Apresiasi: Isma Swastiningrum ~ Sastra dan Kemanusiaan ala Pramis

IDEOLOGI SAYA ADALAH PRAMIS. Mamuk namanya. Saat kecil ayahnya berkata dia bodoh, karena sering lambat dalam belajar dan  tiga kali tidak naik kelas. Setelah waktu berlalu, Mamuk atau Pramoedya Ananta Toer kini menjadi salah satu legenda sastrawan Indonesia yang terkenal dengan realisme soasialisnya. Sastra perlawanan yang memiliki watak tidak kenal kompromi dengan lawan, mengusung politik sosialis, memajukan proletariat, dan mengecam bebagai macam bentuk tindakan anti kemanusiaan.

Pram dengan asas kemanusiaan, hendak membangun metode baru –atau agama baru– yakni PRAMIS. Pramis tidak merujuk pada pemuja fanatik yang mengelu-elukan Pram. Namun Pramis merupakan sebuah pandangan: yang menunjuk pada sebangunan keyakinan Pram sendiri yang paling personal sebagai pengarang yang terus menampung kontradiksi tindakan antara individualisme dan gerak sosial dalam masyarakat. (ISAP: 30)

Dari pengertian di atas pengarang (laiknya Pram), di satu sisi menempuh jalan sunyi, berjelaga, disiakan yang terjal berliku, tapi di sisi lain apa yang dihasilkannya untuk kepentingan kemanusiaan. Pram yakin akan otoritasnya sebagai manusia yang mampu bersikap seperti halnya ubermensch (adi-manusia) dan menggerakkan manusia.

Pramis sendiri bisa dilacak dari tiga simpul karya Pram yang ditawarkan oleh Taufik Rahzen, yakni: kebenaran, keadilan, keindahan. Kebenaran merupakan asas manusia berposisi, melangkah, dan bergerak. Kebenaran memberikan teladan, bukan memerintah. Lalu, keadilan berarti realisasi kebenaran dalam kenyataan sosial yang berjalan dialektis. Di mana pertemuan antara kebenaran dan keadilan tersebut menghasilkan keindahan. Keindahan di sini bukan keindahan gaya naturalisme yang mengutak-atik bahasa, melainkan keindahan dalam memperjuangkan kemanusiaan dan pembebesan terhadap penindasan.

Proses kreatif Pram (untuk menjadi Pramis) seperti yang dijelaskan dalam buku ini, ia punya empat jurus:

Pertama, menulis itu ideologis. Menulis bagi Pram adalah tindakan politik dan merupakan tugas nasional. Politik di sini diartikan memperjuangkan kebenaran, keadilan, kemanusiaan, baik lewat tulisan maupun tindakan. Menulis bagi Pram merupakan perlawanan, visi, dan sikap.

Kedua, menulis itu riset. Tak diragukan lagi, kerja personal Pram mengkliping merupakan bekal utama Pram dalam melukan riset. Setiap hari Pram tak bisa lepas dari lem, gunting, dan koran, sampai di buku ini Pram dijuluki “Si Pendekar Gunting dari Bojong”. Bahkan saking gilanya Pram mengkliping, Pram didakwa mencuri dokumen nasional dari Museum Gajah. Di rumah Pram di Bojong Gede, Bogor, klipingan tertata dengan rapi. Pram berniat membuat ensiklopedia kawasan Indonesia untuk memandang Indonesia seutuhnya, dari Aceh sampai Papua. Bagi Pram, riset penting karena sastra bukan karya ingusan, tapi pengetahuan. Dari kliping inilah ia mendapatkan data-data primer akan apa yang ditulisnya, dan dengan riset, sastra menjadi kokoh dan bisa dipertanggungjawabkan.

