Ketika Keributan Agama Makin Reguler dan Ditangani dengan Metode PU Menambal Jalan Berlubang

Dinamit terbesar dalam linimasa keributan agama di tahun 2016 tentu saja “Al-Maidah Ahok”. Terbesar dalam soal jumlah massa yang berdemonstrasi di jalan raya, sekaligus magnituda politik yang mengikutinya. Yang kecil-kecil banyak dan bahkan sudah reguler dan kita hapal lenggak-lenggoknya.

Umumnya keributan itu hanya terbagi dua: antar pemeluk agama yang sama dan pemeluk agama yang berbeda. Antarpemeluk yang sama, apalagi isunya kalau bukan Ahmadiyah dan Syiah dengan segala turunan politik lokal dan internasionalnya, termasuk #SaveAleppo. Kalau antarpemeluk yang berbeda biasanya puncak ributnya adalah ritus Natal dengan segala fesyennya; Tahun Baru (Masehi) dan Valentine hanya riak-riaknya.

Sebetulnya ada satu lagi pendorong ledakan dinamit itu, yakni ritual antisains: isu Borobudur warisan Sulaeman (ilmuwan purbakala tampak seperti kaum pandir) dan isu bumi datar (ahli atronomi tak ubahnya seperti kaum idiot pemburu akar-akaran pohon khuldi).

Dan, semua dinamit itu sudah berlangsung dengan sangat reguler dan intensif. Dari tahun ke tahun, dari masa ke masa. Ada dinamit dengan hulu ledak eksplosif, tapi ada pula berhulu ledak kumur-kumur.

Sejarah sudah mencatat sebaik-baiknya ratusan dinamit yang sama. Sejak Tjokroaminoto yang membawa ribuan laskar dari Surabaya menggeruduk redaksi Djawi Hiswara di Surakarta karena kasus artikel “Nabi Muhammad ngombe ciu” tahun 1918 hingga propaganda matinya Gusti Allah (1963) dan pembubaran perkaderan PII di salah satu masjid di Kanigoro Kediri yang menjadi logistik spiritual pembantaian massal di Kediri dan seantero Jawa Timur tahun 1965.

Di tahun 70-an, dinamit itu bisa dilacak dari kasus “Langit Makin Mendung” HB Jassin (1970), Lemkari (1971), Islam Watu Telu (1976), Aliran Perjalanan Sumedang (1976), penyebaran pamflet Ahmad Arabiyah yang meresahkan (1978), heboh ajaran “Kepribadian” (1978), rok mini (1978), pembubaran Latihan Mujahid Dakwah yang diselenggarakan Imaduddin Abdurrahim di ITB di mana Bang Imad ditangkap karena kegiatan subversifnya ini (1978), hingga pengadilan aliran Darul Hadis (1979).

Diawali dengan penghancuran NII/Jihad Fisabilillah Adah Djaelani (1983), pemaksaan Asas Tunggal melahirkan tragedi Tanjung Priok (1984) bersamaan dengan diharamkannya Syiah oleh MUI (1984) dan heboh pelarangan Rhoma Irama memasukkan ayat suci dalam musiknya (1984).

Pada dekade 80-an ini, dinamit berhulu ledak ringan muncul di Blora dengan kasus apkiran/kertas bekas cetak Quran yang dipakai menulis nomor butut SDSB (1985) yang disusul dengan heboh gambar Nabi mengendarai buroq di Harian Sinar Pagi, Jakarta (1987), penggerudukan Ajaran Sungsang di Pekalongan (1988), pembekuan Lembaga Karyawan Islam (Lemkari) (1988), serta larangan tasawuf Djailani di Kalimantan Selatan (1988).

Yang berdarah dari ledakan dinamit keagamaan kita pada dekade 80-an tentu saja dimulai dari peristiwa Cicendo/Bandung yang disusul pembajakan pesawat Woyla dari gerakan usroh Abdullah Sungkar  yang dihelat Imron bin Zein (1981) adalah salah satu yang menonjol dan sekaligus menjadi tonggak masuknya bibit militan dalam kampus, tragedi Tanjung Priok (1984), dan meletusnya peristiwa Talangsari, Lampung (1989).

