Jurnalisme Sepeda

Dalam satu dekade terakhir, sepeda yang mulai tergeser ke pinggir saat revolusi leasing sepeda motor mengalami pasang, kembali mendapatkan tempatnya. Namun bukan sebagai alat transportasi biasa, melainkan (ber)sepeda hadir menjadi gaya hidup di tengah gencarnya promosi green city dan hidup sehat. Momentumnya bisa dilacak saat jargon “Bike to Work” (B2W) dikampanyekan komunitas pekerja kerah putih di kota megaurban seperti DKI Jakarta.

Untuk “menghormati” segelintir kepentingan masyarakat itu, koran-koran cetak memberikan lembar halaman khusus untuk dunia sepeda dan segala pernik-kronika-kenangan komunitas/individu yang menghidupkannya. Sebut saja Harian Pikiran Rakyat (Minggu) yang tiap pekan menghadirkan cerita sepeda di seantero Bandung dan Jawa Barat di rubrik “Back to Bose”. Atau Jawa Pos (Minggu) menampilkan hal-ihwal sepeda, mulai dari shop, teknologi, hingga cerita-cerita unik penjelajahan dengan sepeda di halaman “Cycling Sunday”.

Berbeda dengan kedua koran itu, Harian Kompas justru menyatukan sepeda sebagai moda transportasi jalur lambat/life style sekaligus bagian dari metode peliputan jurnalistik yang sudah melekat dalam kultur redaksi mereka: ekspedisi bertema tanah dan air di Nusantara. 

Dan Kompas kita tahu telah menyelesaikan beberapa ekspedisi jurnalistik bertajuk “Jelajah Sepeda” di Nusantara secara ekstensif dan organik. Antara lain jelajah yang menarik untuk diingat adalah susur Jalan Daendels (2008), menyisir pesisir selatan Pulau Jawa (2010), Bali-Komodo (2012), Manado-Makassar (2014), jelajah sepeda Gunung Tambora NTB (2015), jelajah Kalimantan (2015), dan jelajah sepeda di Papua (2015).

Apa yang dilakukan Harian Kompas itu — juga dilakukan secara mandiri/perseorangan M Ridwan Alimuddin dalam Ekspedisi Bumi Mandar (Radar Sulbar)–saya sebut sebagai jurnalisme sepeda.

Jurnalisme sepeda adalah beyond antara dua kultur; jurnalistik dan sepeda. Secara bahasa, jurnalistik adalah jurnal, catatan harian. Nah, ikhtiar mencatat dan menghimpun informasi yang dilakukan secara harian, terus-menerus, ajeg, dan  dilandasi kesadaran dan tanggung jawab etik disebut jurnalisme. Dalam jurnalisme ada tuntutan kecepatan yang bersifat kini, di sini, dan kontemporer.

Adapun sepeda dikenal sebagai moda transportasi sekaligus bagian dari olahraga. Dan sekarang peran sepeda bergeser menjadi gaya hidup dalam masyarakat perkotaan. Sepeda menjadi re-kreasi.

Perlambatan dan Interupsi

Jika jurnalisme adalah pola pelaporan jurnal harian yang mengandalkan percepatan, maka kultur sepeda bertumpu pada semangat perlambatan. Istilah percepatan dan perlambatan itu mulanya kita kenal dalam istilah di dunia fisika dengan aksentuasi yang berkebalikan. Percepatan dianggap positif dan maju (a=v /t), sementara perlambatan sebaliknya dicemooh negatif dan mundur. Kehadiran becak di DKI Jakarta dan DI Yogyakarta adalah contoh medan sosial yang ekstrem di mana perlambatan dimaknai negatif/positifnya.

Dalam konteks jurnalisme sepeda, dua ketegangan itu dipadukan lagi dalam satu semangat baru. Karena itu dalam jurnalisme sepeda terdapat ciri-ciri dasar, yakni penjelajahan ruang, zoom in, dalam/dekat, dikerjakan secara ekstensif, intimatif, serta penghadiran kultur perjalanan yang dilakukan dengan moda sepeda, baik komunal maupun individual.

Jurnalisme sepeda, oleh karena itu, bukan peliputan tentang sepeda, melainkan menggunakan prinsip-prinsip sosial sepeda sebagai metode pemberitaan jurnalistik.

Sama-sama penulisan yang dilakukan dalam sebuah perjalanan, namun tema yang diurai dalam jurnalisme sepeda bukan sekadar “halaman depan” sebuah kawasan sebagaimana bidikan kamera dan gawai turis umumnya. Objek liputan dalam jurnalisme sepeda juga bukan melulu di seputar “halaman belakang” yang bikin risau dan keder langkah.

Jurnalisme sepeda berada di antara tumbukan keterpesonaan pada sebuah kawasan di satu sisi dan sifat kritikal yang umum melekat pada jurnalistik di sisi lain. Keterpesonaan pada dunia bawah laut dan anugerah keindahan alam di ngarai dan gunung, warisan/pusaka yang menakjubkan dan tergerus oleh banalitas korporasi dalam arkeologi, orang-orang yang setia dalam kerja sosial yang sepi adalah antara lain tema-tema yang digarap dalam sekuensi perjalanan jurnalisme sepeda.

Di dunia jurnalisme kiwari berbasis daring dan moda transportasi yang memberhalakan percepatan, jurnalisme sepeda datang sebagai sebuah interupsi. Percepatan dengan sikap tergesa-gesa boleh-boleh saja, namun mesti juga diiringi perlambatan (relaksasi, reflektif, dan interaktif). Sebab kita tak ingin didorong paksa melaju dalam percepatan informasi di dunia digital yang entah sampai di mana batasannya ini dengan terus-menerus mengonsumsi kedangkalan dengan segala perniknya.