Museum Sasmitaloka Panglima Besar Jenderal Soedirman

Ketika Markas Kostrad di Gambir menjadi loket Leg 1 Final AFF antara Timnas Indonesia vs Thailand (kalian sudah tahu semua hasil akhir laga “Martabat Bangsa” itu), saya teringat Panglima Besar Soedirman. Tepatnya, Museum Sasmitaloka Panglima Besar Jenderal Soedirman di kawasan Bintaran, Yogyakarta.

Mestinya, 20 tahun lalu saat pertama kali memasuki Kota Jogja, Museum Sasmitaloka ini sudah akrab dalam riwayat hidup saya. Maklum,  inilah museum pertama yang di mana saya nyaris tiap hari melihat plang namanya. Pergi ke kampus untuk naik bus jalur 12 atau ke pasar mesti lewat sini. Museum ini berlokasi di Bintaran,  dan saya tinggal sekira 200 meter sebelah timur dari situ. Tepatnya,  di salah satu asrama putera daerah terbaik di Bintaran Tengah.

Tapi, begitulah. Saya memasuki museum ini setelah 20 tahun tinggal di Yogyakarta dan saat Markas Kostrad di Jakarta berubah menjadi loket tiket sepakbola.

Tanpa keraguan sedikit pun,  dengan caping merah dan menuntun si Selibat, saya memasuki “gedung keramat” ini. Hanya ada dua petugas jaga. Dan saya dibiarkan leluasa sendirian memasuki gedung.

Bung dan Nona, rumah tinggal Panglima Besar atau Pangsar sewaktu musim gerilya ini khas peninggalan Belanda. Langit-langitnya tinggi. Temboknya tebal. Ruang tamunya seluas lapangan voli. Kamarnya juga luas. Hening. Sejuk. Tanpa pendingin.

Dan hanya saya sendiri siang terik itu. Macam-macam koleksi di dalamnya. Jika Anda belum pernah masuk ke dalamnya, saya beri beberapa bocoran.

Di Gedung Utama,  misalnya, kursi-meja ditata seperti sediakala saat Pangsar menerima tamu-tamunya. Di ruang tidur para tamu,  terdapat lemari kayu, pistol vicker kaliber 8 mm buatan Amerika 1845, mitraliur stem, dan keris keramat seperti di foto-foto Pak Pangsar yang paling sering Anda lihat. Termasuk sejumlah koleksi mata uang kertas Republik yang menggunakan wajah Pak Pangsar.

Sebagai muslim yang taat, di kamar tidurnya ditata seperti “apa adanya”. Ranjang kecil berkelambu putih. Lemari pakaian. Satu set mesin jahit singer yang biasa dipakai istri Pak Pangsar menjahit pakaian untuk si suami. Juga sajadah dan dudukan Al-Quran atau krekal.

Sampai di kamar ini saya dibikin merinding. Tengah hari di gedung tua,  sendiri, angin sepoi, dan patung Pangbes berukuran 1:1 yang duduk di kursi malas dalam kaca dengan mengenakan “jaket gerilya” seperti yang terlihat di foto-foto. Apalagi,  kaki dan wajah patung Pak Pangsar itu berwarna gading kehitaman. Pak Pangsar lebih tampak lelaki sakit berkulit albino yang terkelupas.

Di gedung di sisi kiri ada ruang khusus perang Palagan Ambarawa dengan dua senjata berat. Nah, di gedung ini pula bulu kuduk saya meremang lagi melihat patung Pak Pangsar hasil rekonstruksi saat dirawat di bangsal RS Panti Rapih karena paru-paru.

Di ruang ini ditampilkan satu-satunya karya Pak Pangsar yang menjauh dari senjata. Ya, Pak Pangsar melahirkan satu puisi hingga hayatnya purna. Puisi yang ditulis pada 1948 di RS Panti Rapih itu berjudul: “Rumah Nan Bahagia”

“Oh, Pak Pangsar seperti Pak Lenin. Si Pak Lenin ketahuan memeluk buku puisi di akhir hayatnya. Dan Pak Pangsar juga begitu. Paling gak dalam seragam tentara itu ia masih menyisakan ruang untuk puisi. Satu-satunya karya sastra di museum ini. Oh, jika Soetardji Calzoum mendaku diri sebagai Presiden Penyair, maka Pak Pangsar adalah Panglima Besar Penyair Indonesia!” gumam saya tak henti-henti.

Dua gedung lain di bagian belakang kurang menarik minat saya. Di satu ruangan ada dokar di mana (patung)  Pak Pangsar ada di dalamnya dan ditarik dua anak buahnya. Juga sebuah mobil sedan yang ditumpangi Pak Pangsar dari Prambanan menuju Alun-Alun Utara Keraton Yogyakarta untuk apel parade kemenangan perang.

Di satu gedung lagi mirip dengan showroom mebel jati jepara. Isinya: meja kursi dari tiga rumah persembunyian Pak Pangsar dalam perang gerilya: Sobo (Pacitan), Paliyan (Gunungkidul), dan Piyungan (Bantul).

Selain lukisan, dinding-dinding museum ditempeli ucapan-ucapan Pak Pangsar. Umumnya kata-kata penuh gairah dan gelora juang. Salah satunya amanat saat Pasukan Hijrah di Halaman Candi Borobudur. Saya tuliskan ulang (ejaan dan tanda baca semuanya milik Pak Tentara, bukan dari saya):

Anak-anakku Tentara Indonesia, kamu bukanlah serdadu sewaan, tapi tentara yang berideologi, yang sanggup berjuang dan menempuh maut untuk keluhuran tanah airmu, percaya dan yakinlah, bahwa kemerdekaan satu negara, yang didirikan diatas timbunan runtuhan ribuan jiwa – harta – benda dari rakyat dan bangsanya, tidak akan dapat dilenyapkan oleh manusia siapapun juga, berjuang terus, saya tetap memimpin kamu sekalian, Tuhan, insa Allah melindungi perjuangan suci kita”.

Setelah si Selibat berpose di halaman Museum Panglima Besar Soedirman, saya pun makin yakin, menjual tiket (sepakbola atau apa pun itu)  di Markas tentara sungguh jauh dari imajinasi Pak Pangsar. Apalagi di markas sebuah kesatuan elite yang punya prestasi warbyasa dalam menjalankan operasi genosida 1965 hingga 1967.

Ayo,  berukunjung ke Museum Sasmitaloka Panglima Besar Jenderal Soedirman di Bintaran Wetan, Yogyakarta. Rasakan sensasi kesunyian dan pamor auratiknya!

Si Selibat di halaman sisi kiri Museum Panglima Besar Soedirman. Selibat, sepeda lipat terlibat.