Apresiasi: Dion Yulianto ~ “Kehebatan esai yang ternyata tidak kalah dengan karya-karya sastra”

“Jelas bahwa membaca dan hidup itu dengan demikian adalah bagian dari dunia yang satu. Hidup dan buku sama-sama mengajari kita.” (hlm 175)

Inilah esai, lewat buku inilah esai hendak unjuk gigi setelah sekian lama (mungkin) terpinggirkan di antara jenis-jenis tulisan lain yang lebih populer. Muhidin M Dahlan, yang bersama Indonesia Buku-nya begitu giat dan gigih merawat serakan remah-remah literasi yang selama ini banyak terabaikan dalam media surat kabar, mungkin membikin buku ini sebagai semacam persembahan teristimewa untuk para esais dan karyanya, yang selama ini banyak luput dari perhatian pembaca karena formatnya yang dirasa ‘terlalu serius’ sehingga sering kali dilewati begitu saja oleh kaum pembaca kekinian yang sibuk berburu cerpen Minggu atau artikel ‘kosmopolitan’ dalam media-media massa harian, mingguan, atau bulanan.

“… bahwa cara terbaik untuk membaca adalah dengan (juga) menulis. Dengan menulis seseorang mencoba sendiri bereksperimen dengan bahaya kata-kata dan kesukarannya.” (hlm. 154)

Menjelang lulus dari kuliah (atau mungkin sekolah), banyak dari kita yang mungkin merasa asing dengan esai (saya termasuk salah satunya, tentu saja). Padahal, sudah berapa kali kita mendapat tugas untuk menulis esai sepanjang masa-masa kuliah? Tiba-tiba saja kok kemampuan dan kemauan menulis esai ini seperti langsung terbang entah kemana ketika banyak kita sudah mausk dunia kerja. Jika bukan di tangan mereka yang memang bekerja sebagai redaktur atau wartawan, menggarap esai mungkin bukan prioritas. Lebih baik menulis novel, atau cerpen paling tidak, yang namanya bakal lebih terdengar (perkara novelnya lolos atau tidak, itu belakangan) ketimbang menulis esai yang segera hilang begitu surat kabar berganti.

Benarkah demikian? Buku ini membantahnya. Dengan gayanya yang khas—meledak-ledak ala kekiri-kirian—penulis menyadarkan pembaca tentang kehebatan esai yang ternyata tidak kalah dengan karya-karya sastra. Lebih banyak menggunakan tulisan-tulisan esai bernada kiri, buku ini menunjukkan betapa banyak esai yang turut mengubah perjalanan bangsa ini. Mulai dari esai “Islam Yes, Partai Islam No” ala Cak Nur hingga esai-esai karya Bung Karno yang terkumpul dalam Di Bawah Bendera Revolusi, beragam esai hadir untuk turut menjalankan perannya sebagai pemantik sumbu bagi terjadinya peristiwa-peristiwa bersejarah bangsa ini.

“Dengan membaca tidak mungkin kita hanya menjumpai kebenaran. Ketidakbenaran atau kebohongan pun akan kita dapati dengan membaca.” (hlm 175)

Tidak hanya memesona kita dengan kekayaan dan keragaman esai-esai besar yang terangkum di dalamnya, buku ini juga mengajak kita untuk ‘lebih berani’ menulis esai (lagi). Mulai dari memilih tema yang seksi, 16 jenis atau format esai yang menarik perhatian, 13 gaya menulis esai yang mampu mencuri perharian pembaca, hingga bagian-bagian tubuh si esai dibahas dengan agak rinci dan tentunya disertai dengan contoh-contoh esai terkait dalam jumlah dan ragam yang … luar biasa.

Lebih menarik lagi, di buku ini banyak sekali akan kita jumpai cuplikan-cuplikan paragraf pembuka dari esai-esai yang pernah mengubah sejarah Indonesia. Sayangnya, esai-esai itu hanya dicuplik 3 – 4 paragraf awalnya saja sehingga bikin saya semakin penasaran untuk mencari esai-esai legendaris itu.

Lebih uniknya lagi, buku ini masih tetap mempertahankan kekhasan dari Indonesia Buku, mulai dari sampulnya yang cenderung gelap-minimal gambar-banyak kata hingga layoutnya yang menyisipkan foto-foto sampul buku-buku. Para pecinta buku pasti akan senang sekali membaca (dan memiliki) buku ini.

Disalin dari dionyulianto