Dokumen Diri

BERKAS survei dari sebuah harian nasional bertarikh 12 Juni 2004 itu hanya berisi dua pertanyaan sederhana: (1) Menurut Anda, penting atau tidak pentingkah membuat atau menyimpan arsip atau dokumen pribadi keluarga?” Hasilnya: 91,9% dari 999 orang yang disurvei dari 34 kota besar di Indonesia itu berkata penting. (2) Apakah Anda mempunyai kebiasaan membuat atau menyimpan arsip atau dokumen pribadi/keluarga?” Sejumlah 64,2% mengatakan tidak.

Berkas survei itu menunjukkan soal menarik, bahwa mendokumentasikan kisah diri sendiri itu penting, namun enggan mengerjakannya. Mengapa?

Mengarsip selalu memutlakan syarat ketelatenan. Serupa kerja seorang perajut yang bekerja dalam diam seperti pertapa yang mendaki bukit-bukit pencerahan. Untuk mendirikan monumen dokumen pribadi dibutuhkan kesabaran dan sikap telaten membangun tumpukan kejadian yang datang berjejal tiada henti. Di sana, terbentang sabana detail.

Detail itu berumah dalam dokumen, seperti ijazah pendidikan dalam semua strata, SIM, KTP, kartu segala jenis organisasi/lembaga, segala macam karcis, tiket perjalanan, nota belanja, surat undangan seminar dan rapat kampung, referat, kartu studi, koleksi buku bacaan, buku tulis sekolah, diari day by daya, draft naskah, kliping, foto, rekaman suara, video kegiatan, dan surat tanah/keluarga/nikah.

Dan hidup yang dikepung seabrek detail macam begitu bukan perkara yang mudah. Detail itu setan, kata Mohammad Hatta pada masa yang jauh. Karena itu banyak orang menghindarinya lantaran bisa dibelitnya jika tak punya keterampilan mengurai dan menyimpannya.

Mengarsip itu juga membutuhkan kewaskitaan, terutama kewaskitaan atas waktu. Sedikit meleng saja, waktu meninggalkan peristiwa tanpa secuil pun catatan. Dan kehidupan tanpa data/jejak berpotensi menjadi kehidupan tanpa cerita.

Pun jika data terkumpul, pendokumentasian diri belum selesai begitu saja. Diperlukan penataan sehingga mudah mengakses dan melakukan pembacaan ulang. Dan soal menata, itu bukan perkara mudah, terutama yang ketika masa kanak-kanak sangat terbiasa membuang seragam dan tas di sembarang sudut rumah usai pulang sekolah.

Bahkan dokumen-dokumen digital berupa foto sekilas tampak mudah menatanya. Tapi kenyataannya belum tentu. Apalagi saat berhadapan dengan pribadi yang suka menunda-nunda kerja, ini bisa menjadi kerja yang memusingkan. Karena untuk menata dokumen digital diperlukan ketekunan harian dalam penamaan folder yang rapi yang meliputi tahun, bulan, tanggal, dan nama terang peristiwa untuk memudahkan pencarian. Bahkan bila perlu menuliskan senarai teks untuk memberi konteks pada foto/dokumen peristiwa.

Ketika dokumen pribadi tertata, masalah belum juga selesai. Diperlukan ketekunan dalam merawatnya. Jika dokumen berbentuk kertas yang memiliki nilai kenangan yang kaya, maka perlu memasukannya dalam plastik tertutup rapat dan dimasukkan dalam kotak-kotak khusus. Jika dalam bentuk digital perlu menggandakannya dalam beberapa media penyimpanan untuk menghindari “bad error”.

Kita memang sudah terbantu oleh hadirnya media sosial untuk merekam sebagian rekam jejak hidup diri kita. Media sosial dipahami kembali bukanlah wadah penyimpanan di mana seluruh kepercayaan kita serahkan secara pasrah, melainkan ruang berbagi yang memfasilitasi karakter kita sebagai makhluk sosiotus.

Demikianlah, jika dokumen-diri itu jumlahnya hanya seribu item atau rentang waktu lebih kurang dua tahun tentu mudah mengatasinya. Namun, kenyataannya tidak seperti itu. Usia diri terus-menerus berada dalam perjalanan menuju titik akhir yang entah.

Jika pendokumentasian diri dilakukan sejak usia 25 tahun dan direka-reka usia bisa tegak hingga 80 tahun, maka kira-kira saja berapa ratus ribu item dokumentasi-diri yang dihasilkan dalam pelbagai bentuk: benda-benda keseharian yang memiliki nilai sejarah, teks, foto, video, dan audio.
Ratusan ribu item itu jika dikumpulkan dengan cermat, ditata dengan rapi, dirawat dengan tekun, tidak mustahil menghasilkan suatu museum-diri. Rumah bertambah fungsi, tidak hanya tempat berteduh dan berkembang biak, melainkan juga ruang di mana kenangan diabadikan.

Dan celakanya, hadirnya museum-diri hampir tak terjadi dalam sejarah keluarga di Indonesia, bukan? Bahkan seorang pesohor dengan bergelimang uang dalam hidupnya, ketika mangkat, alih-alih rumahnya menjadi museum-diri, melainkan barang-barang yang ada di dalam rumahnya dilempar keluar oleh kerabatnya yang terganggu oleh “barang-barang rongsokan yang tiada guna”.

Yang lazim kita temui sejarah diri biasanya berhenti pada buku biografi, dan bukan museum-diri yang lengkap dalam sebuah rumah terpadu. Jika pun rumah ada, namun tanpa isi. Jika pun ada isi, namun gagap merawatnya dan menjadikannya warisan yang memiliki nilai guna.

Mengarsipkan dokumen-diri pada akhirnya bukan soal dana/biaya mula-mulanya. Pengarsipan diri berkenaan dengan soal karakter dan visi kita dalam bersikap atas jejak-jejak perjalanan dari tahun ke tahun. [gusmuh]