Ketiga, menulis itu disiplin. Disiplin yang dimaksud adalahh disiplin kerja—bukan angina-anginan. Sebagaimana filsafat manusia Marxian, hakikat dari manusia adalah kerja. Dengan kerja manusia bereksistensi, membangun relasi, dan menyejarah. Selain disiplin menulis, Pram juga disiplin olahraga dan senyum, baginya senyum yang ikhlas dapat merilekskan pikiran, jiwa damai, dan optimis.

Keempat, menulis itu keterampilan bahasa. Pram cukup terinspirasi dengan apa yang disampaikan A. Teuuw. Menurut Teuuw sastrawan cukup mengusai satu bahasa yang benar-benar dia kuasai, penguasaan bahasa lain adalah pekerjaan penerjemah. Bahasa dikuasai tak hanya dari diksi, tapi juga (meminjam Foucault) arkeologi dan genealoginya. Bagaimana bahasa beroperasi, baik dibentuk, ditransformasikan, hingga rasa bahasa sendiri.

Melalui empat penyingkatan proses kreatif Pram bekerja di atas, pengembaraan Pram menghasilkan apa yang Muhidin sebut sebagai “anak-anak ruhani” Pram, yakni buku-buku Pram. Menurut penelitian yang dilakukan Koh Young Hun menceritakan, membaca buku-buku Pram secara keseluruhan, kita bisa membaca jejak Indonesia dalam empat tonggak. Buku-buku ini sekaligus membaca manusia Indonesia berserta tragika-tragikanya. Keempat tonggak tersebut: 1) Masa Kerajaan Hindu-Budha. 2) Masa Islam (Demak dan Mataram). 3) Masa kolonial. 4) Masa Republik. Untuk itu agar kemanusiaan terbuka, benar seperti yang dikatakan Gorki: the people must know their history.

Pemikiran Pram sangat erat kaitannya dengan angkatan muda dan revolusi. Pemuda menjadi unsur pertama yang Pram rindukan. Sosok pemuda itu salah satunya hadir lewat tokoh Minke yang tak lain sebagai representasi dari Sang Pemula, Tirto Adhi Surjo. Minke pemuda yang sadar posisi, yang mencungkilkan feodalisme dan menggerakkan rakyat agar tak berjiwa jajahan. Pemuda juga satu keping koin dengan revolusi. Revolusi yang diartikan perubahan masyarakat secara fundamental di segala segi, meluas dan mendalam. Menurut Pram: “Angkatan mudalah yang membuat revolusi”. Ini termaktub dalam tokoh Pram, seperti Saaman, Midah, Gadis Pantai, Farid, Larasati, dan lainnya.

Karya Pram sendiri sangat memihak pada perempuan, karena dalam karya Pram pribadi para perempuan disifati kuat, pejuang, dan tidak putus asa. Bahkan jika diperhatikan, dialog dalam tulisan Pram, percakapan tokoh perempuan selalu mengalir, menyenangkan, cerdas, dan literair. Misal antara Minke dan Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia. Berbeda ketika percakapan antara laki-laki dengan laki-laki, terkesan kaku, dingin, dan formal. Misalkan Galeng dengan Syahbandar Tuban dalam Arus Balik.

Buku ini cukup material dalam menggambarkan sosok Pram, juga humanis. Meski semelegenda apapun Pram dan karya-karyanya, bagi orang terdekatnya Pram juga manusia biasa. Dari kesaksian istrinya Maemunah Thamrin, Pram seperti halnya manusia lain: marah ketika rumah dan perpustakaannya dibakar, merasakan lapar, diusir mertua, dan punya banyak anak (sembilan anak). Tapi dia juga anomali bagi istri dan anak-anaknya, semisal dia tidak mau tahu menahu tentang dapur. Atau kisah miris Astuti Ananta Toer anak Pram yang tak pernah dibelikan mainan, karena mainan yang diberikan hanya buku.