Memasuki dekade 90-an, tablod Monitor yang dipimpin Arswendo melahirkan protes dan kehebohan panjang; seakan menyambung kehebohan serupa setahun sebelumnya, “Ayat-ayat Setan” Salman Rushdie. Sementara HB Jassin untuk kedua kalinya memicu debat panjang “Al-Quran Bacaan Mulia” (1993). Pamungkas abad 20 ini diakhiri dengan munculnya isu kiamat 9/9/99 di Bojong Gede Bogor yang menewaskan tiga warga. Tentu saja, yang paling berdarah adalah DOM Aceh (1990-1998), santet Banyuwangi (1998) yang setahun kemudian disusul kerusuhan Ambon dan Poso (1999) yang melahirkan malapetaka dengan kerusakan sosial yang luar biasa fatalnya.

Untuk dinamit keagamaan di abad 21, Anda tentu mengikuti dengan sepersis-persisnya ledakan macam apa yang terjadi. Selain heboh Lia Aminuddin (2000), Bom Bali yang melahirkan perang semesta terhadap terorisme di pelbagai daerah (2002), Dom Aceh jilid II (2003), hingga pembakaran masjid Ahmadiyah di Jawa Barat, kasus kekerasan Syiah di Sampang, penyegelan gereja di Bogor yang hingga kini penyelesaiannya “ditunda”, dan pembakaran masjid/mushola di Tolikara, Papua.

Proyek Jalan Berlubang

Saya menuliskan kembali linimasa itu, tujuannya tak lain memberitahu Anda begitu kayanya perbendaharaan peristiwa dari ledakan sosial yang dipicu oleh dinamit keberagamaan kita. Kita kaya pengalaman menjalani dekade demi dekade dengan dinamit yang sama yang diam-diam maupun terang-terangan kita kepit dalam selimut tidur kita yang tebal.

Yang menarik adalah “pesona” dinamit keagamaan itu ditangani sebagaimana halnya negara ini menangani “jalan berlubang”. Metafora “jalan berlubang” ini saya temukan dalam salah satu judul buku katalog Biennale Jogja XII: Equator #2 yang mengangkat tema Hubungan Indonesia-Arab. Dalam katalog itu, hubungan dua kawasan digambarkan sebagai “jalan berlubang”.

Saya kira metafora itu bisa juga kita pakai untuk melihat bagaimana dinamit keagamaan yang membobardir jalan keagamaan kita di seantero Nusantara itu dengan meninggalkan lubang menganga tidak keruan.

Umumnya ada tiga jenis kerusakan jalan: bergelombang, berlubang, dan putus/longsor yang terjadi pada “jalan negara” maupun “jalan alternatif”. Umumnya, kasus jalan putus cepat diselesaikan oleh Kementerian Pekerjaan Umum/Negara karena sifatnya kasat-mata dan gampang disorot media.

Tapi lain halnya dengan “jalan bergelombang” atau “jalan berlubang”. Ada ciri yang khas dalam penanganannya. Pertama, jalan itu dibiarkan saja. Ketika sudah ada “korban”, PU/Negara baru melakukan perbaikan dengan cara umum dan ikonik: “menambal” seadanya. Kedua, menambal jalan berlubang itu selalu untung. Ia adalah proyek menggiurkan. Pada 2013, misalnya, negara mengeluarkan bujet 50 T untuk menambal beberapa titik berlubang di ruas Pantura Jawa jelang arus mudik Lebaran. Dan tiap tahun penambalan itu rutin dilakukan.

Ketiga, supaya jalan itu berlubang lebih cepat agar kembali pada bagian kedua (anggaran proyek mengucur lagi), maka dipakai bahan seadanya. Atau jika tidak, jalan berlubang itu ditambal di musim hujan. Betul, jalan sudah ditambal, tapi tonase kendaraan lebih dari 10 ton tetap dibiarkan lewat. Hasilnya, jalan tetap berlubang lebih cepat seperti yang diperkirakan.

Anda tentu saja bisa mengganti frase “PU” itu dengan “Depag”/“Kementerian Agama” dan “MUI” yang bekerjasama dengan “BIN”, “Polri”, dan “unsur-unsur terkait” ketika menangani sumbu dinamit yang membuat jalan keagamaan kita terus berlubang dari dekade ke dekade.

Kredit image: Ichwan Pras
  • Pertama kali dipublikasikan Harian Solo Pos, 3 Januari 2017, “Solusi Tambal Sulam Keributan Agama”.