Sorogan Esai di Sewon

Sorogan merupakan sistem atau metode pendidikan yang akrab ditemukan di pesantren. Seorang santri belajar secara individual, satu per satu, menyodorkan kitab kepada kiai. Relasi belajar macam ini mendekatkan si santri dengan kiai; bukan saja hubungan diametral antara si murid dan si guru, melainkan kedekatan emosional. Sistem pendidikan sorogan inilah kita bisa memahami jika seorang santri marah besar jika kiainya dilecehkan dengan tak senonoh.

Bukan soal marah-marahnya itu yang ingin saya ungkapkan di sini. Namun, bagaimana metode sorogan menjadi sesuatu yang sangat langka ketika pendidikan diseragamkan, bersifat massal, dan kita kehilangan hubungan yang intens antara guru dan murid. Jika kamu menemukan humor-homor pesantren di mana santri dan kiai bisa begitu dekat dan humanis hubungannya, pahamilah bahwa itu hasil kasat mata dari organisme yang dihasilkan sorogan.

Di Indonesia Buku, wabilkhusus lagi di Radio Buku, peng(h)ajaran esai dengan metode sorogan ala pesantren ini diterapkan secara maksimal. Bukan hanya karena kepala sekolahnya, Fairuzul Mumtaz, adalah santri kalong serupa kelelawar berpindah-pindah pohon jambu antarkota antarprovinsi, melainkan sistem ini disadari betul ampuh mendekatkan antara peserta belajar dengan editor.

Si santri esai menyetor hasil pergulatan yang diperolehnya dari riset berupa kata dan kalimat. Setiap kata dan kalimat dibacakan sekerasnya oleh si santri esai. Jika ada kata yang “aneh” dan asal taruh, langsung ditegur. Jika ada kalimat yang tersendat-sendat dibaca, editor membetulkannya. Terkadang terjadi debat kecil dan editor mengalah karena kukuhnya si santri esai mempertahankan kata yang ia gunakan.

Dan, kamu tahu itu berlangsung sampai delapan jam sekali tatap muka dan berlangsung selama satu purnama. Jika belum rampung, si santri esai mesti janjian lagi kepada editor di lain waktu karena jumlah kata yang disetor minimal 5 ribu kata. Di kelas lain terkadang hanya 1300 kata, tapi mesti terkadang menyerahkan tiga judul esai.

Sebetulnya, sorogan esai bukan pertama kali diselenggarakan di kelas Indonesia Buku.

Pada 2007, kelas Puisi Nusantara juga memakai metode ini. A.N. Ismanto, si penyair cum penerjemah doyan mabuk dari Piyungan bertindak sebagai guru, sementara ada 11 santri puisi yang menyetor tiap hari puisi.

Nama-nama santri puisi itu, antara lain Ahmad Muhlish Amrin, Dwi Rahariyoso, Iman Romanshah, Indrian Koto, Jusuf AN, Komang Ira Puspitaningsih, Mahwi Air Tawar, Moh Fahmi Amrulloh, Muchlis Zya Aufa, Mujibur Rohman, dan Ndika Mahrendra.

“Aku menemukan diksi baru yang pustino. Dua bongkah batu tak berkutang dan jembatan yang langsing,” teriak penyair Ahmad Muhlish Amrin (lagi-lagi) dari Gulug-Gulug, Sumenep. Pustino adalah istilah asal caplok Muhlish setelah nunut nonton film Il-postino kepada Zen RS.

Nah, teriakan Muhlish di paragraf atas terjadi di sela-sela menunggu giliran menyetorkan puisi yang harus berjumlah 99 baris. Hasil sorogan puisi itu kemudian menjadi buku: Ibumi, Kisah-kisah dari Tanah di Bawah Pelangi – Puisi Kisah Nusantara (2008).

Demikianlah, sorogan puisi, juga kini esai, menjadi bagian dari metode pengajaran menulis di Indonesia Buku/Radio Buku. Sudah terbit dua buku dari pendidikan ala komunitas di Sewon ini, yaitu: Pendidikan Komunitas: Merajut Keragaman dari Pinggir Yogyakarta dan Aku & Buku #2: Perempuan-perempuan yang Mencintai Buku.

Di awal tahun 2017, santri-santri esai memungkasi belajar menulis mereka selama tiga purnama sejak November 2016. Buku esai mereka yang menjadi syarat kelulusan diterbit-luncurkan pada 6 Februari 2017. Kedua buku esai hasil sorogan itu adalah: Sejarah Keluarga dan Aku & Buku #3.

Klir dan akur!

Santri Annuqayah, Gulug-Gulug, Sumenep, Madura Ach. Faridatul Akbar menyetor esai kepada guru menulis Em Faiz Ah-Soul.