Penyair dan Puisi Yogyakarta (1): Yogyakarta sebagai Kampung Halaman Kedua

Yogyakarta adalah geriap titik nol. Senopati hingga Mangkubumi. Jalan kebebasan, Perjuangan. Pertaruhan. Puisi ditahbiskan para pejalan sunyi. Penjaga nurani ~ Otto Sukatno CR[1]

Pelabelan nagari yang lahir pasca Perjanjian Giyanti 1755 ini nyaris menjadi klise: “Kota Pendidikan”, “Kota Budaya”, “Kota Pelajar”, dan pada akhirnya “Kota Revolusi”. Belakangan kita juga mendengar label “Serambi Madinah”, “Kota Buku”, dan kini “Kota Penyair”.

Karena kekuatan label “Kota Pendidikan” itu, pemuda-pemuda terpilih memasuki gerbang kota dari tiga penjuru lewat jembatan persekolahan. Perkara mereka menjadi bajingan atau makin religius setelah menghirup udara kota yang disesaki oleh sekolah Muhammadiyah ini menjadi soal lain. Dan, nanti.

Berkat “dunia pendidikan”, bangunan asrama nyaris seluruh kabupaten di luar Jawa tumbuh bersisian di pusat dan pinggiran kota. Lahirnya bisnis sewa-kamar (kos), lalu rental komputer, cuci-baju, dan warung (telepon, internet, makan) merupakan anugerah yang disumbang label “Kota Pendidikan”.

Berkat “dunia pendidikan”, kota ini menjadi panggung “teater kecil”, sebuah melting-pot. Secara demografik, hal yang sama terjadi dalam masyarakat puisi di Yogyakarta. Tugu dunia puisi di kota ini secara evolutif tersusun dari batu-bata ke-Indonesia-an. Para penyumbang dinamika kepenyairan begitu beragam, begitu plural. Tali pusar mereka boleh saja tertanam di kampung masing-masing, namun tungku baja kepenyairan mereka dibangun di atas guncangan jiwa, gesekan pengalaman dengan segala derita ikutannya. Jogja, meminjam judul puisi Indrian Koto dari Pesisir Selatan, Sumatera Barat, menjadi “kelahiran kedua”.

Mudah mengonfirmasi “kebenaran” paragraf di atas. Anda hanya cukup membuka “buku-sensus”[2] para penyair yang beternak dan berniaga dengan kata-kata di kota ini. Dan, Anda mendapatkan kota/kabupaten di Indonesia inilah yang menjadi penyumbang sumber daya manusia (puisi) di Yogyakarta. Tentu saja terdapat sumber daya internal[3] dalam provinsi berjuluk “Jogja Istimewa” ini.

Ini antara lain daftar kota/kabupaten yang melahirkan (kelak) seorang penyair dan menyumbang dinamika kepenyairan (di) Yogyakarta: Aceh Timur[4], Bandung[5], Bangka[6], Banjarmasin[7], Bangkinang[8], Banyumas[9], Batu[10], Belitung[11], Bengkalis[12], Blora[13], Brebes[14], Cirebon[15], Demak[16], Denpasar[17], Enrekang[18],  Gombong[19], Indramayu[20], Jakarta[21],  Jember[22], Jepara[23],  Jombang[24], Karanganyar[25], Kediri[26], Kendal[27], Klaten[28], Lamongan[29], Lombok[30], Magelang[31], Magetan[32], Majalengka[33], Majene[34], Makassar[35],  Merauke[36], Muara Enim[37], Nagara[38], Nganjuk[39], Ngawi[40],  Pati[41], Pekalongan[42], Pemalang[43],  Perbaungan[44], Pesisir Selatan[45],  Purbalingga[46], Purwokerto[47], Rembang[48], Semarang[49], Singaraja[50], Solo[51], Sragen[52],Subang[53], Sukabumi[54], Sumba[55], Sumenep[56], Sungai Itik[57], Tasikmalaya[58], Tebing Tinggi[59], Tegal[60], Trenggalek[61], Tuban[62], Wonogiri[63], Wonosobo[64].

Sensus seperti ini sekilas tiada guna sama sekali. Namun, seiring naiknya tensi sosial dan agregasi kebencian ras dan identitas dalam masyarakat sensus semacam ini bisa jadi punya nilai-guna. Inilah situasi ketika orang hanya karena berbeda pendapat dengan mudah menunjuk orang lain sebagai “pendatang” yang dilawankan dengan “pribumi”. Karena si mereka “pendatang”, maka tendensi untuk mengusirnya ketika kesempatan kuasa berpihak juga membesar.

Nah, sensus seperti ini boleh dibilang sebagai usaha “jaga-jaga”. Bahwa dari sisi sensus penyair Yogyakarta ini kita mendapatkan kenyataan yang tidak homogen, tunggal, solo. Penyair yang berasal lebih dari 60-an kota/kabupaten ini menunjukkan kemajemukan; bukan saja potensi, tapi juga ekspresi kultural bawaan. Sensus penyair—sebagaimana sensus perupa—menunjukkan kenyataan kota ini digerakkan secara bersama oleh asal yang kompleks, oleh tenunan usul kebhinekaan rupa-rupa wajahnya.

