Karikatur: Seni dan Jurnalistik

Karikatur adalah pendapat dan sekaligus pernyataan politik. Karena opini politik, maka karikatur dalam produk akhir di lembar koran/tabloid yang umumnya ditempatkan satu halaman dengan ruang opini, tajuk rencana, maupun surat pembaca.
 
Dua kehebohan dunia tentang karikatur (Jyllands-Posten/Denmark, 2005 dan Charlie Hebdo/Perancis, 2015) dan gugatan atas karikatur The Jakarta Post/Indonesia tahun 2014 menunjukkan bagaimana opini dalam karikatur itu mendapatkan respons publik yang luas. Bahkan respons itu mengguncang sendi-sendi hubungan diplomatik negara.
 
Posisi karikatur meregang di antara karya seni (pictorial) dan karya jurnalistik (editorial), sekaligus antara kebebasan warga dan kebebasan berekspresi dalam jurnalistik. Jejak karikatur jelas terkait erat dengan sejarah seni rupa karena memang produk karikatur adalah intervensi langsung seni dalam dunia jurnalistik.

Keduanya, jurnalistik dan seni, memiliki arsiran sebagai siasat membaca dan merepresentasikan sebuah peristiwa. Sebab opini tak selamanya mesti maujud dalam kata-kata verbal, tapi juga dengan foto dan gambar. Karikatur dinilai bisa menampilkan peristiwa dengan ringan; dan umumnya mengejek. Dalam istilah A Sibarani, seorang kartunis adalah spotprent takenaar, si pengejek dengan gambar.
 
Karena fungsinya sebagai perekam peritiwa dan pemberi warna khas sebuah opini, creator karikatur tak hanya bermodalkan keterampilan menggambar, tapi juga ketajaman menangkap pokok soal dan gagasan, serta sikap dan etika yang bersandar pada nilai-nilai anutan jurnalistik.
 
Pentingnya posisi karikatur itu bisa kita lihat dalam “kaleidoskop”. Nyaris setiap tahun semua produk jurnalistik cetak mengeluarkan kilas-balik peristiwa tahunan dalam bentuk kata dan gambar. Karikatur, fotografi, dan infografis adalah trisum seni yang dipinjam seutuhnya untuk menyampaikan refleksi peristiwa harian itu di bulan pengunjung warsa.

Sukarno, Sibarani, dan Karikatur Politik
 
Tahun 50-an dan 60-an saya anggap sebagai panggung terbesar dunia karikatur dalam kultur jurnalistik. Ia menjadi piranti penting untuk menyatakan gagasan dan perang politik secara harian bahkan mingguan.
 
Begitu pentingnya, setiap koran yang nyaris tiap hari membuka front perdebatan dan mengirim pukulan-pukulan gagasan mematikan lawan afiliasi politiknya, menempatkan kartunis-kartunis terbaiknya. Dan Sukarno yang menjadi penguasa puncak Republik memilih bahwa satu-satunya kartunis yang tahu dan paham ke mana kiblat politik negara adalah A. Sibarani.
 
Sukarno bukan orang awam dalam dunia karikatur. Ia tahu sejarah karikatur dan beberapa tokoh fenomenalnya semacam David Low. Maklumlah Sukarno juga, selain penulis esei yang cemerlang dan orator yang memukau, adalah kartunis di majalah mingguan yang dibikinnya sendiri,  Fikiran Ra’jat. Walau agak malu-malu mengakuinya, karikatur bikinan Sukarno antara tahun 1932-1934 adalah gugatan terhadap struktur-struktur penindasan. Karikatur Sukarno bukan hanya mengejek, tapi juga meninju. Nah, era tinju-meninju 30 tahun kemudian dengan sosok Sukarno yang kian condong ke kiri itulah A Sibarani tampil memukau.
 
Sebagai kartunis, Sibarani sudah menjajal belasan koran. Namun di Bintang Timur justru pamornya naik. Di harian yang terbit pertama kali pada 1926 ini, karikatur memang menjadi anakmas. Bahkan nyaris tiap hari karikatur menjadi representasi headline di halaman depan. Karikatur dipilih, dan bukan foto, lantaran karikatur tampak lebih atraktif dan dinamik secara visual.
 
Posisinya yang menonjol, penggambaran yang mengejek, dan pesan-pesan yang bombastik dalam mengirimkan ajakan perang menjadikan Sukarno terpincut pada Bintang Timur. Lebih khusus lagi kepada Sibarani: “Kita punya pelukis segudang. Tapi karikaturisnya yang baik dan hebat cuma satu!Sibarani! Jadilah engkau seorang David Low Indonesia!”
 
Sibarani memang istimewa. Ia bukan saja pelukis wajah Sisingamangaraja XII yang kita wariskan hingga kini di lembar mata uang kertas, tapi juga penulis polemik kebudayaan yang liat. Di Bintang Timur, terutama di lembar “Lentera”, Sibarani – dan juga kartunis Delsy Samsumar – adalah sekondan Pramoedya Ananta Toer dalam mengerek perdebatan politik kebudayaan hingga ke titik didih terpanas.
 
Pramoedya berkonsentrasi pada riset, penataan isu-isu perdebatan, dan menggalang penulis-penulis muda untuk masuk di area perang. Adapun Sibarani dan Delsy Samsumar bahu-membahu menjadikan halaman depan koran sebagai kertas kreatif untuk menampilkan karikatur-karikatur yang berisi ajakan berkelahi. Sesekali keduanya turut bikin cerpen dan esei kebudayaan.
 
Kepekatan politik dalam karikatur di Bintang Timur itu, sayang sekali, dilewati secara tergesa-gesa dalam buku penting Agustin Sibarani, Karikatur dan Politik. Posisi Sibarani dan karikatur-karikatur politiknya yang menonjok lawan-lawan politik Sukarno cum PKI memasuki era 1960-an dinihilkan dalam buku yang diterbitkan Garba Budaya pada 2001 itu.

Memuliakan Seni dalam Jurnalistik
 

Sejak Gestok 1965, karikatur politik dipenggal bersama para pemanggulnya macam Sibarani dan Delsy yang keras kepala. Tidak hanya itu, karikatur hanya menjadi pelengkap dalam jurnalistik dan ditaruh di halaman dalam. Visualnya tetap nakal, tapi pesan-pesan politik yang kritis dibungkus serupa kulit bawang yang tak hanya sulit diendus intelijen, bahkan yang tahu pesan politiknya hanyalah kreator dan Tuhan.
 
Namun demikian, situasi politik yang demikian ketat dan politik bukan lagi panglima itu karikatur tetap pada kodratnya; masih dianggap keluarga besar jurnalistik dan tidak disingkirkan sepenuhnya.
 
Dan kita menunggu hingga separuh abad untuk mendapatkan lagi karikatur menjadi sentral di halaman depan koran. Ya, sejak 2014 di harian Jawa Pos, karikatur tak hanya menghuni halaman “Opini”, tapi juga bermain-main dengan dinamis di halaman muka.
 
Bergantian dan bahkan tampil bersama-sama dengan fotografi dan infografis, Jawa Pos mengingatkan kita pada cara Bintang Timur dalam hal memuliakan seni dalam kultur jurnalistik. [gusmuh]

Karikatur di “Bintang Timur”
  • Dipublikasikan pertama kali Harian Jawa Pos Minggu, 18 Januari 2015