Puisi dan Penyair Yogyakarta (3): Semangat dan Pergeseran Ruang

Ada keluh. Ada airmata. Ada keterasingan. Dan, limpahan-limpahan derita itu bekerja beririsan dengan gempuran pembangunan infrastruktur yang menggila dalam kota yang menjual dirinya habis-habisan, setandas-tandasnya. Seusai kota digempur bencana, penyair menulis ini: “sedang dijual sebuah kota … umbul-umbul sebuah obralan … habis! habis! / belilah kota kami”[1]

Baca pula teriakan parau ini: “Kota dikepung minimarket 24 jam/ kedai makan impor, kriuk ayam goreng diantar di depan pintu”.[2] Nah, di kota macam itulah penyair terus membisikkan pada pedalaman jiwanya bahwa ia terlahir kembali dan “berebut tempat dengan kecemasan”.[3]

Dalam ekosistem seperti itu penyair hidup. Mengisi ruang-ruang lama, menciptakan ruang-ruang baru, serta berspekulasi dan sekaligus beradaptasi dengan pola berkomunikasi yang ditawarkan zaman. Penyair mengantongi kertas, lalu menemukan dalam sakunya ada pager. Beberapa tahun kemudian, penyair mulai belajar mengisi pulsa dari honor puisi untuk telepon genggam; dari yang masih memencet tuts untuk sms hingga layar sentuh untuk media sosial.

Yang abadi dari perubahan itu bahwa puisi masih diciptakan. Saban minggu di koran-koran yang lahir di sepanjang abad ke-20 masih memuat puisi. Puisi saban waktu masih wira-wiri dan tampak cukup sibuk dalam linimasa media sosial, seperti Facebook dan Twitter.

Jika puisi lahir, maka ruang bagi pertunjukan puisi di ruang-ruang khusus masih ada. Saya belum melihat tanda-tanda berakhirnya kehidupan penyair Yogyakarta saat melihat masih ada yang membuat poster-poster pertunjukan puisi. Saya bahkan tak berani berpikir kelam saat masih ada yang membagi pengumuman: “Bincang-bincang Sastra SPS edisi 134: ‘Peluncuran Kumpulan Puisi Doa Bulan untuk Pungguk karya Nuryana Asmaudi SA’ / Minggu, 27 November 2016 / Pukul 19.30 WIB /di Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta”.[4]

Akronim SPS dalam pengumuman itu adalah Studio Pertunjukan Sastra. Sebuah badan yang cair dan terkenal sebagai penyelenggara kegiatan sastra yang paling konsisten sejak alaf ketiga baru saja merekah. SPS didirikan Hari Leo AER dan dibantu sekondannya yang tak pernah kehabisan tenaga untuk sastra, Mustofa W. Hasyim. SPS telah memanggungkan sastra sejak tahun 2000 dan mewacanakan sastra dalam ratusan purnama sejak 2005. Memakai ruang Asdrafi hingga kini di Taman Budaya Yogyakarta, SPS mempertemukan pelbagai medium ekspresi, menggelar silaturahim agensi atau pelaku, dan sekaligus memberitahu sebuah sikap: sastra yang dipertunjukkan di atas panggung masih hadir di hadapan publik. “Kalau sampai sekali saja lowong, acara tersebut mungkin sudah mati duluan,” kata Hari Leo yang bernama asli Hari Astorenggo. Walau telah tiada pada 2013, warisan Leo ini tetap ada dan menjumpai publik sastra.[5]

Konsistensi SPS dalam mempertunjukkan sastra (puisi) setara dengan keajegan penyelenggaraan Festival Kesenian Yogyakarta (FKY), Biennale Jogja, dan Festival Gamelan.

