Selibat di Balai Bahasa Yogyakarta

Kalau disebut alamat, barangkali kamu tak akrab dengan posisi gedung Balai Bahasa ini: Jl I Dewa Nyoman Oka 34, Kotabaru, Yogyakarta. Namun, menjadi mudah dalam pikiran–paling tidak buat orang macam saya–ketika balai bahasa tertua di Indonesia ini dinisbahkan dengan frase: “Masjid Syuhada”. Ya, balai ini sekira 100 meter sebelah utara masjid ikonik di Yogya itu. 

Usia Masjid Syuhada lebih muda 4 tahun ketimbang Balai Bahasa ini. Balai Bahasa berdiri pada Februari 1948 saat pusat pemerintahan Indonesia hijrah ke Yogyakarta. 

Walaupun sudah berusia uzur dan hanya berselisih tiga tahun dari usia Republik, saya baru bisa merasakan atmosfer Balai Bahasa saat mengisi lokakarya penulisan esai selama enam pekan, November-Desember 2016. Ini pun karena perantaraan Tuan Latief si Penyair yang sekaligus ambtenaar muda di balai yang dipimpin pertama kali Amir Dahlan. Hmm,  “Dahlan”. Klan. 

Saya memasuki beberapa ruangannya yang jembar dan lengang. Plafonnya yang tinggi khas bangunan kolonial yang sudah direnovasi dan cat putih-gading. Ruangan-ruangan dinamai dengan sejumlah nama pengarang dan ahli bahasa sekaligus seperti Sutan Takdir Alisjahbana. 

Perpustakaan Balai Bahasa yang setengah tertutup itu (boleh baca tapi tak dipinjamkan kecuali pegawai internal)  juga menjadi tempat yang asyik untuk merenung. Merenungkan bahasa daerah yang kian hari kian musnah, kamus yang makin tebal,  juga merenungkan nasib hidup yang kurang beruntung dengan dunia benda yang fana dan menggoda. 

Saya ke Balai Bahasa kadang sendiri, tapi suatu kali saya bersepeda dengan anak saya Dipa Pinensula Whani. Si anak ini tak betah dengan kesunyian yang dingin oleh aircon. Ia berkali-kali mengajak minggat dan pindah ke Perpus Kota yang berjarak 300 meter di sebelah timur. 

Saya menyukai kesendirian Balai Bahasa yang mengelola bahasa baku yang sunyi dan menjauh dari gemerlapnya bahasa politik yang mengendarai media sosial. Buku-buku tentang bahasa, puisi, prosa bisa dibaca di sini. Dan, sangat bisa diandalkan. 

Yang perlu diketahui, Kotabaru menjadi semacam “segitiga bermuda” perpus keren: Kolosani, Balai Bahasa, Perpustakaan Kota. 

Dan, Balai Bahasa memanggil saya yang merupakan satu dari 23 penulis novel yang berdiam di Yogyakarta untuk menuliskan kisah individual bagaimana melahirkan novel di tahun 2017.

Kisah lahirnya buku Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur! saya tuliskan untuk Balai Bahasa. Di bulan Januari,  setelah 14 tahun sejak cerita itu hadir. 

Sepeda Lipat Terlibat (Selibat)  di Balai Bahasa Yogyakarta