Buku sebagai Mantel Kejahatan

Kita memang menunggu KPK membuktikan O.C. Kaligis menjadikan buku sebagai “sandi” kejahatan suap dalam perkara operasi tangkap tangan di PTUN  Medan. Kode buku ini mencuat dari pengakuan “ajudan” Kaligis, Yagari Bhastara Guntur. Dari nyanyian sumbang Gerry itulah buku diketahui dijadikan wadak menyimpan uang siluman yang dibawa Yurinda Tri.
 
Memakai “sandi buku” ini menarik pada dua perihal. Pertama, buku menunjukkan bahwa O.C. Kaligis adalah seorang yang sangat terpelajar. Bukan cuma itu saja, Kaligis di tengah kesibukannya yang luar biasa dikenal sebagai laki-laki yang doyan menerbitkan buku. Allahu Akbar, Kaligis telah menulis 78 judul buku. Belum termasuk rencananya membukukan cerita 10 istrinya. Jadi, menggunakan sandi buku dalam melakukan kejahatan suap direken-reken bisa mengelabui mata elang sang pemburu.

Kedua, saling memberi buku adalah salah satu silaturahmi yang alamiah di kalangan terpelajar. Penulis buku-buku hukum seperti O.C. Kaligis dipandang natural belaka bila memberikan buah-tangan berupa buku kepada sosok yang berprofesi di bidang hukum lainnya. Saling memberi buku adalah bagian dari pergaulan cendekia. Bahkan, saling bertukar buku bisa dijadikan “kultur persahabatan” yang menarik bila diperluas, misalnya, antarnegara, antarpresiden, antaranggota parlemen.
 
Tapi modus jahat yang bersembunyi dalam lembar buku itu menjadi bumerang saat komisioner anti korupsi sedang bekerja keras merangkai narasi suap dari pelbagai jurusan. Buku yang identitas dan posisinya dijunjung sebagai candradimuka peradaban bangsa justru terkapar di meja malpraktik.
 
Kaligis tentu saja punya kawan dalam soal menjadikan buku sebagai dalih sebuah tindakan jahat. Masih ingat dengan Pepi Fernando yang dihukum 18 tahun penjara? Pada tahun 2011 lelaki muda yang bermisi mendirikan NII yang dirintis Kartosuwiryo itu mengirimkan bom lewat paket buku ke Teater Utan Kayu (TUK), Jakarta. Peristiwa yang terkenal dengan “bom buku” itu, selain menjadi modus baru dalam pola peledakan (pengiriman paket), juga pertama kali memakai buku sebagai wadak memanipulasi kewaskitaan. Siapa yang mencurigai bahwa dalam buku tebal itu berdiam benda mematikan; sebagaimana halnya siapa yang menduga dalam buku Kaligis tertidur uang siluman.
 
Kalau pun ada yang tak kaget, pastilah si pribadi anteng itu penonton film The Shawsank Redemption (1994). Film besutan sutradara Frank Darabont yang diolah dari cerita Stephen King itu terdapat sebuah scene yang memikat bagaimana tokoh Andy Dufresne menyembunyikan palu kecil dalam buku Injil yang dilubangi di tengahnya. Palu kecil yang berbulan-bulan tertidur dalam buku itulah yang dipakai Andy untuk “menggali” dinding penjara Alcatraz yang terkenal kekokohannya.
 
Palu dan buku—juga tentu saja poster A1—dalam scene film masyhur itu berhasil memanipulasi pikiran waspada sipir. Kerjasama palu, buku, dan poster pesohor seksi untuk saling melindungi selama berbulan-bulan itu menandai satu hal bahwa buku bukan semata “organisme suci” dengan pelbagai sematannya seperti “jendela dunia”, “pembuka mata nalar peradaban”, “penjaga nur Ilahi”, melainkan bergeser menjadi benda mati yang bisa dibuat untuk kepentingan profan apa saja.
 
Buku bisa saja di satu sisi menjadi arus listrik penghantar nalar pengetahuan, tapi sekaligus menjadi daging segar yang diperebutkan segerombolan serigala rakus. Buku di satu sisi bisa merongrong kekuasan despotik yang oleh karena itu menakutkan, namun di saat yang sama buku bisa menjadi dalih persekongkolan jahat.
 
Buku bisa melahirkan manusia pemberani semacam advokat Yap Thiam Hien, tapi juga tak bisa ditampik bisa membentuk manusia berkarakter korup semacam O.C. Kaligis. Bagi manusia berkarakter serakah dan korup, semulia apa pun buku dijungkalkannya serta ke kolam kebusukan.