SPS memang tak sendiri. Tembi Rumah Budaya yang terletak di Timbulharjo, Sewon, Bantul sudah melewati purnama ke-63 untuk menyelenggarakan Sastra Bulan Purnama.[6] Dari sisi kuantitas, itu sebuah pencapaian yang tak bisa dianggap remeh. Konsistensi tangan dingin Ons Untoro di “Sastra Bulan Purnama” untuk memanggungkan sastra adalah anugerah dalam hal dinamika kepenyairan; bahwa ruang-ruang ekspresi masih dipelihara dengan baik dan ajeg.

Lama matisuri, akhirnya gedung yang sebelumnya Purna Budaya itu hidup kembali pada Maret 2007. Mula-mula bernama Pusat Kebudayaan UGM, lalu berganti nama menjadi Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri Universitas Gadjah Mada (PKKH UGM). Di gedung serbaguna ini beragam kegiatan kebudayaan terselenggara; mulai dari seminar dan diskusi hingga pentas membaca dan mengkaji puisi secara reguler.[7]

Balai Bahasa yang beralamat di Kotabaru, Gondokusuman, secara rutin melakukan pengkajian dan penelitian sastra, baik sastra daerah maupun Indonesia. Balai Bahasa tertua di Indonesia ini bukan saja menjadikan gedungnya sebagai ruang terbuka bagi ekspresi kreativitas, tapi juga turut aktif menyelenggarakan dan mendukung kegiatan pertunjukan dan pembacaan puisi di pelbagai tempat. Minimnya lembaga yang secara khusus menyimpan artefak dunia sastra, termasuk puisi, Balai Bahasa meyakinkan dirinya sebagai ruang terpercaya melakukan kerja itu. Paling tidak, buku-buku puisi para penyair Yogyakarta terkoleksi secara representatif di perpustakaannya yang setengah terbuka untuk publik.

Ketika kehadiran puisi makin jarang di Bentara Budaya Yogyakarta (BBY), ruang-ruang lain yang dikelola secara independen oleh pelaku-pelaku sastra (penyair) tetap menyediakan untuk kehidupan puisi. Komunitas Ngopinyastro yang didirikan pada 1 Juni 2011 dan menjadi satu bagian dengan Warung Kopi Bjong di Jl. Wahid Hasyim, Nologaten, Depok, Sleman. Pada perjalanannya kemudian, komunitas yang didirikan triumvirat M. Akid Aunulhaq, Rabu Pagisyahbana, dan Ronny Matuda ini dikenal publik sebagai panggung sastra nomaden. Memanggungkan dan menghidupkan malam musik, puisi, prosa dari kafe ke kafe, dari kampus ke kampus, dari festival ke festival.[8]

Apresiasi Sastra (Apsas) yang penyelenggaraannya pada 2016 memasuki tahun ke-8 secara konsisten masih menghadirkan puisi-puisi anggotanya untuk diperkenalkan. Mengambil lokasi di berbagai komunitas dan warung sebagai lokasi penyelenggaraan, komunitas berbasis internet ini bukan hanya menjadikan Yogyakarta sebagai basis dan magnet, melainkan mempertemukan pelaku sastra dari berbagai kota dan negara. Dari Apsas ke 4 hingga ke 8, Apresiasi Sastra menggandeng Radio Buku sebagai partner penyelenggara, khususnya lokasi.

Jual Buku Sastra[9] yang didirikan keluarga penyair Indrian Koto dan Mutia Sukma lebih identik dengan gerai penjualan buku-buku sastra. Namun, kehadirannya tak sekadar sebagai gerai perniagaan dengan slogan “sebab tak semua buku sastra tersedia di toko buku”, tapi juga ruang penyelenggaraan kegiatan sastra, termasuk peluncuran dan diskusi buku-buku puisi yang baru terbit dari penyair-penyair muda.

