Apresiasi: Irfan Teguh ~ “Setapak Senyap Muhidin M. Dahlan”

AKU, BUKU. Seorang kawan menulis, “Yang berbahaya dari menurunnya minat baca adalah meningkatnya minat berkomentar.” Ya, membaca memang selalu menyediakan ruang perenungan, ada jeda yang akhirnya bisa menakar ulang teks. Ini berimbas pada kehati-hatian ketika hendak melontarkan sesuatu. Bagi orang-orang yang mengkhidmati proses membaca, berkomentar sebisa-bisa ditimbang dengan matang agar tak jadi ucap prematur yang asal hambur.

Membaca yang kerap diikuti dengan menulis, di semesta dunia literasi memang tak bisa dipisahkan. Orang yang banyak baca, sekiranya dia menulis, pasti tulisannya ga jelek-jelek amatlah, begitu kira-kira. Dan sekali ini saya hendak menghamparkan satu kisah pendek, tentang seorang yang bergelut dan memilih jalan hidup sebagai pembaca dan penulis.

Ia adalah Muhidin M. Dahlan. Lelaki yang mula-mula ditadah oleh bumi Donggala di Tenggara Sulawesi ini telah memilih aksara sebagai jalan hidupnya.

Selain telah melahirkan beberapa karya fiksi yang cukup kontroversial, Muhidin juga dengan penuh yakin menulis perjalanan hidupnya, terutama riwayatnya dalam mengakrabi dan membenamkan diri sepenuhnya dalam dunia asing-senyap, dunia aksara yang dijalaninya dengan sepenuh minat. Memoar ini terbuhul dalam buku Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta. Pada cetakan berikutnya buku ini berganti judul menjadi Jalan Sunyi Seorang Penulis.

Gerbang awal persentuhannya yang sangat intens dengan literasi dimulai ketika dia melanjutkan sekolah ke Yogyakarta. Disangoni sejumlah nominal yang tidak besar, alih-alih dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk kebutuhan sehari-hari, Muhidin malah mengalokasikan sebagian dananya kepada buku. Ia pangkas jatah makannya dengan sebuah siasat yang menguruskan badan. Jam makan siang dan malam dialihkan ke sore, ke waktu pertengahan, dan sekali itu saja jam makannya dalam sehari. Selebihnya dia tenggelam di pusat-pusat niaga buku Kota Pelajar.

Ketika kemudian dia berhasil masuk ke Jurusan Teknik Sipil di sebuah Perguruan Tinggi Negeri, minatnya pada buku tak kunjung surut, malah semakin tumbuh. Demi menghindari mata kuliah yang ia anggap tak lebih dari hafalan yang diwariskan secara turun-temurun, Muhidin akhirnya memilih Pers Mahasiswa sebagai tempat untuk menyalurkan minatnya. Di sanalah ia berlatih menulis dan mengasahnya terus-menerus.

Riwayat akademiknya kemudian kedodoran. Peringatan dari para pengampu birokrasi kampus datang silih berganti. Kondisi seperti ini pada akhirnya menyeret dia pada situasi cukup rumit, ia dihadapkan pada pilihan: lanjutkan kuliah atau tinggalkan! Di titik pelik ini Muhidin berhasil menegakan keyakinan, dia memilih dunia literasi yang dicintainya, dan dengan tegas berucap selamat tinggal pada kuliah-kuliah yang tak memantik kesadaran.

Dari “berjudi” dengan menulis untuk surat kabar, majalah, sampai mencoba peruntungan dengan mendirikan sebuah penerbitan, ia jalani dengan sepenuh degup hasrat. Tentu pilihan ini bukanlah jalan lempang dengan lampu suar terang-benderang, namun pilihan tetaplah pilihan; dalam kegetiran dan sunyi, dunia literasi pada akhirnya berhasil menyigi keyakinan.

Kini waktu yang telah berjarak dari permulaan ia bersentuhan dengan dunia literasi, Muhidin M. Dahlan tetap dan terus mengabdikan hidupnya pada aksara. Bersama beberapa kolega, ia mendirikan Indonesia Buku; sebuah wadah yang dihuni orang-orang yang bertungkuslumus dalam dunia perbukuan. Dari sana kemudian lahir pula Radio Buku dan Warung Arsip.

Ketika kemudian pada satu jenak hidupnya ia merebut anak orang dari tangan seorang bapak dengan mahar buku, maka pertanyaan tentang pilihan dengan sendirinya telah usai.

Disalin dari ngopijakarta