Jong Madioner: Bela si Jawa Miskin, Lawan Penjilat Pantat Priyayi (Bagian 02)

Madioner. Frase itu aneh untuk nama samaran penulis di
tahun 1914. Kata itu mirip Newyorker untuk menyebut orang-orang New York
(Amerika Serikat), Londoner untuk warga kota London (Inggeris), dan Parisian
untuk penduduk kota Paris (Perancis). Terkesan ada keinginan menjadikan orang
Madiun sebagai kota masa depan yang khas, kosmopolit. Tak usah terlalu wah
seperti Newyorker atau Londoner, cukup setara saja dengan Bataviasche, untuk
menyebut orang-orang Batavia. Kota Batavia yang kini menjadi ibukota RI,
selain sebagai pusat dagang VOC dan pemerintahan kolonial, juga menjadi kota
yang diangankan serupa Manhattan di Amerika Serikat.
“Madioner” adalah nama yang diciptakan koran
mingguan Doenia Bergerak yang dihelat Mas Marco Kartodikromo dari
Surakarta. Nama ini nyaris setiap edisi muncul di Doenia Bergerak
bertarikh 1914. Artikel-artikel si Madioner ini umumnya menyangkut hubungan
asimetris antara orang Jawa kecil dengan para penjabat pemerintahan, baik
penjabat berdarah pribumi maupun kolonial. Tulisannya juga khas “laporan
daerah” di seputar Karesidenan Madiun, termasuk Kedu dan bahkan hingga
Denpasar dan Malang.

Baca DB No 5, “Menjamboet karangan
Toean-toean Sambermata dan Wisanggeni”. Pembuka karangan ini menunjukkan
bagaimana si Jong Madioner berbahasa dan si Jawa macam apa yang dibelanya:
lugas tanpa basa-basi: “Setelah kita batja karangan Toean-toean
terseboet jang beralamat nasib tjilaka dan penjakit loemboeng desa, sesaklah
dada kita, hati amat doekatjita mengeloearkan airmata karena belas kesihan
merasakan nasib si Djawa”.
Si Djawa yang dimaksud Jong Madioner adalah si Djawa
yang dihisap penguasa lokal yang berzirah seperti malaikat keadilan. Si Jong
Madioner mengingatkan manusia busuk yang berkolaborasi dengan Kapitalisten
macam begini dengan menulis: “Ada seorang Regent mengakoe kaoem moeda,
betoel-betoel aken membantoe orang ketjil membela kebenaran anak boehnja dan
memegang adil. Kebetulan pada kaboepatennja hendak didirikan oleh Kapitalisten
seboeh fabriek goela, waktoe itoe Kandjeng Regent tiada moefakat dan menjangkal
keras akan berdirinja fabriek: apalagi menerangkan pandjang lebar betapa
kesoesahan orang ketjil kalau disitoe ada seboeah fabriek, sebab sawah orang
ketjil soedah terlaloe sempit. Dari ini dan itoe sampai maoe dibatalkan maksoed
Toen Fabriek itoe. Akan tetapi dari pengaroehnja wang koewasanja harta moeloet
telinga dan matanja Kandjeng Regent itoe, laloe ditoetoep dengan seboeah kereta
motor (automobiel) djeboel mak kelekep si Regent-Rakoes tiada ambil keberatan
sedikitpoen….”
Telak betul artikel ini untuk mengingatkan penguasa
kabupaten yang rakus dan menindas rakyatnya sendiri demi uang si pemodal. Saya
memang langsung mengingat artikel si Jong Madioner ini ketika memasuki
perlimaan kota Madiun yang persis berada di gerbang kota dari arah timur saat
melintasi “monumen” Pabrik Gula Rejo Agung yang masih beroperasi.
Kehadiran pabrik seperti ini, kata si Jong Madioner, menghancurkan sawah-sawah
si Jawa Kecil.
Beginilah “Bangsa Tjeleng”, tulis Jong
Madioner di DB No 7, 9 Mei 1914. Artikel ini bergenre satir saat
Jong Madioner menyebut dirinya si Tjeleng. Tahu celeng kan? Betul, celeng itu
babi, Sodara! B.A.B.I. Si Jong Madioner ini menamai dirinya si Tjeleng: “Wel
neen heeren! Biarpoen saja diseboet manoesia klas I, tetapi saja seneng sekali
pakai ta’biat tjeleng, sifat manoesia ati tjeleng. Koerang pertjaja? Batjalah
perdjalanan saja jang soedah saja lakoekan ini: 

1. Saja tida perloe toeloeng sesama manusia. Sebab,
apakah perloenja? Saja ini manoesia klas I, kalau saja soeka toeloeng manoesia
klas II nanti ta’oeroeng si klas II bisa djadi klas I, laloe sama dengan saja;
itoe saja tida senang sekali. Bisa saja diseboet pinter itoe, lantaran ta’ada
jang sama dengan saja. Djadi kalau manoesia klas II naik di klas I barang
pasti, saja djadi orang loemrah sadja. Ha, itoe saja tida senang, mengerti?
2. Lagi, kalau jang djadi manoesia klas II tadi
sebangsa dengab saja (bangsa sendiri lo, bangsa sendiri, djangan kliroe batja).
Itoelah saja ada lebih tida soeka sama sekali kalau bisa sama dengan
saja….”
Saya melihat karakter Madioner yang terbangun di
panggung jurnalisme keras dan galak semacam Doenia Bergerak adalah
“toekang kritik, toekang nyinyir”. Madioner adalah si kecil yang
terus-menerus berteriak betapa “si toekang pendjilat” bukanlah teman,
melainkan musuh. Mereka yang mau menjadi modern ala Eropa dengan cara-cara
menjilat pantat. Inlanders yang payah yang mudah betul merendahkan bangsanya
sendiri, namun kepada Eropa ia adalah penghamba dan penjilat pantat, kehilangan
keberanian dan nyali sama sekali. Si Madioner ini menulis dalam DB No
10, 30 Mei 1914, “Toekang Pendjilat Pantat”: 
Tengoklah,
bangsa sendiri dilarang bersepatoe, sedang bangsa pendatang ta’dilarangnja,
bagoes; inilah namanja ‘Tjinta Bangsa’; jaaa??? Kita bandingkan begini sadja,
oempama seorang Ass Wedana datang kehadepan Regent, bagaimanakah ia? Tentoe
djongkok; bagaimanakah kalau seorang Tjina, bangsa particulier? Oempama datang
kehadapan Regent itoe, tentoe dapat doedoek dikoersi atau berdiri, boekan?
Djadi, njatalah jang merendahkan bangsa kami itoe, ialah bangsa kami sendiri
joega. Oleh karena itoe bilamanakah lagi bangsa kami, Indiers, akan dipandang
moelia oleh bangsa2 jang moesafir ke NOI….”
Berada di Kota Madiun, walau cuma beberapa jenak, saya
selalu mengingat anak-anak muda Madiun sebagaimana karakter si Jong Madioner.
Modern, kosmopolit, dan maju dalam berpikir, tapi juga berangasan, pemarah,
kritis, dan pemberani ketika berhadapan dengan pribumi penindas yang
berkolaborasi dengan Kapitalisten. 
Jong Madioners, kalian keren!
“Nu, saluut!” tulis si Madioner.
(Bersambung)