Warung Kopi Lidah Ibu (Mrican/Sleman) dan kemudian Dongeng Kopi (Depok/Sleman) dan Angkringan Mojok (Ngaglik) adalah kedai-kedai alternatif yang kerap menyediakan ruang yang luas bagi pergelaran puisi. Di Dongeng Kopi[10], umumnya acara-acara sastra dihelat oleh sekondannya yang berbagi ruang, yakni Indie Book Corner (IBC). Di Warkop Lidah Ibu penyelenggara lebih beragam. Biasanya jaringan yang dibangun oleh Komunitas Lidah Ibu yang memang fokus pada bahasa dan kajian budaya. Sementara itu, di Angkringan Mojok (Angmo), sebagaimana namanya “Mojok”, terhubung dengan portal penulisan alternatif mojok.co. Dengan jejaring Mojok yang juga memiliki lini penerbitan inilah pergelaran bedah buku—termasuk buku sastra dan puisi—beberapa kali digelar di sini.

Warung Lico (Banguntapan) dan Radio Buku[11] (Sewon) adalah dua ruang dan sekaligus komunitas yang secara insidental dan terbuka untuk penyelenggaraan acara-acara sastra/puisi. Warung Lico adalah kedai yang diusahakan secara independen oleh komunitas Gerakan Literasi Indonesia.[12] Komunitas ini getol dan kritis menyikapi bukan saja dunia kesusasteraan, tapi juga isu-isu agraria. Sementara itu, Radio Buku bukan saja sebuah tempat, namun juga kerja literasi tanpa jeda. Termasuk menyimpan buku puisi dalam sebuah perpustakaan komunitas yang terkelola. Di komunitas ini, puisi tak sekadar dihelat di luar ruang, tapi juga dibacakan dalam studio dan disebarkan via streaming. Juga, lewat sekondan Radio Buku, yakni Warung Arsip, puisi-puisi yang terbit di koran-koran saban Minggu dikoleksi secara ajeg.

Bukan hanya ruang yang masih tersedia. Peristiwa-puisi yang berbentuk “Forum” atau “Temu Penyair”, katakanlah demikian, biasanya selalu hadir sebagai ajang berkomunikasi dan saling memperkuat posisi. Walau sifatnya adhoc, sementara, pertemuan-pertemuan penyair menciptakan ruang komunikasi tersendiri yang khas. Tentu saja, soal komunikasi ini justru berlangsung intens dalam jagad internet di mana “Di Batas Yogya”—pinjam judul puisi Kirjomulyo—melebur tanpa pagar.

[1] Omi Intan Naomi, “Di Tugu” dalam Sembilu (FKY, 1991)

[2] Indrian Koto, “Yogyakarta: Kelahiran Kedua” dalam Di Pangkuan Yogya (Ernawati Literary Foundation, 2013: 2)

[3] Indrian Koto. Idem

[4] Klik dan baca [ radiobuku.com/2016/11/27-november-2016-bincang-bincang-sastra-edisi-134-doa-bulan-untuk-pungguk-studio-pertunjukan-sastra-sps-yogyakarta ]

[5] “Hari Leo AER: Sastra Hadir Mengalir” dalam Profil Seniman dan Budayawan Yogyakarta #13, (TBY, 2014: 48-60).

[6] Klik dan baca [ tembi.net/2016/12/13/wajah-ibu-di-sastra-bulan-purnama ]

[7] Klik dan baca [ pkkh.ugm.ac.id/mathori-a-elwa-bertajuk-yang-maha-syahwat ]

[8] Klik dan baca [ bjongngopi.blogspot.co.id/2014/12/ngopinyastro.html ]

[9] Klik dan baca [ jualbukusastra.com ]

[10] Klik dan baca [ dongengkopi.id/dapur/tentang-dongeng-kopi ]

[11] Klik dan baca [ radiobuku.com/tentang-kami ]

[12] Klik dan baca [ literasi.co/wp-content/uploads/2015/11/Falsafah-Literasi.co_.pdf ]

*Dibacakan dalam “Orasi Budaya” Pesta Puisi Akhir Tahun oleh Studio Pertunjukan Sastra, Taman Budaya Yogyakarta, 24 Desember 2016.