Atau kisah Yudistira Ananta Toer yang merasa dingin oleh papinya sendiri. Yudi saat Pram keluar dari penjara ia ingin tidur dekat Pram, tapi Pram menyuruhnya pindah. Yudi mengulangi perbuatannya lagi tidur di dekat Pram, tapi Pram malah menaruh Yudi di kamar mandi. Sampai seminggu kemudian Yudi dibuatkan kamar sendiri. Atau ketika Yudi meminta kacamata pada Pram, karena matanya sudah tidak jelas ketika membaca, tapi Pram malah melempari Yudi dengan asbak. Kata Pram: Jangan pernah mengharapkan sesuatu dari orang lain. Kalau ingin sesuatu berusaha sendiri. Bagi saya pribadi ini begitu menyentuh, saya sampai membayangkan jika saya menjadi Yudi.

Ya, Pram yang sifatnya keras tak lepas dari masa lalu dan keadaan-keadaan yang menimpanya. Akan hidupnya yang pedas, panas, pun bahasa rock-nya cadas. Hingga di akhir hidupnya, Pram menghembuskan nafas terkahirnya dikelilingi dengan orang-orang yang menjadi sahabatnya, bukan mereka yang wah-wah. Pram hidup untuk memberi nyawa pada mereka yang ditindas, mereka yang lemah, dan mereka yang takut. Mengutip Pram: Kamu jangan takut dan maju untuk bicarakan ide-ide kamu. Sekali kamu takut, kamu kalah.

Dalam buku ini saya ingin memberi garis merah pada konsepsi Pramis yang dihadirkan Muhidin dan Pram kaitannya dengan individualisme pengarang. Pram pun menulis:

“Setiap pengarang kreatif hampir selalu seorang individualis, berwawasan mandiri, sulit untuk dapat menyesuaikan diri dengan orang lain, keadaan lain, apalagi bila sama sekali baru. Seorang individualis hanya mendengarkan apa yang menurut pikirannya sendiri lebih tepat atau lebih baik, tanpa atau kurang mengindahkan yang selebihnya… Kebiasaan kerja ini menimbulkan watak individualis, banyak kali melupakan atau tidak menggubris lingkungannya dengan tata tertibnya. Watak individualisnya menyebabkan ia tidak disukai oleh lingkungannya, apalagi oleh orang-orang yang mengutamakan tata tertib. Sebaliknya kemashurannya menyebabkan ia dikagumi. Ia hidup dalam dua ektremis di dalam masyrakatnya sendiri. Seidak-tidaknya: di Indonesia.” (NSSB: 115-116)

Di sini Muhidin begitu gegabah mengamini kata Pram tentang individualis pengarang. Saya curiganya Pram yang dalam buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu menulis dirinya menderita inco (inferior complex) dan minder akut mengakibatkan Pram berapologi seperti di atas. Bagi saya, jurang kematian pengarang justru hadir ketika pengarang sibuk dengan dirinya sendiri, dengan individualismenya sendiri. Karena ketika pengarang “bertapa dalam altar kesunyian pribadinya” pengarang menempatkan diri sebagai tuan dalam kerajaannya sendiri yang tak mungkin juga dia menjadi penindas baru dan tuan baru. Namun, yang menjadi semacam idiosyncratic pula, Pram dalam buku-bukunya saya rasa telah selesai dengan “individualitasnya”.

Kontradiksi antara individual dan sosial dalam Pramis begitu berbenturan—meski dialektis. Lagi pula konsep sosial tidak bisa sama dengan perjuangan individual yang soliter. Tetap saja meski Pram bilang individualis bagi saya bukan individual yang dimaksud, tapi lebih ke sikap independen. Ia lebih merujuk pada pengertian politis daripada taktis.

Judul Buku: Ideologi Saya Adalah Pramis (Sosok, Pikiran, dan Tindakan Pramoedya Ananta Toer)│ Penulis: Muhidin M. Dahlan │ Penerbit: Octopus Publishing House, Yogyakarta│ Cetakan: I, 2016 │ Peresensi: Isma Swastiningrum

Disalin dari: lpmarena