiatkan lewat propaganda pers. Karena itu, kehadiran koran Isteri adalah tonggak sejarah pers perempuan yang lahir dari federasi yang dibentuk dengan satu kesadaran; kesatuan kebangsaan. Want’t vrouwenvraagstuk in Indonesia is een rasen raagstuk, pergerakan perempuan Indonesia adalah soal kebangsaan.
 
Lewat halaman-halaman koran/majalah itulah perdebatan dan perkubuan berlangsung menajam. Apalagi Isteri Sedar yang dipimpin Soewarni Djojoseputro pada 1931 menolak berada satu federasi dengan PPII (Perikatan Perhimpunan Isteri Indonesia– PPI berubah menjadi PPII pada Kongres Kedua di Jakarta, 26-31 Desember 1929). Isteri Sedar memilih jadi oposan paling tajam yang menyebut federasi macam PPPI adalah kumpulan organisasi perempuan yang masih lemah-lembut:
 
“Tjita-tjitamoe hanja mendjadi pengisi roemah jang sempoerna atau dengan perkataan kasar : mendjadi toekang masak, menjoelam, dan mendjahit jang lebih sempoerna dan seteroesnja. Ia ta’ bisa merasakan nasibnja orang lain, ta’bisa merasakan kesedihannja kaoem perempoean jang ta’ terhingga, hanja boetoehnja sendiri (yang dipikirkan), jaitoe sebagai pengisi roemah”. 

Karena itu garis politik ibu yang dimaui Isteri Sedar adalah berada dalam satu saf perjuangan dengan Sukarno cs di mana pada 1932, perkumpulan ini mengumumkan sikapnya: “Bekerdja Oentoek Melekaskan dan Menjempoernakan Indonesia Merdeka!”. (Baca: Warisan Gerakan Kiri yang Dipadamkan)
 
Posisi politik ibu tahun 30-an inilah yang terwariskan menjadi dua lajur perjuangan. Isteri Sedar bertransformasi menjadi Gerwis-Gerwani pada tahun 50-an dan federasi yang sifatnya terbuka dan moderat menjadi Kongres Wanita Indonesia (Kowani). (Baca: Kartini Berapi)
 
Aneksasi Orde Baru pasca pagebluk 65, selain menghancurkan PKI sampai ke akar-akarnya, juga sukses melucuti gerak politik ibu yang dihela ibu-ibu dengan pandangan politik kiri dan menjadikan kaum ini tetap berada di garis belakang pagar pekarangan. 

Dharma Wanita dan PKK, seturut tesis Julia Suryakusuma yang sudah dibukukan menjadi Ibuisme Negara (2011), adalah bentuk siasat politik kontrol penjinakkan demi terbentuknya “kelurga Pancasila”. [gusmuh]

NOTE: Untuk mengulik lebih jauh sejarah pers-pers perempuan di Indonesia, silakan baca selengkapnya di buku Seabad Pers Perempuan: Bahasa Ibu Bahasa Bangsa”

* Versi cetak dipublikasikan Harian Koran Tempo, 23 Desember 2014