 

[1] Otto Sukatno CR, “Labirin Kota Yogyakarta” dalam Di Pangkuan Yogya (Ernawati Literary Foundation, 2013: 12)

[2] “Buku-sensus” yang dimaksud adalah sejumlah antologi bersama para penyair, antara lain Antologi Biografi Penyair di Yogyakarta: Laporan Penyusunan (Balai Bahasa, Naskah, 2014); Lintang Panjer Wengi di Langit Yogya (Pesan Trend Budaya Ilmu Giri, 2014; Pawestren: Kumpulan Puisi Penyair Perempuan Yogya (Madah dan Ernawati Literary Foundation, 2013); Di Pangkuan Yogya: Kumpulan Puisi Penyair Yogyakarta (Ernawati Literary Foundation, 2013); Malioboro: Antologi Puisi Indonesia di Yogyakarta 1945-2000 (Balai Bahasa Yogyakarta, 2007); dan tentu saja Seri Tonggak yang disusun Linus Suryadi. Nama-nama yang tersebutkan hanya sebagian kecil.

[3] YOGYAKARTA: Andy Sri Wahyudi, Bajuri Dullahjoesro, Budi Nugraha, Catur Stanis, Darwis Khudori, Dharmadji Sosropuro, Dhenok Kristianti, Fitri Merawati, Gunawan Maryanto, Hari Leo, Indra Tranggono, Marfu’ah, Mustofa W. Hasjim, Mutia Sukma, Nana Ernawati, Nono Diono Wahyudi, Theresia Hardiyanti, Wachid Eko Purwanto; BANTUL: Anes Prabu Sadjarwo, Angger Jati Wijaya, Budhi Wiryawan, Ikun Sri Kuncoro, Jabrohim, Sigit Sugito, Singgih Sudarmanto ; SLEMAN: Irwan Kusumawardhana, Linus Suryadi AG, Retno Iswandari, Sri Wintala Achmad, Susi Purwani ; GUNUNGKIDUL: Atin Leyla Sukowati, Esti Nuryani Kasam, Endang Susanti Rustamaji, Hasta Indriyana, Margita Widiyatmaka ; KULONPROGO: Satmoko Budi Santoso, Latief S. Nugraha.

[4] Jingga Gemilang

[5] Yopi Setia Umbara

[6] Sunlie Thomas Alexander

[7] Faruk H. T.

[8] Y Thendra BP

[9] Ginanjar Wilujeng

[10] Sindhunata

[11] Iqbal H. Saputra

[12] Sutirman Eka Ardhana

[13] Siti Marni’ah

[14] Dimas Indiana Senja

[15] Arifin C. Noer, Faiz Ahsoul

[16] Evi Idawati, Fairuzul Mumtaz

[17] Omi Intan Naomi, Komang Ira Puspitaningsih

[18] Mohammad Aswar

[19] Tetet Srie WD

[20] Kedung Darma Romansha, Alif Samsul Ma’arif

[21] Darmanto Jatman, Sukma Putra Permana

[22] Achmad Kekal Hamdani

[23] Ari Basuki

[24] Abidah El Khalieqy, Emha Ainun Nadjib

[25] Otto Sukatno CR

[26] Zaenal Arifin Thoha

[27] Ahmadun Y. Herfanda

[28] Racmat Djoko Pradopo

[29] Abdul Wachid, Aguk Irawan

[30] Irwan Bajang

[31] Dorothea Rosa Herliany

[32] Iman Budhi Santosa

[33] Abdul Azis S.

[34] Bustan Basir Maras

[35] Daru Maheidaswara

[36] Rombe Nuryanto

[37] Wadie Maharief

[38] Nur Wahida Idris

[39] Bambang Darto

[40] Hamdy Salad, Sedopati Sukandar

[41] Ragil Suwarno Pragolapati, T. S. Pinang, Ulfatin C. H.

[42] Slamet Riyadi Subrawi

[43] Arwan Tuti Artha

[44] Nasjah Djamin

[45] Indrian Koto, Raudal Tanjung Banua

[46] Suminto A. Sayuti

[47] Lukman Asri Alisyahbana

[48] Muhammad Belhaqi Lathif

[49] S. Arimba

[50] I Dewa Putu Wijana

[51] Bakdi Soemanto, Sapardi Djoko Damono, W. S. Rendra

[52] Sri Harjanto Sahid

[53] Tia Setiadi

[54] Joko Pinurbo

[55] Umbu Landu Paranggi

[56] Abdul Hadi WM,  Badrul Munir Chair, Bernando J.  Sujibto , F. Rizal Alif, Jufri Zaituna, Matroni Muserang, Shohifur Ridho Ilahi, Selendang Sulaeman, Ali Fakih, Mawaidi D. Mas

[57] Ali Antoni

[58] Rina Ratih

[59] Saut Situmorang

[60] Agus Noor, Boedi Ismanto SA

[61] Andrik Purwasita

[62] Daruz Armedian

[63] Amien Wangsitalaja, Aminudin Rifai, Chandra Menthiek Syam

[64] Ardy Priyantoko

*Dibacakan dalam “Orasi Budaya” Pesta Puisi Akhir Tahun oleh Studio Pertunjukan Sastra, Taman Budaya Yogyakarta, 24 Desember 2016. Dimuat di bab penutup buku Yogyakarta Halaman Indonesia: Kumpulan Puisi (SPS, 2016)