9 Langkah Mengatasi Kebuntuan Menulis bagi Mereka yang Kesurupan oleh Malas

Mengeluh adalah manusiawi. Maksudnya, melekat pada sifat-sifat manusia. Sebab, “manusiawi” adalah kata sifat. Bersifat manusia(wi). Termasuk di dalamnya mengeluh ketika buntu dalam menulis. Ada-ada saja dalihnya: sudah memulai, eh mesin macet. Macam-macam alasan mengapa mesin itu macet. Nah, Berikut tips jitu mengatasi kebuntuan menulis (writing block) yang efektif dan terpercaya sederhana:

  1. Pahami menulis itu kata kerja. Kalau tidak percaya, cek KBBI yang paling baru. Jadi, mesti diniatkan untuk bekerja. Namanya saja bekerja, kamu mesti berkeringat, badanmu remuk (kalau jarang bekerja). Kalau terbiasa bekerja menulis, mula-mula “badan remuk” menjadi semacam olahraga yang menyenangkan, baik raga maupun jiwa.

  2. Jangan terlalu percaya bahwa menulis itu mesti punya tempat yang menyenangkan: sirkulasi udara lancar, menghadap ke jendela dengan pemandangan pohon-pohon hijau dan pinus yang menari-nari diguncang angin siang, sebuah lapangan hijau di mama babi dan kijang bermain lompat tali,  atau air sungai yang mengeluarkan suara statis. Sekali kamu percaya itu, selamanya kamu menyugesti diri untuk menulis dengan persyaratan itu. Memangnya Sukarno itu menulis pleidoi “Indonesia Menggugat” itu di tempat yang enak. Memangnya Pramoedya Ananta Toer itu menulis Tetralogi Pulau Buru dan Tetralogi Arok Dedes di sebuah penginapan yang asri bestari. Tidak, Bung dan Nona, keduanya menulis dalam sebuah penjara dan kamp kerja paksa.

  3. Selalu siapkan perkap menulis yang dibutuhkan. Jangan sampai itu mengganggu konsentrasi. Pensil/pena, kertas catatan, sejumlah buku. Itu perkap zaman dulu. Perkap yang sekarang: kondisi laptop atau gawai yang tetap fungsional. Terutama sekali listrik. PLN berulah belum tentu bikin klar hidup dan mutung emoh menulis. Masih ada benda-benda manual di sekitar untuk bisa menulis cepat. Pensil/pena dan kertas itu luar biasa manfaatnya dalam menulis. Masih ada kok yang menulis tanpa tergantung kepada PLN pukimak itu. Sebut saja Arafat Nur penulis novel Lampuki itu. Sidoi tahu diri bagaimana bekerja sebagai penulis di wilayah yang “rawan gempa listrik”.

  4. “Laptop berat dibawa-bawa,” begitu keluhanmu ketika dibilangin menulis itu bisa di mana saja. Ya ampun. Nontonlah film-film jadul di mana penulisnya nenteng-nenteng mesin tik yang beratnya naudubillahisyaiton itu. Baik, situ punya smartphone ‘kan. Nah, semua fasilitas menulis ada di situ. Menulis itu bisa di mana saja, kecuali malasnya keterlaluan. Atau, pikun bahwa gawai cerdas itu bisa dipakai untuk menulis sepanjang halaman yang bisa dilakukan. Di Pekalongan, ada penjual warung soto ayam yang menulis novel lewat hape jadul. Nah!

  5. Soal camilan. Soal minuman. Ini semua sebetulnya bunga-bunga yang tak terkait langsung dengan kerja menulis. Tapi, biasanya hal-hal sepele ini yang bikin semangat menggebu menulis kendor lagi. Sudah memulai, eh lupa belum beli camilan, belum bikin minuman hangat. Jadi, siapkan dulu. Layani kebutuhan raga. Karena ini soal ketahanan pangan duduk.

  6. Sebaiknya banyak gerak badan. Lesu bekerja–bekerja apa saja, termasuk menulis–dalam banyak hal disebabkan oleh peredaran darah yang tak lancar. Gerak badan membuat otak segar. Enggak usah gerak badan bayaran seperti mesti ke Gym, ikut Yoga bertarif. Punya kaki kan? Ya, pakai itu untuk keliling kampung, untuk mengayuh sepeda sejauh-jauhnya, berlari sekuat-kuatnya. Kalau mau gerak badan sambil beramal saleh, tawarkan dirimu membersihkan masjid atau gereja terdekat: menyapu, ngepel, angkat bangku atau karpet, dan seterusnya.

  7. Jika kamu malas-malasan menulis, cobalah keluar rumah melihat pekerjaan orang lain. Dan sadarilah bahwa mencari uang itu tak mudah. Bahkan, seorang maling pun berhitung dengan cermat dan berhari-hari untuk melakukan aksi jahatnya. Sana, kembali ke meja tulis, kembali di depan laptop, kembali ke smartphone untuk bekerja. Hah, malu dengan petani-petani setiap tiga bulan panen. Lha, kamu, sudah satu tahun dan bahkan bertahun-tahun tulisan enggak panen-panen. “Sori Gus, saya sedang menanam kelapa dan cengkeh. Jadi, waktunya superrrr lama.” Akur dengan dalihmu, Bung, Nona.

  8. Jika keinginan menulis memang sedang terhambat, perbanyak saja membaca. Dan, membaca yang baik salah satunya adalah menyimpan, adalah mendokumentasikan bacaan. Mulai sekarang, jika ada kendala menulis dengan segala alasannya, ambil buku dan bacalah. Baca koran, dan simpanlah lewat kerja penglipingan yang efektif. Soal membaca ini bukan soal mudah ternyata.

  9. Sebetulnya tak ada penyakit menulis yang dinamakan: “kebuntuan menulis” itu jika kerja ini dipahami sebagai proses yang melibatkan banyak hal: riset, pencatatan lapangan, perenungan, dan seterusnya. Jika memang enggak betah di depan laptop dan jengah dengan smartphone, kerjakan kerja menulis yang lain: meriset di lapangan. Ambil kendaraan, kunjungi museum, masuk hutan dan mencatat nama-nama tumbuhan serta mengoleksi data jenis suara burung yang bernyanyi pukul satu siang. Jika kamu tinggal di kota besar, terabas kemacetan ke toko buku, atau bersilaturahmi dengan sahabat yang punya koleksi ini dan itu, cerita ini dan itu. Dan pulang! Lihat hasilnya. Eh, belum juga santai duduk di hadapan meja kerja. Ya, sudah, lakukan tugas menulis yang lain berupa kerja “refleksi”. Merenung. Merenung. Merenung. Hingga bengong dan enggak tahu mau melakukan apa. Jika pun belum bisa juga, ya tidur saja. Sebab, malas itu pada dasarnya hakmu yang harus kamu gunakan dengan setepat-tepatnya dan selama-lamanya sampai usiamu terkuras.

Bagaimana? Klir,  ya. Akur.